tirto.id - “Good bye Tata Nano"
Ratan Tata, Chairman Tata Group mungkin tak pernah membayangkan hal ini terjadi. Masih lekat di memori pada 23 Maret 2009 lalu, pria India itu begitu semringah melempar senyum sambil melambaikan tangan kepada media saat kali pertama memperkenalkan Tata Nano—mobil yang disebut-sebut sebagai mobil termurah sejagad. Namun, menjelang satu dekade setelah momen tersebut, Ratan Tata harus berlapang dada menyaksikan mobil murah buah tangannya itu tidak lagi dilirik konsumen mobil di negerinya.
Tata Nano resmi berhenti diproduksi massal oleh Tata Motors, setelah mengalami masa "sakaratul maut" beberapa bulan terakhir. Takdir pahit harus diterima Tata Nano setelah satu dekade mobil yang sempat diklaim "super murah" ini berseliweran di pasar otomotif global. Nasib Tata Nano kini berbanding terbalik dengan kondisi di awal kemunculan mobil kompak pada 23 Maret 2009 silam.
Sembilan tahun lalu ada 203.000 calon konsumen rela mengantre untuk mendapatkan Tata Nano. Saking banyaknya peminat, Tata akhirnya melakukan sistem undian buat menyeleksi 100 ribu pembeli pertama. Angka yang terlalu muluk untuk dicapai Tata Nano dalam setahun terakhir.
Keadaan berubah dratis sejak 2017, penjualan Tata Nano hanya menyentuh kisaran 200-an unit. Puncaknya, pada Mei 2018 penjualan Tata Nano Gen X—versi terbaru Tata Nano hanya 20 unit sebulan. Bahkan, hanya ada satu unit Tata Nano Gen X yang diproduksi pada Juni. Tata Group menyatakan masih akan memproduksi Tata Nano berdasarkan pesanan saja.
Punahnya Tata Nano bertolak belakang degan kondisi pasar otomotif di India. Sampai akhir tahun fiskal 2017-2018 bulan Maret lalu, terjadi lonjakan penjualan mobil penumpang sebesar 8 persen, dengan total 3,28 juta unit terjual. Maruti Suzuki muncul sebagai penguasa dengan pangsa pasar mencapai 50 persen.
Mengutip Automotive News, punahnya Tata Nano merupakan refleksi dari pergeseran tren konsumen kendaraan di India. Mobil murah nan minim fitur dan penuh kesederhanaan kini bukan primadona di mata konsumen. Para pembeli memburu mobil dengan fitur terbaik yang sesuai dengan isi kantong mereka. Itulah yang membuat pamor mobil-mobil murah sekelas Tata Nano, Suzuki Alto, Renault Kwid, atau Datsun Go meredup di India.
Pakar otomotif dari perusahaan konsultan Price Waterhouse, Abdul Majeed, menilai bisnis mobil kecil di negara berkembang tidak efektif untuk mendatangkan keuntungan. Margin keuntungan yang tipis membuat pabrikan mobil rentan mengalami kerugian ketika memasarkan mobil kecil.
"Membuat mobil kecil di pasar yang sedang berkembang selalu berakhir di tempat sampah (merugi), karena itu perusahaan otomotif susah payah (memasarkan mobil kecil) di India," ujar Abdul dikutip The Economic Times.
Mengutip statistik penjualan mobil di India dari Autoportal, penjualan Maruti Suzuki Alto 800 terkikis di awal 2018. Pada Juli 2017, jumlah Alto 800 yang terjual mencapai 26.009 unit per bulan. Namun, pada Januari dan Februari 2018 hanya terjual sekitar 19 ribu-an unit. Rekor penjualan terbanyak Alto 800 sampai pertengahan tahun mencapai 23 ribu-an unit per bulan terjadi Maret lalu.
Penyusutan volume penjualan juga terjadi pada Renault Kwid. Pada Mei 2018 hanya 5.196 unit Kwid terjual per bulan, capaian terburuk sejak Juli 2017. Penjualan Datsun Go pun berfluktuasi mulai dari Juli 2017 sampai Mei 2018. Dua bulan berturut-turut pada April dan Mei 2018, jumlah penjualannya tidak sampai 400 unit. Sementara itu, rekor terburuknya terjadi pada September 2017, ketika hanya ada 351 unit Datsun Go dikirim ke konsumen.
Penurunan volume penjualan mobil murah menyentil pabrikan mobil agar segera berbenah. Konsumen India sudah mulai jengah disodorkan mobil-mobil “kosong”.
Orang-orang di India kini lebih mawas terhadap fitur keselamatan mobil. Pemerintah India pun sudah membuat regulasi ketat ihwal perangkat keselamatan kendaraan. Setiap mobil yang akan dipasarkan di sana harus melewati uji kelayakan dalam Bharat New Vehicle Assesment Safety Program (BNVSAP). Rangkaian tes kelayakan tersebut meliputi uji tabrak seperti yang dilakukan NCAP.
Melansir Cartoq, mulai Oktober 2017, Pemerintah India mewajibkan perusahaan manufaktur melengkapi produk mobilnya dengan anti-lock braking system (ABS) dan sensor parkir. Fitur ini tentu akan sulit disematkan pada mobil murah yang hanya seharga 1 Lakh Rupee setara 100.000 Rupee, sekitar $1.490 atau Rp20 jutaan—harga Tata Nano saat diperkenalkan ke publik.
Padatnya lalu lintas di negara dengan ibu kota New Delhi ini mendorong kebutuhan akan perangkat keselamatan di kendaraan. Fitur ABS dapat mengurangi risiko kecelakaan karena mobil mengerem mendadak ketika terjadi kemelut lalu lintas. Sensor parkir pun krusial fungsinya di India buat menghindari insiden saat mobil mundur atau keluar dari tempat parkir.
Pergeseran preferensi konsumen mendorong Hyundai, merek mobil dengan angka penjualan terbanyak kedua di India setelah Maruti Suzuki untuk menggeser segmentasi pasar. Pabrikan asal Korea Selatan itu kini melabeli diri mereka sebagai merek kategori high-end.
Dilaporkan Automotive News, penjualan Maruti Suzuki kini didominasi produk kategori menengah atas, seperti Baleno, Dzire, dan (Vitara) Brezza, bukan lagi Maruti Alto atau Wagon R.
Mobil-mobil bertipe sport utility vehicle (SUV) pun kini mulai naik daun di Negeri Bollywood. Penjualan mobil berwajah garang ini naik 21 persen dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 920 ribu SUV dipinang konsumen sepanjang tahun fiskal 2017. Prestasi SUV mengungguli segmen sedan dan compact hatchback yang penjualannya hanya naik 3 persen saja dalam periode tersebut, tapi jumlahnya tetap lebih banyak, di atas 2 juta unit setahun.
Ekonomi India yang sedang menggeliat juga punya peran dalam perubahan ini, tahun ini ekonomi India ditaksir tumbuh 6,6 persen, dan akan tumbuh jadi 7,3 persen di 2019. Daya beli masyarakat juga mengalami kenaikan.
Akhir tragis Tata Nano harusnya menyadarkan produsen kendaraan ihwal pentingnya mengusung kualitas produk, di samping menjual label mobil “murah”. Konsumen akan terus berubah, dan tak mudah dijejali gimmick dan promosi. Calon pembeli mobil punya banyak informasi, dapat membandingkan kualitas dari setiap produk dengan mudah melalui jejaring digital. Estetika desain, fitur, dan kualitas konstruksi menjadi aspek krusial yang harus dipenuhi produsen jika ingin diterima dengan baik oleh konsumen.
Editor: Suhendra