tirto.id - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Muhamad Taufik menegaskan dirinya tidak terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) reklamasi tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
“Saya tidak pernah berhubungan dengan Agung Sedayu (Agung Sedayu Group), tidak ada sama sekali. Saya diperiksa sebagai saksi,” kata M Taufik di Gedung KPK Jakarta, Senin (11/4/2016).
Hari ini KPK memanggil Ketua DPRD provinsi DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta Merry Hotma, anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta S. Nurndi, Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta M Taufik, anggota Badan Legislasi DPRD Provinsi DKI Jakarta Mohamad Sangaji, Wakil Ketua DPRD Propinsi DKI Jakarta Ferial Sofyan.
Selain itu, KPK juga memanggil Kasubbag Rancangan Perda DPRD DKI Jakarta Dameria Hutagalung untuk diperiksa sebagai saksi tersangka Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Selain Taufik, sudah hadir di gedung lembaga antirasuh tersebut antara lain Ferial, Prasetyo dan Merry.
Menurut Taufik, pembahasan raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta antara DPRD DKI Jakarta dan pemerintah provinsi tidak ada gunanya karena reklamasi terus berlangsung.
“Tertunda soal dua hal, pertama soal izin. Kita tidak mau memasukkan izin karena izinnya kan sudah keluar, apa yang mau dimasukkan? Jadi tidak ada raperda ini izinnya sudah jalan karena gubernur mengatakan raperda sudah distop, reklamasi jalan terus, jadi tidak ada artinya sebenarnya raperda itu,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Padahal menurut Taufik, dasar hukum reklamasi lemah. “Kita bilang silakan di Peraturan Gubernur (Pergub) soal 5 persen 15 persen itu simulasinya karena tidak ada dasar hukumnya, makanya kita bilang silakan di Pergub, karena di Perda kan harus ada dasar hukumnya. Dasar hukumnya hanya diskresi yang adalah kewenangan gubernur sebagai eksekutif, bukan DPRD,” kata dia.
Taufik mengaku bahwa penyidik telah mengambil sejumlah dokumen raperda dari ruangannya. Tapi tidak mengambil dokumen lain. “Yang diambil cuma dokumen raperda saja, yang lain tidak ada,” kata dia.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3/2016), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan Ariesman meski belum diketahui total "commitment fee" yang diterima Sanusi. Suap kepada Sanusi diberikan melalui Personal Assistant PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro.
Raperda tersebut sudah dibahas sejak beberapa bulan lalu, namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta belum sepakat karena Pemprov DKI Jakarta mengusulkan tambahan kontribusi 15 persen nilai jual objek pajak (NJOP) dari lahan efektif pulau yaitu seluas 58 persen luas pulau. Sementara sejumlah anggota baleg DPRD mengusulkan persentase NJOP dan luasan faktor pengali yang jauh lebih kecil yaitu 5 persen.
KPK menyangkakan Sanusi berdasarkan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang patut diduga menerima hadiah dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan kepada Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ANT)