Menuju konten utama

Teknik Para Presiden Memanfaatkan Sawah untuk Kepentingan Politik

Dari Sukarno hingga Jokowi, sawah selalu dijadikan medium untuk mendongkrak citra dan memuluskan kebijakan politik.

Teknik Para Presiden Memanfaatkan Sawah untuk Kepentingan Politik
Soeharto memanen padi di suatu area persawahan. FOTO/Soeharto.co

tirto.id - Presiden Indonesia punya hubungan yang erat dengan sawah. Sejumlah kisah dan kebijakan mewarnai perjalanan masa kepemimpinan masing-masing. Dalam pelbagai kunjungan kerja ke sejumlah daerah, Jokowi, misalnya, kerap mendatangi para petani yang tengah menggarap sawah. Adegan-adegan diskusi antara dirinya dengan para petani mewarnai sejumlah laman media.

Kunjungan terbarunya di Garut, Jawa Barat, juga diisi dengan blusukan ke sawah dalam acara bertajuk “Gerakan Mengawal Musim Tanam Okmar 2018/2019”. Acara ini diadakan di Desa Leuwigoong, Garut oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Sebuah Bank BUMN membuka fasilitas pinjaman kepada para petani untuk membiayai usaha mereka.

“Tapi kalau mau pinjam ke bank harus dihitung. Dan harus dipakai untuk modal, beli bibit, beli pupuk,” ujar Jokowi seperti dikutip Kompas.

Dalam lima tahun kepemimpinannya—sekarang tengah bertarung di Pilpres untuk periode kedua—Jokowi mengeluarkan beberapa kebijakan kontroversial tentang ketahanan pangan, dalam hal ini sawah.

Ia melanjutkan proyek presiden sebelumnya dengan membuka ribuan hektare sawah di Papua yang secara kultural tidak dekat dengan budaya sawah. Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 menamakan program tersebut MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). Lalu pada 2008 namanya berubah menjadi MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).

Mula-mula proyek tersebut menargetkan 2,5 juta hektare lahan, tapi Jokowi mengubahnya menjadi 1,2 juta hektare lahan. Dan kenyataannya terus berkurang.

“Dari 2,5 juta hektare kita tawarkan 1 juta hektare. Dari 1 juta hektare kita tawarkan 700 ribu hektare. Dari 700 ribu hektare kita tawarkan 350 ribu hektare saja, sudah mencukupi kebutuhan dunia,” kata Bupati Merauke Frederikus Gebze, seperti dikutip Detik.

Dalam pelaksanaannya, proyek ini kerap berhadapan dengan sejumlah masalah. Di antaranya lahan yang dibuka berkaitan dengan tanah adat yang sakral dan tempat-tempat untuk tanaman sagu, bahan makanan pokok warga setempat.

Kebijakan lain yang mengundang sorotan masyarakat adalah dikerahkannya tentara untuk membantu petani menggarap sawah. Pengerahan sejumlah Babinsa (Bintara Pembina Desa) dimaksudkan untuk mendukung tercapainya apa yang disebut “target swasembada pangan tahun 2017”, yang dicanangkan Jokowi sebagai program prioritas kedaulatan pangan dalam Nawacita. Pelibatan tentara itu dituangkan dalam kerja sama antara Kementerian Pertanian dan TNI Angkatan Darat.

Sejumlah pihak mengkritisi kerjasama tersebut. Mereka mempertanyakan dasar hukum kerja sama yang tidak jelas. Poin mereka adalah bahwa pelibatan TNI selain perang harus berdasarkan keputusan politik negara.

“Karena sebenarnya tugas pokok secara hukum pelibatan bantuan pangan itu adalah bagian dari operasi selain perang, yang hanya bisa dilakukan jika ada instruksi dari presiden. Persoalannya, tidak ada keputusan presiden,” kara direktur Imparsial Al Araf kepada Tirto.

SBY Malu Karena Padi Kopong

Pada satu dekade kepemimpinan SBY, selain kebijakan membuka 2,5 hektare sawah di Papua, pemerintah pun menuai malu karena kasus padi Super Toy HL2 (Heru Lelono 2).

Sekali waktu, Iswahyudi, seorang pakar teknik geologi Universitas Gadjah Mada, mengklaim menemukan varietas padi unggul yang ia sebut Super Toy. Konon, padi itu merupakan persilangan antara dua beras sohor yaitu Rojolele dan Pandawangi yang dilakukan Tuyung Supriadi.

Ia kemudian mendirikan PT Sarana Harapan Indopangan untuk mengembangkan varietas padi tersebut, yang didukung Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY.

Selanjutnya, Iswahyudi hendak mendapatkan lisensi dari Departemen Pertanian. Namun, syaratnya tak mudah. Varietas padi mesti melalui multi uji lokasi. Maka demi memenuhi syarat tersebut, padi Super Toy ditanam di pelbagai lahan yang luas. Salah satu lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Grabag, Purworejo, kampung halaman Sarwo Edhie Wibowo, mertua SBY.

“Saya menyambut baik setiap prakarsa, penelitian, pengembangan, dan penemuan di bidang apa pun. Karena kita ingin kontribusi dari putra-putri bangsa Indonesia yang sesungguhnya cerdas, bukan hanya di kota-kota, melainkan juga di desa-desa,” ucap SBY seperti dilansir Gatra.

Namun, harapan manis dan puja-puji yang membubung itu seketika mati. Petani di Kecamatan Grabag yang menanam padi Super Toy menggelar aksi protes. Mereka merasa dibohongi karena ternyata padi tersebut kopong.

Rakyat meradang, pemerintah cuci tangan. Andi Mallarangeng, yang saat itu juru bicara presiden, mengelak jika pemerintah terlibat dalam kegagalan tersebut. Begitu juga Heru Lelono, ia menyebut SBY tidak membiayai dan tidak punya saham dalam perusahaan yang mengembangkan padi Super Toy HL 2.

Sementara di era Orde Baru, Soeharto, yang kerap muncul di televisi saat menghadiri panen lengkap dengan caping dan seikat padi, terobsesi dengan program swasembada pangan. Pada 1984, target itu tercapai. Namun, ketahanan pangan tersebut begitu rapuh dan akhirnya tak bertahan lama. Enam tahun kemudian, Indonesia kembali mengimpor beras.

Setelah itu, krisis ekonomi mulai mengintai kawasan Asia. Imbas dari krisis ekonomi tersebut menjalar kepada persoalan politik. Dan puncaknya, Soeharto dilengserkan pada 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Infografik Presiden Pergi Ke sawah

Infografik Presiden Pergi Ke sawah

Menemukan Marhaen di Sawah

Kisah sawah dengan presiden republik ini yang paling ideologis adalah pertemuan Sukarno dengan seorang petani yang ia sebut Marhaen. Suatu hari, saat Sukarno masih kuliah di Bandung dan terlibat pergerakan poilitik, ia bersepeda ke daerah Bandung selatan.

Seperti ia tuturkan kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), dalam perjalanan itu Sukarno melihat seorang petani tengah mencangkul sawah miliknya sendiri. Ia mendekatinya, lalu terjadi tanya jawab.

Isi percakapannya adalah sawah tersebut milik Marhaen, juga alat-alat produksi seperti cangkul dan sekop. Gubuk tempat istirahat pun milik dia sendiri. Namun, semua kepemilikan itu tak membuat hasil produksinya (beras) mampu mencukupi kehidupan sehari-hari.

“Para petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, di mana pada awalnya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama, dan seterusnya sampai ke anak-cucunya selama berabad-abad. Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban dari imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek moyangnya telah dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekadar bisa memperpanjang hidupnya. Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen,” ucap Sukarno.

Marhaen—nama ini sampai sekarang masih jadi perdebatan, karena ada yang menyebut bahwa nama sebenarnya adalah Aén atau Aéng—kemudian menjadi ideologi perjuangan Sukarno yang disebut Marhaenisme.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan