tirto.id - Setelah menghadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio, Indonesia kini harus menghadapi infeksi menular lainnya, yaitu campak. Sepanjang 2022 kemarin, tercatat 22 provinsi telah melaporkan KLB Campak. Penyebabnya tentu cakupan imunisasi yang rendah.
Suatu daerah dapat disebut mengalami KLB jika terdapat minimal 2 kasus campak yang terkonfirmasi uji laboratorium. Secara angka, jumlahnya memang terlihat kecil. Namun, berdasar definisi Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, ketika 1 orang terinfeksi, 9 dari 10 orang di sekitarnya juga terinfeksi jika mereka tidak mendapatkan vaksinasi.
“Selama tahun 2022 yang lalu jumlah kasus campak cukup banyak lebih dari 3.341 laporan kasus. Kasus-kasus ini menyebar di 223 kabupaten/kota,” ucap Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine dalam konferensi pers perkembangan kasus campak, Jumat (20/1).
Jika dibandingkan dengan 2021, kata Prima, terdapat peningkatan kasus signifikan mencapai 32 kali lipat.
Campak merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus dari famili Paramyxovirus. Ia menular melalui droplet, percikan ludah saat batuk, bersin, bicara, atau melalui cairan hidung. Gejala campak secara umum berupa demam, batuk-pilek, mata berair, serta timbulnya bintik kemerahan di kulit. Bintik-bintik itu biasanya muncul 2-4 hari setelah dari gejala awal.
Campak hanya dapat dicegah dengan vaksin. Sebelum vaksin ditemukan, campak menjadi salah satu penyakit paling ditakuti di dunia karena menyebabkan diare berat hingga kematian.
“Komplikasi campak umumnya berat. Jika anak dengan gizi buruk terserang campak, maka bisa diare berat, pneumonia, radang paru, radang otak, infeksi di selaput mata, sampai menimbulkan kebutaan,” ujar Yosephine.
Sayangnya, meski vaksin telah ditemukan, World Health Organization (WHO) menyebut angka kejadian campak masih tinggi, sekitar 30 juta kasus per tahun dengan lebih dari 2 juta kematian. Di Indonesia, kita bisa merunut akar masalah KLB Campak dari kegagalan realisasi vaksinasi dasar anak.
Indikator kesehatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) periode 1995-2022 menyebut persentase balita yang sudah pernah mendapat imunisasi BCG, DPT, Polio, dan Campak turun pada saat pandemi COVID-19 (2020-2021). Selain itu, cakupan imunisasi campak memang memiliki persentase terendah di antara imunisasi dasar lain.
Persentase balita yang sudah pernah diimunisasi BCG, DPT, dan Polio setidaknya berada di angka 80 persen. Sementara itu, persentase vaksinasi polio pada 2020 hanya mencapai 67,82 persen dan naik tipis menjadi 68,67 persen pada 2021.
Kejar Target Imunisasi
Pandemi COVID-19 menjadi faktor merosotnya cakupan imunisasi pada periode 2020-2021. Saat pambatasan sosial diberlakukan, akses posyandu yang biasa menyediakan imunisasi gratis bagi masyarakat sempat terhenti.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan target imunisasi sebanyak 92 persen pada 2020 hanya tercapai 84 persen. Sementara pada 2021, target imunisasi 93 persen hanya terealisasi 84 persen. Ada lebih dari 1,7 juta bayi yang belum mendapatkan imunisasi dasar selama periode 2019-2021.
Saat itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu sebenarnya telah memprediksi dampak penurunan imunisasi ini. Akibat yang tak terelakkan tentu peningkatan kasus penyakit-penyakit yang sebelumnya dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) dan terjadinya KLB, seperti campak, rubela, dan difteri di beberapa wilayah.
“Bila kekurangan ini tidak dikejar, akan terjadi peningkatan kasus yang jadi beban ganda di tengah pandemi,” kata Maxi.
Akhirnya untuk mengejar ketertinggalan, pemerintah menggelar Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) pada Mei dan Agustus 2022 lalu. Hasilnya, persentase imunisasi naik, meski tak mencapai target.
Realisasi BIAN di Jawa-Bali sudah sesuai target, yakni 98 persen. Meski demikian, target imunisasi campak dan rubella di luar Jawa-Bali hanya terealisasi 60,13 persen dari target 95 persen. Cakupan BIAN secara nasional mencapai 72,2 persen.
Pada 2022 kemarin, persentase balita dengan imunisasi campak naik menjadi 70,14 persen, BCG naik jadi 90,13 persen, kemudian imunisasi DPT naik menjadi 86,50 persen, dan polio menjadi 83,90 persen.
Pada 2022, wilayah yang memiliki cakupan imunisasi campak terendah adalah Aceh (38,19 persen). Aceh juga menjadi salah satu provinsi dengan cakupan imunisasi terendah di Indonesia. Setelah Aceh, menyusul kemudian Sumatera Barat dengan cakupan imunisasi campak 56,48 persen, Riau 62,31 persen, dan Jambi 63,65 persen.
Data BPS ini sejalan dengan informasi dari Kemenkes mengenai jumlah sebaran KLB Campak yang berada di Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, NTT, Papua, dan Riau.
Jika melihat benang merah dari KLB Campak dan Polio, semestinya pemerintah dapat fokus memetakan perbaikan cakupan imunisasi, termasuk di wilayah-wilayah terpencil dan masif gerakan antivaksin.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi