Menuju konten utama

Teman Ahok dan Gerakan Akar Rumput

Inisiatif publik, terutama anak muda, untuk bergabung dan memulai gerakan di bidang politik bukan hal baru. Fenomena ini sudah terjadi di sejumlah negara. Di Indonesia, salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah gerakan Teman Ahok. Terlepas sentimen negatif dan kritik pada gerakan ini, Teman Ahok merupakan satu alternatif politik yang bisa kita jadikan pilihan. Lalu bagaimana dengan yang lainnya?

Teman Ahok dan Gerakan Akar Rumput
Sejumlah warga mengumpulkan KTP untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama untuk maju menjadi calon gubernur dari jalur independen di Pilkada DKI 2007 di hajatan "teman ahok fair", Jakarta, Sabtu, (28/5). Acara 'Teman Ahok Fair' yang diselenggarakan oleh Teman Ahok sebagai dukungan bagi kandidat cagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk mengikuti ajang Pilkada 2017. tirto/andrey gromico.

tirto.id - Pedro Kumamoto baru berusia 25 tahun ketika ia terpilih menjadi anggota kongres di Meksiko. Kuma, begitu ia disapa, menjadi sensasi karena terpilih sebagai anggota parlemen Jalisco di tingkat negara bagian dengan jalan independen. Berdasarkan laporan dari The Guardian, Kumamoto mampu menggalang dana sebesar 14.000 dolar. Angka ini tentu tidak seberapa apabila dibandingkan dengan calon lain yang disponsori partai. Angka itupun didapat setelah Kuma membatasi sumbangan maksimal 450 dolar atau sekitar enam juta rupiah.

Kumamoto melakukan pendekatan tradisional mendatangi warga di tataran akar rumput. Ia juga memanfaatkan teknologi modern di media sosial untuk menjaring pemilih muda. Pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi sarana utama bagi Kumamoto untuk meraih simpati anak muda. Para relawan Kunamoto membuat website yang menarik, interaktif dan juga memanfaatkan Twitter sebagai sarana komunikasi. Kumamoto memiliki pengikut sekitar 20.000 yang aktif berinteraksi dengan para pendukungnya di media sosial. Tidak berhenti sampai di situ, sejumlah intelektual dan akademisi juga dengan sukarela menjadi penasihat politiknya.

Gejala serupa kita bisa lihat di Indonesia. Teman Ahok merupakan salah satu gerakan politik yang dimotori anak muda untuk menjadi alternatif pilihan politik. Tirto.id mewawancarai Amalia Ayuningtyas, anggota dan salah satu pendiri Teman Ahok. Menurut Amalia gerakan ini awalnya tidak langsung menjadi Teman Ahok. Mulanya dari gerakan kampanye kreatif untuk isu Lawan Begal APBD para pendiri Teman Ahok bertemu di sana, namun karena ada larangan Car Free Day digunakan untuk kegiatan politik. Kegiatan itu pun organik, tidak ada pengerahan massa, mereka menyebar broadcast dan menjadi viral, akhirnya banyak yang terlibat.

Amalia menyebut keberadaan Teman Ahok adalah upaya untuk menyiapkan kendaraan buat Ahok, karena Ahok tidak punya partai. Ahok dinilai sosok yang bersih, kompeten, serta memiliki banyak capaian baik dan layak terpilih lagi. Gerakan Teman Ahok ini serupa dengan kampanye sosial yang dilakukan oleh Kumamoto. Ia mengerahkan para relawan pendukungnya untuk berkampanye dari pintu ke pintu sambil menawarkan air mineral dan buah apel di Zapopan, sebuah daerah sub-urban Guadalaraja, kota kedua terbesar di Meksiko.

Melalui gerakan independen ini, Kumamoto maraup 39 persen dari semua suara sah dalam pemilu. Lantas bagaimana Teman Ahok bisa belajar? Sejauh ini Teman Ahok berharap mereka bisa mendorong Ahok bisa maju sebagai calon gubernur tanpa tersandera atau utang budi dengan partai. Dengan satu juta KTP yang terkumpul, semestinya itu bisa menjadi jaminan dan mendorong Ahok untuk maju secara independen. Dukungan yang terkumpul hari ini semestinya bisa menjadi acuan tentang peta dukungan Ahok di Jakarta.

Sejauh ini Teman Ahok, seperti yang disampaikan oleh Amelia, mengatakan bahwa mereka menyediakan kendaraan gratis. Termasuk counter issue apabila ada kritik terhadap Ahok. “Kalau ada informasi seperti penggusuran, kami punya think tank yang akan mencari data dan mengemasnya. Penggusuran bisa dilihat dari beberapa sisi. Kami akan mengimbanginya. Posisi tetap membela pak Ahok,” katanya. Tapi gerakan membela dan mendukung membabi buta bisa jadi tidak baik bagi mereka yang memutuskan belum memberikan dukungan.

Patrick Rulong, profesor politik dari University of Waterloo, Kanada, menyebut gerakan politik modern semestinya menyelaraskan antara yang online dan offline. Artinya untuk meraih dukungan tidak cukup sekedar mengumpulkan KTP, kampanye di mal, atau sekedar hashtag di media sosial. Laju informasi akan memberikan pemilih gambaran tentang tokoh yang akan dipilihnya. Dalam hal ini, Ahok kerap kali menjadi pusat perhatian di media, yang sayangnya belakangan sangat dicitrakan negatif.

Berbagai kasus mulai dari isu reklamasi, pembelian lahan, penggusuran, tata kelola kota, sampai isu korupsi menerpa Ahok dan Teman Ahok. Jika ini tidak ditangani dengan baik, maka gerakan politik ini bisa jadi hancur berantakan. Dalam wawancaranya, Kumamoto juga menjelaskan sikap politiknya dengan jelas. "Saya pasti akan membuat kesalahan, tapi saya akan selalu mendengar kritik dan akan selalu sama,” katanya. Ia menyatakan bahwa ia akan tetap jadi anak muda yang suka naik sepeda dengan tas punggung berwana biru. “Ada cara lain melakukan politik, " tegasnya.

Pendukung Kumamoto selalu memberikan sikap yang jelas dan tahu bagaimana membuat tokoh yang mereka dukung bisa diterima dengan publik. Misalnya alih-alih mempersoalkan identitas rasialnya—Kumamoto adalah orang Meksiko keturunan Jepang)—para pendukungnya menekankan program seperti upaya melindungi dan mengakui kelompok minoritas di Meksiko. Teman Ahok juga demikian. Jika mereka sibuk mengurusi hal-hal artifisal banal, maka mereka tak akan sempat bicara tentang capaian dan kesuksesan program Ahok itu sendiri.

Gerakan Teman Ahok di Jakarta dan Kumamoto di Zapopan adalah contoh sederhana kesuksesan gerakan politik yang lahir dari anak muda dan memanfaatkan media sosial. Pada 2015 ada pergeseran politik di Meksiko. Setidaknya empat calon independen memenangi kursi di Kongres nasional dan ratusan lainnya di tingkat negara bagian. Selain itu, sembilan kandidat non-partai juga berhasil menjadi gubernur. Media sosial menjadi alternatif pola mencari dukungan yang efektif.

Pemilihan calon presiden di Amerika juga melibatkan media sosial. Bagaimana Bernie Sanders dan Hillary Clinton bersaing di kalangan anak muda. Dengan jargon Feel the Bern, Bernie merupakan kandidat calon presiden dari partai Demokrat Amerika yang paling populer dalam sejarah. Capaian ini berkat dukungan dan kampanye di media sosial dan lapangan oleh anak muda. Salah satu yang ikonik adalah dukungan band indie hipster anak muda, Vampire Weekend di Iowa. Tentu Bernie berbeda dengan Ahok, Bernie didukung oleh partai, sementara Ahok sejauh ini masih belum memutuskan untuk ikut partai manapun.

Ahok juga demikian, banyak anak muda dan tokoh muda yang mendukungnya. Amelia mengatakan sejak pertama didirikan pada 16 Juni 2015, Teman Ahok memang langsung mendapat perhatian publik. Banyak orang yang mau bergabung menjadi relawan. Mulai dari yang muda hingga yang tua, dari mahasiswa hingga pekerja. Tidak hanya itu, sumbangan pun mengalir deras. Fund raising penjualan koas dan akesesoris lainnya pun kebanjiran order hingga terkumpul uang sebesar Rp6,7 miliar.

Angka itu terlalu kecil untuk membiayai gerakan politik apalagi pencalonan gubernur di Jakarta. Menariknya, Teman Ahok mengaku berkomitmen untuk tidak mau menerima sumbangan dalam bentuk uang, meski sebelumnya secara terbuka mengakui bahwa Hasan Hasbi, Direktur Eksekutif Cyrus Network, merupakan salah seorang yang berinisiatif mengumpulkan uang hingga Rp 500 juta untuk kemudian disumbangkan ke Teman Ahok. Amelia menyebutkan tidak mau menerima sumbangan dalam bentuk uang supaya tidak ada beban dan utang budi.

Baca juga artikel terkait TEMAN AHOK atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani & Mawa Kresna
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti