Menuju konten utama

Terlilit Utang Pinjaman Online, Bagaimana Berutang Rendah Risiko?

Ada rumus untuk menghitung alokasi pendapatan dan pengeluaran.

Terlilit Utang Pinjaman Online, Bagaimana Berutang Rendah Risiko?
Ilustrasi rupiah. FOTO/Antaranews

tirto.id - Sepucuk surat wasiat ditemukan di sebuah kamar kos-kosan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, awal Februari lalu. Penulisnya bernama Z, pria berusia 35 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi.

Isi surat cukup membuat prihatin bagi yang membaca. Selain berpesan kepada istri dan anak-anak yang ditinggalkan, Z juga berpesan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada baris terakhir surat wasiatnya. Dalam surat tersebut, Zul meminta wasit lembaga keuangan tersebut untuk menghentikan praktik pinjaman online.

Berkaca pada kasus yang menimpa Z, ia menyebut pinjaman online sebagai “jebakan setan”. Praktik pinjam meminjam secara dalam jaringan (daring) ini merupakan bentuk perkembangan teknologi bernama teknologi finansial (fintech). Salah satu layanan yang disediakan oleh fintech adalah berupa pinjaman uang atau peer to peer lending.

OJK mencatat, ada 99 penyelenggara fintech lending yang terdaftar. Sedangkan yang ilegal atau tanpa terdaftar dan tak berizin, jumlahnya lebih banyak lagi mencapai 231 penyelenggara. Perusahaan itu seluruhnya diklaim telah dihentikan kegiatannya oleh Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi OJK.

Jumlah penyedia pinjaman online yang bejibun itu dengan mudah bisa diakses di ponsel pintar. Hanya tinggal mengunduh aplikasi, melakukan pendaftaran, tawaran dan kemudahan meminjam uang pun berdatangan. Belum lagi tambahan tawaran mendapatkan bonus jika mengenalkan aplikasi pinjaman online kepada rekan sejawat, jadi tawaran yang menggiurkan. Namun, konsekuensinya, adanya teknologi membuat banyak saluran yang bisa dipakai oleh penyelenggara pinjaman untuk menagih bila terjadi kredit macet, antara lain dengan data pribadi.

Dari segala kemudahan itu, ada yang tidak terpikirkan oleh setiap individu dalam melakukan pinjaman online, perbankan maupun fintech dan sebagainya adalah mengetahui tujuan berutang serta kesiapan finansial untuk membayar utang. Kedua hal itu merupakan hal paling penting menyangkut kesadaran diri.

Tujuan berutang menurut Budi Raharjo, perencana Keuangan OneShildt Finansial Planning sebaiknya tidak hanya didasarkan pada motif atau alasan konsumsi. Terlebih, jika yang menjadi tujuan seseorang berutang adalah demi memenuhi kesenangan diri.

“Tidak adanya alasan produktif berkaitan dengan utang dan hanya untuk memenuhi kesenangan diri, membuat utang menjadi masalah. Alasan itu mulai tidak logis,” jelasnya kepada Tirto.

Tahapan selanjutnya jika ingin berutang adalah mempelajari syarat dan ketentuan yang berlaku atas pinjaman tersebut. Dalam keadaan mendesak membutuhkan uang, seringnya seseorang tidak mencermati berbagai prasyarat yang ada.

Padahal, dalam keadaan terdesak sekalipun pinjaman uang baik dari lembaga keuangan seperti perbankan maupun finctech lending, pasti memiliki syarat dan ketentuan. Penerapan denda sampai dengan cara penagihan, patut dicermati oleh setiap individu yang ingin berutang.

Konsekuensi gagal bayar utang juga patut diperhatikan oleh setiap orang yang ingin mengajukan pinjaman. Misalnya saja mempelajari dengan seksama persyaratan mengenai agunan atau jaminan.

Kondisi lain yang harus diperhatikan setiap individu yang ingin berutang adalah kesiapan finansial untuk memiliki utang. Maksudnya, bila seseorang memiliki penghasilan pas-pasan, maka ketika memiliki utang, sudah tidak ada uang lagi yang tersisa untuk membayar cicilan utang tersebut.

Utang memang bisa membuat seseorang seperti kaya mendadak, tapi bisa berbuah pahit di kemudian hari. “Bulan depan harus mengeluarkan biaya hidup seperti yang biasa dilakukan dan itu sudah pas-pasan ditambah lagi dengan cicilan utang. Nah, dari mana uang untuk bayar utang itu?! Celakanya lagi kalau ternyata bayar cicilan utang dengan cara cari utangan baru. Akhirnya terjebak dengan lingkaran setan berutang,” kata Budi.

Budi bahkan tidak menyarankan bagi seseorang dengan pendapatan setara satu kali Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk berutang. Alih-alih, disarankan untuk menyisihkan 10-20 persen dari pendapatan untuk simpanan tabungan ataupun investasi.

“Saya tidak menyarankan seseorang yang berpenghasilan kurang memadai untuk berutang. Jika penghasilan sebesar UMP, maka yang dibutuhkan adalah uang untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak,” ujar Budi.

Sementara itu, bagi pribadi yang telah mempunyai kapasitas untuk berutang atau di atas UMP, idealnya cicilan utang setiap bulan tidak lebih dari 30-40 persen penghasilan. Persentase ini memungkinkan seseorang untuk membayar utang tepat waktu. Sementara, potensi gagal bayar utang menjadi lebih tinggi, jika rasio utang seseorang mencapai 50 persen dari penghasilan.

“Utang setara 50 persen dari penghasilan itu menciptakan kondisi tidak kondusif untuk diri sendiri. Bisa memicu stres sampai akhirnya depresi. Sangat tidak disarankan,” ucap Budi.

Rasio utang sebesar 30-40 persen dari penghasilan itu ideal dimiliki oleh individu yang memiliki pendapatan tiga kali lipat UMP atau lebih. Jika pendapatan seseorang sebesar dua kali UMP, Budi menyarankan rasio cicilan utang maksimum hanya sebesar 20 persen pendapatan.

Infografik Rasio Utang Ideal

Infografik Rasio Utang Ideal. tirto.id/Fuad

Mengelola Keuangan Pribadi dan Keluarga

Agar tidak terjerat utang yang memberatkan dan mencelakakan diri, ada baiknya setiap pribadi memiliki prioritas dalam mengelola keuangan. Rumus formasi 10-20-30-50 persen, bisa digunakan untuk hitungan alokasi pendapatan dan pengeluaran.

Penjelasannya begini; 10 persen dari penghasilan dialokasikan untuk sosial dan agama, 20 persen untuk simpanan, investasi maupun proteksi, 30 persen untuk utang dan 50 persen untuk kebutuhan konsumsi.

“Alokasi persentase seperti ini bisa diterapkan mulai dari individu yang memiliki pendapatan sebatas UMP baik yang sudah menikah dan berkeluarga ataupun yang belum. Jadi, tidak ada alasan tidak bisa memiliki tabungan, proteksi dan lainnya,” jelas Eko Endarto, Perencana Keuangan dari Financia Consulting kepada Tirto.

Pentingnya membuat prioritas adalah karena pendapatan setiap individu yang memiliki keterbatasan. Sedangkan kebutuhan hidup manusia seakan tidak terbatas. Pengelolaan keuangan dengan membuat skala prioritas tersebut menurut Eko adalah bagaimana mengatur yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas.

Cara menghitung kesehatan keuangan setiap individu maupun keluarga sebenarnya cukup mudah. Pertama, menjaga rasio likuiditas. Jika rumus formasi 10-20-30-50 persen tadi dilakukan dengan baik, maka likuiditas terjaga.

Kedua, adalah dengan menjaga rasio utang dibanding pendapatan dan juga aset. Idealnya, utang sebesar 30 persen dari pendapatan dan 50 persen dari total aset yang dimiliki. “Akumulasi utang maksimum 40 persen dari penghasilan dan 50 persen dari aset. Jadi aset harus lebih besar dari utang. Jika terjadi sesuatu, individu bisa menjual aset untuk membayar utang dan tetap memiliki sisa dana untuk menutup kebutuhan lain,” kata Eko.

Indikator lain yang juga penting adalah proteksi diri. Sebab, seseorang yang memiliki tanggungan utang seharusnya memiliki perlindungan agar kemampuan membayar utang bisa lebih terjamin. Selain itu juga, adalah untuk menjaga pewaris agar terbebas dari kewajiban membayar utang. Untuk itu, alokasi sebesar 20 persen untuk simpanan, investasi dan proteksi sangat penting dilakukan.

Eko menambahkan, ketika seseorang sudah merasa nyaman penghasilannya dipotong untuk hal tersebut, ke depannya tidak akan kaget ketika penghasilannya harus dikurangi lagi dengan cicilan utang.

“Jika sudah terbiasa dengan proteksi, individu itu akan baik-baik saja mengatur jumlah pendapatan yang sudah dipotong oleh simpanan, investasi dan proteksi tadi. Jadi ketika berutang, tetap bisa memperhitungkan dan menggunakan cashflow dengan baik,” ungkap Eko.

Bila pengelolaan pendapatan dan uang bisa terukur, maka setidaknya bisa mengurangi risiko-risiko buruk dari persoalan jebakan "lingkaran setan" berutang.

Baca juga artikel terkait PINJAMAN ONLINE atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra