tirto.id -
Perum Perhutani menarget pendapatan dari bisnis produk nonkayu sebesar 75 persen, selebihnya sekitar 25 persen pendapatan ditarget dari produk kayu sampai tahun 2019.
"Pada tahun 2019, Perhutani harus mampu menggeser secara signifikan pendapatan nonkayu menjadi sekitar 75 persen. Saat ini bisnis nonkayu dan kayu masih berkisar 50:50," kata Direktur Utama Perhutani, Mustoha Iskandar, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Selasa, (29/3/2016).
Menurut Mustoha, bisnis nonkayu harus ditonjolkan karena dewasa ini sudah tidak bisa hanya mengandalkan produk-produk kayu.
Mustoha menerangkan, pada tahun 2016, Perhutani menarget pendapatan kurang lebih mencapai Rp5 trilliun atau meningkat dari tahun 2015 kurang lebih Rp3 trilliun.
Saat ini, Mustoha menjelaskan untuk mencapai target 75 persen kontribusi pendapatan dari bisnis nonkayu perusahaan harus mampu menciptakan produk-produk unggulan. Salah satu yang digalakan Perhutani adalah memperluas penanaman kayu putih dan kaliandra.
"Tanaman energi ini makin gencar karena mengingat dalam beberapa puluh tahun ke depan energi fosil akan habis," kata Mustoha.
Tanaman-tanaman energi tersebut akan dikembangkan dengan membuat cluster. Mustoha menyebut, akan disediakan lahan sekitar 6.000 hektare per cluster.
Mustoha mengatakan pendapatan nonkayu juga akan didukung dari penugasan Pemerintah menjaga ketahanan pangan nasional dengan memproduksi jagung hingga 1.000.000 ton per tahun untuk menutup kebutuhan jagung nasional.
"Untuk pengembangan jagung, Perhutani segera bersinergi dengan BUMN lainnya, yaitu Bulog, Sang Hyang Seri, dan Pertani yang akan ditanami di Jawa dan Madura," ujar Mustoha.
Diyakini target 1.000.000 ton jagung per tahun dapat tercapai, sejalan dengan kompetensi masing-masing perusahaan. Intinya, kata Mustoha, dalam mengembangkan bisnis nonkayu mengharuskan adanya hilirisasi.
Mustoha membeberkan saat ini Perhutani sudah mengembangkan produk derivative dari gondorukem (olahan dari getah hasil sadapan pada batang pinus) dan terpentin (bahan cair berwarna kuning muda hingga coklat yang diperoleh dari olahan getah pohon pinus) di Pemalang yang merupakan pabrik terbesar di Asia.
Mustoha menjelaskan Perhutani juga membangun pabrik sagu di Papua Barat. Selain dalam rangka pengembangan bisnis, juga dapat membantu peningkatan ketahanan pangan, khususnya di wilayah barat Indonesia.
"Intinya pengembangan nonkayu dan hilirisasi merupakan keharusan. Perhutani jelas tidak ingin terjebak pada bisnis kayu semata, tetapi sudah harus lebih luas," pungkas Mustoha. (ANT)