tirto.id - Istilah wilayah merujuk kepada suatu kawasan daratan tertentu yang punya kesamaan karakter. Adapun karakter tersebut dapat berupa kondisi alam maupun ciri khas penduduk yang terlihat dari bahasa, pemerintahan, budaya, agama, dan lain sebagainya. Karena itu, identifikasi suatu wilayah bisa dilihat dari perbedaannya dengan kawasan lain di permukaan bumi.
Konsep wilayah, yang dalam bahasa Inggris disebut region, dapat berubah-ubah. Dampaknya, rumusan definisi wilayah selama ini beragam, dan demikian pula klasifikasinya.
Adapun secara umum, pengertian istilah wilayah adalah kesatuan unit geografis yang antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Batasan wilayah juga tak selalu berupa kondisi fisik yang bersifat pasti, tapi dinamis sehingga mungkin berubah-ubah.
Salah satu topik kajian wilayah di geografi berkaitan dengan pengembangannya. Tiap wilayah punya karakteristik dan potensi berlainan. Maka itu, pengembangan wilayah perlu perencanaan serius.
Pengembangan wilayah memerlukan keterpaduan sektoral, spasial, serta antar-pelaku (institutions) pembangunan di dalam dan antar-wilayah. Selain itu, perencanaan pengembangan wilayah juga perlu memperhatikan teori yang muncul dari penelitian di wilayah lain.
Teori Perkembangan Wilayah
Ada beberapa teori mengenai perkembangan wilayah. Teori-teori tersebut pada umumnya berdasarkan tinjauan perkembangan ekonomi di beberapa negara.
Upaya pengelompokan teori-teori tersebut sulit, karena banyak faktor berpengaruh yang harus dipertimbangkan. Misalnya, periode waktu teori lahir, pijakan yang dipakai jadi tolok ukur, dan ide yang terkandung di dalamnya.
Ada banyak teori pembangunan wilayah. Sebagian dari teori itu adalah: Control Theories, Teori Ketergantungan, Teori Rostow, dan Teori Toffler.
1. Control Theories
Control Theories meliputi dua teori, yaitu (1) determinisme lingkungan alam, dan (2) determinisme kebudayaan. Penjelasan mengenai kedua macam teori itu adalah sebagai berikut.
a. Teori Determinisme Lingkungan Alam
Disebut juga Physical Environment Determinism, teori determinisme lingkungan alam memuat pemahaman bahwa lingkungan alam memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat di suatu wilayah atau negara.
Pengaruh kondisi alam tersebut dapat positif maupun negatif. Sebagai contoh, negara/wilayah dengan iklim tropis akan cocok menjadi aktivitas ekonomi pertanian, perkebunan, dan industri kayu hutan. Di sisi lain, kawasan iklim tropis kerap menemui masalah semacam banjir, longsor, dan wabah sejumlah jenis penyakit.
Namun, kenyataannya ada beberapa negara yang punya kondisi lingkungan alam kurang menguntungkan dapat pula berkembang pesat. Sebagai misal, Singapura yang memiliki wilayah jauh lebih sempit dari Indonesia saat ini termasuk negara paling maju di Asia Tenggara.
b. Determinisme Lingkungan Kebudayaan
Teori determinisme lingkungan kebudayaan atau cultural determinism menilai perbedaan kebudayaan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kemajuannya suatu wilayah. Teori ini memandang bahwa kemajuan pembangunan suatu wilayah dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya.
2. Teori Rostow
Walt Whitman Rostow, ahli ekonomi asal Amerika Serikat, melahirkan satu teori pertumbuhan ekonomi yang pada mulanya dia kemukakan dalam artikel sebuah jurnal dan kemudian termuat dalam buku The Stages of Economic Growth (1971). Meski teori Rostow membicarakan perkembangan negara, ia juga bisa dipakai untuk menganalisis perkembangan wilayah.
Rostow berpendapat pertumbuhan ekonomi terjadi sebagai akibat munculnya perubahan yang fundamental pada aktivitas perekonomian maupun kondisi politik dan sosial suatu masyarakat.
