tirto.id - Minggu 10 Februari 2018, terjadi kecelakaan bus di Kawasan Tanjakan Emen, Subang, Jawa Barat. Bus berisi rombongan dari Koperasi Simpan Pinjam Permata Ciputat Tangerang Selatan yang sedang berwisata ke Tangkuban Perahu.
Menurut laporan kepolisian, saat melewati Tanjakan Emen dari arah Bandung (usai berwisata di Tangkuban Perahu), bus oleng dan menabrak sepeda motor. Bus kemudian menabrak tebing sebelum akhirnya terguling. “Korban meninggal 27 orang, penumpangnya semua ibu-ibu,” ujar Kasubag Humas RSUD Subang, Mamat Budirakhmat, kepada Antara.
Tragedi dan Mitos di Tanjakan Emen
Lima hari usai kecelakaan di Emen, pemerintah—lewat Kemenhub—mengubah nama Kawasan Jalan Tanjakan Emen menjadi Kawasan Jalan Tanjakan Aman. Perubahan nama jalan diambil untuk mengubah pandangan masyarakat yang berpendapat bahwa tanjakan Emen merupakan “jalan maut.”
Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setyadi, mengungkapkan penggantian nama Jalan Emen disahkan selepas adanya perundingan antara Komisi IV DPRD Jawa Barat, Kemenhub, Jasa Raharja, Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat).
“Itu [perubahan nama] dilakukan secara spontan di lokasi saat perbaikan jalan sedang dilakukan. Bersama pihak-pihak terkait, saya lantas mengusulkan bagaimana jika nama tanjakan ini diubah dengan “Aman” agar lebih memantapkan perbaikan,” jelasnya kepada Tirto.
Budi mengaku penggantian nama sudah disetujui oleh tokoh masyarakat setempat. “Syukur, tokoh setempat mulai dari kecamatan, kelurahan, dan ulama menyetujui hal ini. Mengubah nama jadi semacam doa agar tidak terjadi apa-apa lagi,” tambahnya.
Tak hanya mengubah nama, Kemenhub juga memasang chevron (rambu pengarah tikungan), jalur escape (jalur antisipasi untuk mobil saat rem blong), serta lampu peringatan (warning light) di sepanjang Kawasan Tanjakan Aman.
Angka kecelakaan di Tanjakan Aman bisa dibilang cukup tinggi. Data memperlihatkan kecelakaan di wilayah ini telah merenggut nyawa sekitar 54 orang sejak 2004.
Pada 2004, kecelakaan bus pariwisata asal Jakarta yang hendak pulang dari arah Bandung menewaskan tiga orang. Lima tahun kemudian, kecelakaan yang melibatkan bus Parahyangan dengan penumpang sebanyak 41 orang terjadi dan menewaskan tujuh di antaranya.
Tahun 2011, kecelakaan kembali terjadi. Bus mengebut dari arah Tangkuban Perahu lalu kehilangan kendali hingga menabrak batas jalan. Tiga penumpang dilaporkan tewas di tempat dan sembilan lainnya mengalami luka berat.
Memasuki 2012, kecelakaan menimpa bus Dian Mitra yang hendak menuju Ciater dari arah Tangkuban Perahu. Bus tersebut menabrak motor sebelum oleng dan menghantam tebing. Korban meninggal sebanyak empat orang.
Dua tahun berselang, kejadian yang sama menimpa rombongan pelajar SMA Nurul Huda Cengkareng. Sembilan penumpang tewas akibat kecelakaan tersebut. Pada 2017, kecelakaan terulang lagi melibatkan minibus, sepeda motor, dan mobil yang mengakibatkan satu orang meninggal.
Selain dikenal dengan medannya yang curam dan berbahaya, Tanjakan Emen juga dikenal lewat kisah mistis di dalamnya. Nama Emen sendiri diambil dari nama mantan prajurit yang beralih profesi menjadi supir. Pada 1965, Emen tewas di tanjakan tersebut dan arwahnya disebut-sebut bergentayangan.
“Mitosnya, kan, seperti itu. Ada mantan prajurit yang jadi supir lalu meninggal akibat kecelakaan. Sampai sekarang, arwahnya bergentayangan, membuat angker lokasi, dan banyak yang berpendapat kecelakaan di sini disebabkan oleh hal itu,” terang Budi.
Si Liar Sumber Kencono
Pergantian nama untuk mengenyahkan pandangan negatif tidak dilakukan Kemenhub—lewat Tanjakan Aman—saja. Di Jawa Timur, Perusahaan Operator (PO) bus Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP) Sumber Kencono juga melakukan hal serupa. PO Sumber Kencono dikenal sebagai bus yang beroperasi di jalur selatan Jawa dengan rute mulai dari Surabaya-Semarang, Surabaya-Solo, sampai Surabaya-Yogyakarta. Total, ada sekitar 230 armada yang dimiliki Sumber Kencono.
Tujuh tahun silam, PO Sumber Kencono mengganti namanya dengan “Sumber Selamat” dan “Sugeng Rahayu.” Kabar bergantinya nama Sumber Kencono pertama kali dikonfirmasi oleh Kepala UPT Terminal Purabaya, Surabaya saat itu, May Ronald.
Mengutip Kompas, pergantian nama tersebut dituangkan dalam surat pemberitahuan yang dimasukkan ke Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya. Perubahan nama turut diikuti dengan perubahan identitas pada buku uji, kartu pengawasan, dan kartu izin trayek. Terdapat 80 armada bus Sumber Kencono yang berubah nama.
“Saya harap bukan hanya namanya saja yang berubah, tapi, juga pada pelayanan penumpang serta tata cara mengemudi di jalan raya,” kata Ronald.
Perubahan nama Sumber Kencono tak bisa dilepaskan dari citra mereka yang lekat dengan kecelakaan dan supir yang ugal-ugalan saat mengemudi. Saking “liarnya”, Sumber Kencono di jalanan, publik memelesetkan nama bus tersebut jadi “Sumber Bencono” (Sumber Bencana). Penggantian nama dimaksudkan untuk menghilangkan stigma buruk masyarakat kepada Sumber Kencono.
“Sengaja nama beberapa bus diganti agar selamat,” ujar Koordinator Kontrol PO Sumber Kencono wilayah Surabaya-Yogyakarta, Dwi Harmanto, 2012 silam.
Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), data Ditlantas Polda Jatim—yang dihimpun dari Polres Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Ngawi, Nganjuk, dan Madiun—melaporkan, PO Sumber Kencono kerap mengalami kecelakaan. Menurut catatan kepolisian seperti dilansir Kompas, Sumber Kencono telah mengalami kecelakaan sebanyak 51 kali yang menelan 126 korban (36 meninggal, 31 luka berat, serta 59 lainnya luka ringan).
Namun, perubahan nama tidak serta merta melenyapkan keterlibatan Sumber Kencono dalam kecelakaan lalu lintas. Pada Januari 2012, Sumber Kencono terlibat tabrakan dengan truk di Jalan Raya Surabaya-Madiun. Korban tewas berjumlah enam orang.
Dua bulan kemudian, bus Sumber Kencono dengan rute Surabaya-Semarang dengan rute Surabaya-Semarang terguling dan terperosok ke sungai di Jalan Raya Magetan-Ngawi. Terperosoknya Sumber Kencono diakibatkan menghindari sepeda motor yang bersenggolan di depannya. Tidak ada korban jiwa, tapi, 18 penumpang mengalami luka-luka.
Masih di bulan yang sama, bus Sugeng Rahayu dengan rute Surabaya-Yogyakarta menabrak mobil Avanza dari belakang di Jalan Surabaya-Madiun Kilometer 137. Akibat tabrakan itu, tiga penumpang mobil tewas dan enam lainnya luka-luka.
Seringnya Sumber Kencono terlibat kecelakaan membuat sejumlah pihak, pemerintah, dan masyarakat geram. Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sempat melayangkan surat ke Menteri Perhubungan agar trayek PO Sumber Kencono dicabut. Sedangkan, di Ngawi, bus Sumber Kencono bahkan dibakar warga.
Pemilik PO Sumber Kencono, Setyaki, mengaku pasrah atas tekanan yang diberikan kepada perusahaannya. Namun, ia juga mengaku bahwa pihak perusahaannya telah menempuh pelbagai langkah agar kecelakaan yang melibatkan Sumber Kencono tidak terulang lagi.
Beberapa langkah perbaikan yang sudah dilakukan Sumber Kencono, menurut Setyaki, antara lain memperketat rekrutmen supir, melengkapi administrasi, hingga meningkatkan kemampuan mengemudi supir lewat tes kondisi fisik, psikologis, maupun dasar mengemudi. Tak sebatas itu, perusahaan juga memberikan layanan SMS pengaduan dan GPS (Global Positioning System) di setiap bus serta menghadirkan psikolog untuk konseling kru.
“Kenapa kami kok disalahkan terus? Kami sudah berupaya menjadi baik. Siapapun yang memberikan saran, akan kita lakukan untuk jadi lebih baik,” terangnya seperti dikutip Detik.
Tentang betapa ugal-ugalannya bus Sumber Kencono ini diakui oleh Rezky Adiputra. Pekerja di salah satu agensi iklan di Jakarta Barat tersebut memiliki kenangan tersendiri saat menaiki Sumber Kencono jurusan Yogyakarta-Surabaya lima tahun yang lalu.
“Itu karena insidental banget. Karena kehabisan kereta dan dikejar waktu untuk segera tiba di Surabaya keesokan harinya, mau enggak mau, aku harus naik bus. Dan, dapatnya Sumber Kencono,” paparnya saat dihubungi Tirto.
Rezky mengatakan dirinya mengetahui ihwal citra Sumber Kencono yang liar di jalanan dan kerap terlibat kecelakaan.
“Bener aja. Ketika masuk wilayah Sragen—Jawa Tengah—bus ngebut. Itu kira-kira jam 12an malam. Sepanjang jalan, aku cuma bisa diam dan berdoa semoga enggak ada apa-apa. Untung selamat sampai tujuan,” jelasnya.
“Yang jelas, itu pengalaman pertama dan terakhirku naik Sumber Kencono. Enggak mau lagi, deh, di waktu-waktu mendatang,” pungkas Rezky.
Makna Perubahan Nama
Daniela Cavallaro dalam Critical and Cultural Theory: Thematic Version (2011) menyebutkan nama memperlihatkan waktu, tempat, suasana, peristiwa, status sosial, sejarah, dan tradisi. Menurut Cavallaro, nama menjelaskan produk masyarakat yang merujuk pada budaya, nilai, cita-cita, harapan, hingga doa.
Pendapat senada diungkapkan Gendri Hendrastomo, pengajar sosiologi hukum dan budaya Universitas Negeri Yogyakarta, menyatakan nama merupakan bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang diharapkan memberi kebaikan.
“Mengubah nama itu digunakan agar nama tersebut dapat melekat kuat di benak masyarakat di samping merepresentasikan apakah perubahan nama bersangkutan mampu memenuhi harapan baik dari lingkungan sekitar,” terangnya saat dihubungi via telepon.
Gendri menambahkan, ada perbedaan dalam menangkap makna perubahan nama. Masyarakat yang berpikir rasional, menganggap poin penting dari perubahan nama adalah mudah diingat. Sedangkan masyarakat yang masih memegang teguh prinsip-prinsip tradisional, meyakini perubahan nama adalah “sesuatu” hal yang sifatnya penting.
Nama Tanjakan Emen maupun Sumber Kencono sama-sama diubah untuk kepentingan keselamatan. Pihak-pihak terkait mengganti nama tersebut agar citra di hadapan publik turut berubah.
Akan tetapi, terlepas dari perubahan nama tersebut, hal penting yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kecelakaan adalah mengutamakan keselamatan berkendara dan perbaikan fasilitas jalanan secara rutin.
Penulis: M Faisal
Editor: Maulida Sri Handayani