tirto.id - “Ternyata di sini beneran susah ya kalau mau bikin pesta kecil-kecilan,” ujar desainer busana Didi Budiardjo ketika ditemui Tirto, Rabu (27/3). Ia tidak sedang membicarakan acara pernikahan, melainkan soal peringatan 30 tahun berkarya yang rencananya dirayakan dengan peragaan sederhana dengan tamu klien setia dan beberapa rekan di industri fesyen.
Awalnya Didi ingin mengundang sekitar 200 tamu. Tapi, kabar tentang rencana pagelaran busana ternyata cepat tersebar dan membuat mereka yang belum terundang melontarkan protes. Dua ratus tamu pun tinggal angan-angan karena setelahnya pagelaran busana yang bertempat di ballroom baru di Dharmawangsa, Jakarta Selatan itu mengundang 800 tamu.
Sesi tegur sapa dengan tamu membuat mesti Didi pulang lebih larut. Untungnya hal itu tidak bikin energinya terkuras. Ketika kami bertemu keesokan harinya, ia nampak segar dan duduk tenang menanti Tirto di ruang kerja butiknya. Bibirnya pun tersenyum kala membicarakan kejadian malam peragaan busana.
Momen yang menyita sekitar 15 menit waktu untuk sesi pemberian tanda terima kasih kepada puluhan sponsor dan pendukung acara menunjukkan bagaimana pria ini punya reputasi yang baik di ranah mode.
“Didi adalah satu-satunya desainer busana di Indonesia yang saya rancang show-nya,” kata Felix Tjahjadi, art director pagelaran busana.
Felix adalah pria lulusan desain grafis yang bekerja sebagai penata etalase butik Hermes di Indonesia dan Jade Boutique Jakarta. Awal 2010, ia mendatangi salah satu peragaan busana Didi dan terpana menyaksikan koleksi yang ditampilkan. Ia pun mengajak Didi untuk berkolaborasi. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sejak 2012 hingga hari ini, keduanya bekerjasama. Felix rutin merancang konsep dekorasi peragaan busana.
Untuk peringatan 30 tahun Didi berkarya, Felix punya ide untuk menghias langit-langit ruang dengan 30.000 tangkai mawar merah tua yang menjuntai laksana tirai. Ia meminta agar ruang diterangi lampu merah yang senada kelopak bunga.
“Merah simbol cinta, sesuai dengan konsep perayaan ini. Cinta yang bikin Didi nampak lahir kembali lewat karya-karya,” katanya.
“Kalau enggak cinta, enggak akan sampai 30 tahun. Jadi desainer di negara ini sangat sulit. Kita seperti dipaksa berlari, mengeluarkan koleksi baru, dan menciptakan terobosan. Kiblat kita masih label fesyen Barat yang dalam setahun melansir sekitar enam koleksi. Saya sendiri mempertanyakan apakah hal itu perlu,” kata Didi.
Suatu ketika, ia bahkan pernah bertanya-tanya apakah ia perlu menjadi desainer busana?
“Dari kecil saya suka pakai baju bagus tapi tidak pernah mau jadi desainer. Saya benci membuat pola,” kenang pria yang kini menganggap aktivitas membuat pola sebagai kegiatan meditatif.
Nyatanya ia tercebur juga dalam profesi desainer busana. Tamat SMU, Didi pindah ke Jakarta dan memilih studi mode di Lembaga Pendidikan Tata Busana Susan Budihardjo. Tujuannya agar bisa jadi murid sebuah sekolah mode di Paris yang punya wawasan.
Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang membuka bisnis produksi komponen mesin percetakan di kota Malang, Jawa Timur. Mode adalah hal asing bagi Didi dan keluarganya.
“Waktu itu pertengahan 1980-an. Bagi saya momen tersebut adalah era fesyen modern di Indonesia. Sudah ada satu asosiasi mode dan mulai ada arahan tren busana. Kiblatnya Paris. Tapi saat itu minat masyarakat terhadap fesyen masih rendah dan belum ada konsep busana sesuai pesanan.”
Desainer ternama di Indonesia masih bisa dihitung jari. Sebut saja Ghea Panggabean, Biyan, Non Kawilarang, dan tentunya Susan Budihardjo. Beberapa di antaranya, termasuk Didi, tergabung dalam asosiasi mode. Kala itu Didi masih jadi anggota junior yang hanya mendapat porsi kecil dalam peragaan busana. Ia perlu tiga tahun hingga akhirnya bisa dianggap setara dengan desainer senior yang punya slot waktu cukup panjang dalam sesi peragaan busana.
Didi mulai dilirik klien pada medio 1990-an kala ia rutin ikut pagelaran busana di sejumlah diskotek di ibukota.
“Dulu peragaan busana ya di diskotek. Di sanalah sumber networking. Selain itu ada juga konsep jamuan makan siang yang biasa diselenggarakan pihak hotel berbintang. Kami desainer jadi bintang tamu yang menampilkan rancangan busana,” tutur pria berzodiak Scorpio ini.
Kepada para perempuan penikmat fesyen, Didi bersama beberapa rekan sejawat memperkenalkan konsep busana sesuai pesanan berjenis gaun pesta atau evening gown.
“Perlu waktu sampai kami para desainer tidak dianggap sebagai dressmaker: tukang jahit yang terima pesanan. Kisah saya berawal dari satu mesin jahit dan satu penjahit di garasi rumah dan busana yang bolak-balik dikembalikan untuk direvisi. Oh jangan dipikir mudah,” kenangnya sambil tertawa.
Gaun malam itu membuat pemakainya terkesan anggun. Didi merancang busana dengan santun. Tidak ada busana terbuka yang terkesan vulgar. Gaun itu memperlihatkan siluet tubuh si pemakai dengan jelas. Rata-rata panjang, berhias manik-manik, dan dijahit di atas kain bermotif floral, tulle, atau kain mengkilap. Elegan, tidak 'berisik', tetapi juga tidak polos dan mudah terlupakan.
Didi pernah membuat lini busana siap pakai untuk menyesuaikan tren. Tapi ia tak sanggup menjalani kedua jenis bisnis tersebut. Faktor finansial jadi alasan utama. Didi memilih fokus pada gaun malam. Ia percaya kultur orang Indonesia yang gemar berpesta dan merayakan berbagai momen akan selalu membuat gaun malam diminati.
Ia tidak keliru. Klien-kliennya kini lintas generasi. “Tadinya ibunya yang datang pada saya untuk dibuatkan gaun malam. Kami lama kehilangan kontak, kemudian ia datang lagi untuk minta dibuatkan busana pernikahan anaknya,” katanya.
Didi pun telah merangkul para perempuan berusia 20 hingga 60 tahun ke atas.
Di tengah industri mode yang membuat perancang busana kerap tanpa sadar punya karya yang menyerupai gaya desainer tertentu, Didi tetap mampu menghasilkan karya-karya orisinil. Tiga puluh busana yang ia pamerkan 26 Maret lalu dalam peragaan bertajuk "Terlahir Kembali" hanya mengingatkan pada nuansa busana yang ditampilkan pada "Pilgrimage", eksebisi retrospeksi 25 tahun Didi berkarya.
Dan ia belum membuat kita bosan.
Editor: Windu Jusuf