Selain itu, Rostow mengungkapkan bahwa perkembangan setiap negara melalui 5 tahapan, yakni:
- masyarakat tradisional,
- prakondisi untuk lepas landas,
- lepas landas,
- gerakan ke arah kedewasaan,
- masa konsumsi tinggi.
Kelima tahapan tersebut bisa dibedakan berdasar ciri-ciri ekonomi, politik, dan sosial. Sebagai misal, transformasi masyarakat tradisional jadi modern dianggap Rostow sebagai proses yang menyentuh bermacam dimensi. Karena itu, proses itu tidak hanya ditunjukkan oleh perubahan corak ekonomi, dari pertanian ke industri.
3. Teori Toffler
Alvin Toffler dalam buku The Third Wave mengklasifikasikan perkembangan masyarakat di suatu wilayah/negara menjadi 3 gelombang.
Masyarakat negara-negara berkembang dikategorikan sebagai gelombang I dan II. Sedangkan peradaban bangsa-bangsa yang telah maju terutama berada dalam gelombang II dan III.
a. Gelombang I
Gelombang I (Peradaban Pertanian) ditandai oleh banyaknya masyarakat yang masih melakukan aktivitas cocok tanam atau pertanian untuk kebutuhan sendiri. Masyarakatnya juga memiliki banyak keluarga besar yang punya anggota banyak dan saling berhubungan akrab.
Sementara itu, tingkat ketergantungan antar-wilayah masih kecil. Sebab, banyak wilayah mampu menyediakan sendiri barang kebutuhan masyarakatnya.
b. Gelombang II
Gelombang II (Peradaban Industri) ditandai dengan masyarakat yang bergantung pada industri, baik untuk sarana pemenuhan kebutuhan maupun sumber pendapatan ekonomi. Selain peranan pasar menjadi vital, proses produksi barang juga telah menggunakan mesin dan dilakukan dalam skala besar.
Di era gelombang II, pendidikan serta media massa memegang peranan penting. Selain itu, ada kecenderungan manusia mendominasi alam, pemborosan bahan baku dan energi. Mobilitas penduduk juga tinggi.
c. Gelombang III
Gelombang III (Peradaban Informasi) ditandai oleh masyarakat yang sudah banyak menggunakan energi dapat diperbaharui (renewable energy). Dalam produksi, industri juga sudah semakin maju karena tidak mengandalkan tangan dan mesin biasa, melainkan sudah meningkat ke level selanjutnya. Sebagai misal, penggunaan teknologi biologi, kimia, digital dan lain sebagainya, semakin marak di industri.
Selain itu, ketergantungan antar-wilayah sangat tinggi dan bahkan bersifat menyeluruh. Teknologi informasi yang berkembang pesat juga berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat.
4. Teori Ketergantungan
Teori ketergantungan wilayah (dependency theory) yang dipengaruhi oleh pemikiran marxis, neo marxis, dan non marxis, memuat pemahaman bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang tidak terjadi karena faktor dari internal.
Penyebab utamanya adalah karena negara-negara bekas jajahan itu terpaksa bergabung dengan sistem ekonomi kapitalis global yang didominasi oleh negara-negara maju.
Masuknya negara-negara berkembang dalam sistem ekonomi kapitalis dunia justru membuat negara-negara itu hanya menjadi pemain pinggiran.
Oleh sebab itu, teori ketergantungan mengandaikan sistem ekonomi kapitalis membuat dunia terbagi dalam dua kutub, yakni pusat-pinggiran.
Dalam praktiknya, menurut pemahaman para ilmuwan pendukung teori ketergantungan, negara-negara pinggiran hanya berfungsi sebagai penyedia bahan mentah untuk industri negara-negara pusat (negara kaya). Negara yang berkembang juga menjadi pasar yang menyerap produk-produk hasil industri negara-negara maju.
Kondisi ini membuat negara-negara berkembang tidak akan pernah, atau sangat sulit, mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju.
Namun, teori ketergantungan dianggap terlalu menyederhanakan persoalan. Sebab, teori ini mengabaikan banyak penyebab kemiskinan negara berkembang lainnya, dan cuma berfokus pada pengaruh kolonialisme (penjajahan) dan terintegrasinya negara-negara bekas jajahan ke sistem ekonomi dunia yang kapitalistik.
Editor: Iswara N Raditya