tirto.id - Virus Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS CoV) menyebar ke berbagai belahan dunia pada 2013 hingga 2015. Dua tahun virus itu berada di tengah masyarakat, sektor yang paling terdampak adalah pariwisata. Lebih spesifik lagi, kerugian meluas hingga bisnis perjalanan haji.
Sesuai namanya, virus MERS berasal dari Timur Tengah atau negara-negara Arab. Negara dengan korban MERS terbanyak adalah Arab Saudi. Akibatnya, ketakutan menjalankan ibadah haji pun meluas. Indonesia sebagai pengirim jemaah haji terbesar bahkan mengimbau warganya agar waspada terhadap virus MERS dan disuntik vaksin sebelum berangkat ke Saudi.
Virus kemudian menyebar, dan negara yang cukup meremehkan kedahsyatan virus ini adalah Korea Selatan. Pada 2015, 38 orang pengidap virus MERS di Negeri Ginseng meninggal dunia. Berbagai kunjungan ke Korea Selatan dibatalkan. Lagi-lagi sektor pariwisata harus merana.
Namun, separah apapun virus MERS di Korea Selatan, tidak ada penutupan massal atau imbauan kerja dari rumah yang dikeluarkan pemerintah Korea. Tidak hanya Korea, tapi juga seluruh negara lainnya. Orang berlalu-lalang keluar-masuk rumah dan kantor, berdagang makanan, berkumpul di warung kopi sambil menyambati kepala negara.
Jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK) maka yang patut waswas justru pejabat negara. Saudi misalnya, sudah memecat Menteri Kesehatan Abdullah al-Rabiah karena dianggap tak becus menangani penyebaran virus MERS. Di Korea Selatan, Menteri Kesehatan Moon Hyung-pyo juga diganti saat korban MERS yang meninggal mencapai 36 orang.
Gampangnya, MERS tidak mengancam kehidupan masyarakat secara tidak langsung. Mereka yang terancam hidup dan masa depannya adalah yang terjangkit, sedangkan mereka yang sehat bisa terus bekerja untuk diri dan keluarganya. Virus Corona baru yang singgah di Indonesia pada awal Maret 2020 berbeda. Tak hanya itu, virus ini memunculkan ketakutan atas PHK massal.
Ancaman PHK
Setelah pengumuman imbauan kerja dari rumah oleh Joko Widodo, lampu oranye bagi para karyawan sebenarnya sudah menyala. Mereka yang sukar untuk produktif dari rumah merasa khawatir sampai kapan perusahaan bisa menghidupi mereka. Yang bisa produktif pun belum juga bisa bernafas lega. Terkadang perusahaan belum tentu mendapat keuntungan jika hanya satu sektor pekerjaan yang produktif, sedangkan bagian produksi lain berhenti beroperasi.
Nevin Muni tahun ini memasuki usia ke-52. Ia berencana pensiun dalam delapan tahun. Nevin bekerja di bagian gudang TJ Maxx, salah satu perusahaan ritel di kawasan Queens, New York, Amerika Serikat dengan jam kerja tak menentu. Total jam kerjanya hanya 20 jam per minggu. Untuk memenuhi kekurangan penghasilan, dia juga menjadi guru bahasa Turki.
Setelah pandemi Corona merebak, dia hanya mendapatkan jatah 8 jam kerja selama seminggu dalam satu hari. Dengan jam kerja seperti itu, dia tak yakin bisa menghidupi dirinya sendiri, apalagi untuk yang lain.
“Saya mencari pekerjaan lain, tapi tidak ada. Tidak ada yang membuka lowongan. Saya berpikir di rumah: apa yang bisa saya lakukan?” kata Muni dilansir Guardian. “Saya tidak tahu.”
Muni masih beruntung kendati waktu kerja dan penghasilannya berkurang. Hollie Martin, pekerja lepas yang membantu produksi televisi di Los Angeles, California lebih sial dari Muni. Stasiun TV tempatnya bekerja tiba-tiba menghentikan produksi. Selesai sudah nasib tabungan masa depan Martin.
“Tiba-tiba saya tidak mendapat bayaran,” kata Martin. “Saya juga tidak akan punya asuransi kesehatan dalam 30 hari. Parahnya lagi, suami saya punya kamp musim panas dan semua aktivitasnya berhenti total. Kita berusaha bersikap optimis, tapi ini berat.”
Konsultan ekonomi asal Amerika Serikat, Moody’s Analytic memprediksi ada 80 juta pekerjaan yang terancam selama pandemi Corona ini masih berlangsung. Angka ini didapat dari 27 juta pekerja yang kebanyakan bekerja di sektor transportasi dan biro perjalanan, hiburan, layanan jasa serta pengeboran minyak. Sedangkan 52 juta lainnya bekerja di sektor ritel, manufaktur, pembangunan, dan pendidikan.
Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan masa resesi di Amerika Serikat lebih dari satu dekade silam. Waktu itu, 800 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya pada Maret 2009. Corona baru terdeteksi medio Januari 2020 di Amerika Serikat, tapi setidaknya sudah ada 80 juta orang yang nyaris kehilangan pekerjaan sampai hari ini.
Di Spanyol, situasinya tidak lebih baik. Seiring korban bertambah menjadi 11.178 dan 491 korban Corona meninggal dunia, ada lebih dari 100 ribu orang yang dirumahkan sementara. Situasi ini bisa berlanjut pada PHK jika pemerintah Spanyol tidak memberi suntikan dana agar perusahaan mempertahankan karyawannya. Sebagaimana dicatat oleh Catalannews, ada 77.662 perusahaan yang sudah merumahkan karyawan dengan total 547.837 orang pada 27 Maret 2020. Jumlah ini kemungkinan besar bertambah seiring waktu.
PHK memang jalan terakhir yang bisaa diambil perusahaan. Ini memberi jaminan agar setelah pandemi berakhir, karyawan masih punya pekerjaan untuk membiayai hidupnya. Pertanyaannya, sampai kapan perusahaan bisa bertahan?
Awal April, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan jika situasi penyebaran Corona tidak berhenti dan kerja dari rumah masih diterapkan, maka Juni 2020 nanti akan menjadi penentu bagi perusahaan di Indonesia. Ketua Umum Apindo Hariyanti Sukamdani menegaskan, kas perusahaan hanya bisa bertahan tanpa pemasukan sampai 3 bulan terhitung sejak awal April. Pilihan yang tersedia antara lain memaksa mempekerjakan karyawan, menutup usaha, atau malah melakukan pemecatan.
Terlebih lagi, Indonesia mengalami krisis yang sama dengan Spanyol. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi akan ada tambahan penggangguran di tahun 2020 ini menjadi 2,9 juta orang atau 5,2 juta orang dalam skenario terburuk. Keadaan tanpa atau minim pemasukan mengharuskan sebagian perusahaan untuk memberhentikan karyawan.
Angka ini sebenarnya masih jauh dari prediksi Center of Reform Economics (CORE) Indonesia yang memperkirakan jumlah pengangguran terbuka akan bertambah 4,25 juta orang dalam skenario paling ringan dan 9,35 juta orang pada skenario yang paling parah di Indonesia.
Moody's Analytics memperkirakan akan ada 80 juta pekerjaan yang terancam di Amerika Serikat selama pandemi Corona. Ahli ekonomi lainnya memprediksi akan ada 47 juta pekerjaan yang hilang karena terdampak Corona di Negeri Paman Sam.
Sampai sekarang, beberapa perusahaan di Indonesia sudah merumahkan karyawan tanpa upah atau bahkan melakukan PHK. Yang sudah terjadi, selama hampir satu bulan virus Corona merebak, ada 1,6 juta orang yang tidak mendapat penghasilan penuh. Sebanyak 1,08 juta orang dari pekerja formal dirumahkan dan 265 ribu lain berasal dari sektor informal. Mereka yang terkena PHK sebanyak 160 ribu orang.
Namun Apindo menduga, 1,6 juta adalah angka yang sangat minim. Jika ditambah dengan data bulan Maret, bisa jadi pekerja yang terdampak mencapai 3 juta orang menurut Wakil Ketua Apindo, Bob Azam dilansir dari Sindonews (13/4/2020). Angka ini ia anggap wajar karena awal April saja sudah 6 juta warga Amerika Serikat yang harus berhenti bekerja.
Jumlah angkatan kerja di Amerika Serikat tahun 2020 mencapai 162,9 juta orang. Jika dibuat persentase maka jumlah pengangguran dipreediksi sebanyak 47 juta mewakili 29 persen angkatan kerja.
Perlu Bantuan Keuangan
Demi menangani masalah pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Ada program pra-kerja, pembagian bantuan sembako, juga bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 600ribu tiap bulannya kepada puluhan juta orang.
Masalahnya, uang sejumlah itu tidak menjamin warga negara mendapat pekerjaan atau penghasilan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di Spanyol, pemerintah melarang perusahaan memecat karyawannya. Otomatis, perusahaan harus merumahkan karyawan. Pemerintah juga telah menggelontorkan paket uang 200 miliar euro untuk membantu kehidupan masyarakat yang tidak mendapat penghasilan. Perancis pun menerapkan larangan serupa yang melarang ada PHK selama pandemi.
Inggris juga mengambil kebijakan membantu perusahaan yang kesulitan membayar gaji pegawainya. Demi menghindari pemecatan, pemerintah Inggris bersedia membayar 80 persen gaji para pegawai dengan besaran maksimal 2.500 euro atau 2.173 poundsterling.
Harvard Business Review menjelaskan bahwa langkah-langkah yang dilakukan Spanyol, Perancis, dan Inggris seharusnya bisa dilakukan negara lain untuk mencegah pemecatan selama pandemi. Indonesia masih bisa menerapkan kebijakan serupa alih-alih hanya memberikan bantuan finansial tanpa jaminan keamanan pekerjaan.
Editor: Windu Jusuf