tirto.id - Sejak virus corona COVID-19 menyebar ke banyak negara, sejumlah teori konspirasi berkembang luas di masyarakat. WHO memperingatkan, teori konspirasi tentang corona dapat menyulitkan penanganan penyakit karena menyebarkan pemahaman yang salah pada masyarakat.
Michael J Spivey menuliskan dalam Psychology Today, masyarakat harus percaya pada dokter dan ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang virus, alih-alih percaya pada teori yang sebagian besar mengandung disinformasi dan misinformasi yang bisa menyesatkan masyarakat.
Menurut Spivey, ada ribuan orang Amerika Serikat yang seharusnya tidak mati karena virus ini. Banyak orang yang mempercayai saran dari politikus atau tokoh tertentu untuk tidak tinggal di rumah dan tidak mengenakan masker di depan umum.
Anggota keluarga korban kehilangan orang yang mereka cintai, bukan karena itu tidak bisa dihindari, tetapi karena beberapa politikus meyakinkan mereka bahwa coronavirus "tidak lebih buruk dari flu biasa, percayalah."
Sains harus lebih dipercaya dalam penanganan virus sebab seorang ahli dalam ilmu kedokteran tahu, biokimia sel manusia dan partikel virus memiliki beberapa kesamaan penting. Namun, seorang politikus atau tokoh yang berkecimpung dalam ilmu kedokteran tidak mengetahui hal ini.
Psikolog David Dunning dan Justin Kruger dari Universitas Cornell telah mempelajari efek ini yang menunjukkan pelatihan parsial pada suatu subjek dapat menyebabkan tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi dalam keterampilan seseorang.
David Dunning dan Justin Kruger melakukan eksperimen di tiga bidang: humor, logika penalaran, dan grammar bahasa Inggris.
Di tes grammar bahasa Inggris, 84 responden yang berpartisipasi di eksperimen itu diminta memberi penilaian terhadap diri mereka sendiri selepas mengerjakan soal.
Hasilnya, ternyata orang-orang yang kemampuannya rendah (para responden yang berada di presentil 10 persen terbawah) menilai kemampuan berbahasa Inggris mereka amat tinggi dan bisa diandalkan, sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan lebih luas cenderung menilai kemampuan mereka lebih rendah daripada skor yang mereka peroleh.
Penelitian ini dipublikasikan pertama kali di Journal of Personality and Social Psychology pada 1999 dan bertajuk "Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One's Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments". Hingga sekarang bias kognitif tersebut populer dengan nama efek Dunning-Kruger.
"Di banyak kasus, inkompetensi ternyata tidak membuat orang merasa bingung ataupun hati-hati. Sebaliknya, orang-orang yang tidak kapabel sering kali dianugerahi kepercayaan diri yang tidak pada tempatnya, terperdaya pada biasnya sendiri sehingga merasa bahwa ia berwawasan," tulis Dunning di Pacific Standard.
Salah satu alasan kenapa efek Dunning-Kruger dapat terjadi disebabkan karena adanya problem metakognisi pada individu tersebut.
"Orang yang memiliki pengetahuan terbatas menanggung dua beban. Mereka tidak hanya telah menarik kesimpulan yang salah, melainkan juga memiliki ketidakmampuan untuk menyadari kesalahan tersebut," tulis Dunning dan Kruger di penelitiannya.
Orang yang terkena bias kognitif ini sering kali merupakan orang yang abai, ceroboh, dan kurang peduli secara mendalam terhadap bidang yang tidak ia kuasai. Karenanya, secara tiba-tiba ia sok pintar dan merasa tahu segalanya.
Padahal, jika ia bersabar sejenak dan mencari tahu lagi, ia akan sadar bahwa bidang yang ia merasa sok tahu itu terlampau luas dan tidak sesederhana yang ia pikirkan.
Bagaimana menghindari efek Dunning-Kruger? Laman Healthline menuliskan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Berikan jeda waktu untuk berpikir
Orang-orang cenderung merasa percaya diri ketika mereka diminta membuat keputusan dalam waktu singkat. Jika ingin menghindari efek Dunning-Kruger, maka berhentilah sejenak dan ambil jeda waktu untuk berpikir mengenai keputusan yang akan Anda ambil ataupun pernyataan yang akan disampaikan di publik.
2. Tantang klaim yang Anda yakini
Jika selama ini Anda memiliki asumsi yang diterima begitu saja, tantang asumsi Anda sendiri. Jangan percaya pada insting ataupun perasaan mengenai hal baik atau buruk. Cobalah mencari kontradiksi dari keyakinan Anda punyai.
3. Ubah cara berlogika Anda
Cobalah untuk mencari alasan lain yang menopang argumen Anda. Mencoba cara berlogika baru akan mengembangkan kemampuan penalaran Anda menjadi lebih fleksibel, serta menambah kemampuan metakognisi Anda.
4. Belajar berpikir kritis
Di kantor, tempat kerja, atau ruang kelas, belajarlah untuk berpikir kritis. Carilah argumen penopang atau tanyakan kepada rekan atau guru Anda mengenai suatu klaim pengetahuan, sampai pada detail bukti-bukti spesifik yang mendasarinya.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dipna Videlia Putsanra