tirto.id - Dori kembali jadi perbincangan. Sayang, bukan tentang film Finding Dory. Melainkan soal dori impor dari Vietnam. Beberapa hari lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengumumkan adanya ikan dori ilegal di pasaran.
Dari hasil operasi KKP dan Bareskrim Polri pada April lalu, diketahui pula bahwa dori ilegal itu mengandung tripolyphosphate(pemutih, juga kerap dipakai sebagai pengawet) dalam jumlah melampaui ambang batas. Dalam sampel yang diuji, kadar tripolyphosphate di ikan impor itu mencapai 7.423,18 ppm dan 8.251,26 ppm. Padahal ambang batas yang diperkenankan adalah 2.000 ppm/ kilogram.
Keruwetan impor dori ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2011, situs berita Antara pernah menulis bahwa Indonesia mengimpor sekitar 600 ton fillet ikan dori per bulan. Sebagian besar berasal dari Vietnam. Di berita itu, sudah dijelaskan bahwa ikan impor memakai pemutih.
Di tahun yang sama, Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, mengatakan Indonesia akan menghentikan impor ikan dori. Hal ini dikarenakan Indonesia sudah mulai bisa memproduksi dalam jumlah besar, dan dengan kenaikan produksi di atas 50 persen per tahun.
Baca juga:Impor Ikan di Indonesia Menurun
Namun, ternyata hingga tahun ini, ikan impor dari Vietnam masih banyak ditemukan di berbagai supermarket. Selain mematikan pasaran ikan lokal—karena yang impor malah lebih murah—ikan impor ini ternyata berbahaya. Bukan itu saja, ada masalah lain yang seolah luput diperbincangkan: mislabelling, atau pelabelan nama ikan yang salah. Bisa dibilang ini adalah penipuan terhadap konsumen.
Ikan yang sering dilabeli sebagai dori ternyata ikan patin. Ikan yang masuk dalam keluarga catfish ini tentu tidak akan laku diekspor jika memakai nama patin. Toh, Indonesia punya banyak produksi ikan patin. Agar lebih laku, ikan ini kerap dilabeli sebagai dori, ikan mahal yang kerap dipakai sebagai bahan baku untuk fish and chips.
Praktik penipuan seperti ini pernah dibongkar oleh Oceana, sebuah lembaga kelautan yang bermarkas di Amerika Serikat. Modusnya memanfaatkan keawaman konsumen akan rasa maupun tekstur ikan. Sebagian besar konsumen mungkin akan susah membedakan fillet kakap dengan tilapia (satu rumpun dengan ikan nila). Atau membedakan ikan dori dengan ikan patin.
Dari hasil penelitian Oceana, dari 46 jenis ikan yang dites, ada 27 atau 59 persennya dilabeli tidak sesuai jenisnya. Dari 200 penelitian yang dilakukan di 55 negara ini, mereka menemukan satu dari lima ikan yang dijual tidak dilabeli secara jujur. Semisal ikan tilapia yang dilabeli kakap, atau ikan escolar yang diberi label sebagai tuna. Dari warna, tekstur, dan rasa, ikan-ikan itu nyaris mirip. Untuk spesies kakap merah, hanya 7 dari 120 ekor yang dilabeli dengan benar. Sisanya adalah ikan pengganti yang diberi label sebagai ikan kakap merah.
Motif terbesar penipuan ini apalagi kalau bukan duit. Menurut Oceana, sekitar 65 persen pelaku penipuan ini melakukan atas nama uang. Karenanya ikan yang ditukar itu adalah jenis-jenis ikan berharga tinggi. Seperti salmon, kakap, cod, tuna, sole, halibut, dan kerapu.
Bayangkan jika penjual melego fillet tilapia dan dilabeli sebagai kakap. Dia bisa mendapat 10 dolar alih-alih hanya 3 dolar. Di AS, tempat yang paling banyak melakukan mislabelling ini adalah restoran sushi. Dari sekitar 250 restoran sushi yang diperiksa, sekitar 74 persennya melakukan mislabelling ini.
Baca juga:Bagaimana Ikan Bisa Menipu Kita
Pihak yang paling dirugikan tentu adalah konsumen. Mereka kerap membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya berharga lebih murah. Kedua, penipuan rasa. Ketiga, ini yang paling berbahaya, adalah soal kesehatan. Ikan patin impor dari Vietnam yang dipacak sebagai dori itu sudah terbukti mengandung pemutih dan pengawet jauh melebihi batas. Ini jelas membahayakan kesehatan dalam jangka panjang. Sedangkan di AS, sekitar 84 persen sampel ikan yang dilabeli sebagai tuna putih, sebenarnya adalah escolar, satu spesies ikan yang bisa merusak percernaan jika dikonsumsi lebih dari dua atau tiga ons.
Dengan kata lain: ikan escolar itu bisa bikin Anda mencret-mencret.
Mencari Pengganti Ikan Dori
Ikan dori adalah ikan yang disebut sebagai ikan tak enak dipandang tapi enak disantap. Orang Barat menjulukinya, "the most unlovely fish you'll ever love."
Bentuknya memang tak indah. Moncongnya tak simetris. Dahinya menjorok ke dalam. Matanya besar. Dengan sisik-sisik pendek di bagian belakang dan sirip panjang di bagian atas. Proporsi wajah dan badannya 30:70, membuat ikan ini tampak punya wajah amat besar.
Tapi ia populer sebagai hidangan makanan. Dagingnya putih, empuk, tebal. Sama seperti banyak hidangan ikan lainnya, dori amat fleksibel untuk dimasak. Ia enak dipanggang, lezat dibakar, mantap berbanjur kuah kari, atau dipupur tepung dan digoreng di minyak banyak. Dori termasuk ikan yang paling banyak dipakai untuk fish and chips—makanan asal Britania Raya berupa fillet ikan digoreng tepung dan disajikan bersama kentang goreng.
Masalahnya, harga dori tak murah. Untuk spesies John Dory—dori paling populer—harga fillet kualitas apik di pasar internasional mencapai Rp650 ribu per 450 gram. Di Australia, seiris daging John Dory seberat 180 gram harganya adalah 9,72 dolar, atau sekitar Rp102 ribu.
Namun kasus terbongkarnya patin berselimut dori ini memberi satu pelajaran penting: rasa kerap bisa disamarkan. Perkara kelezatan, terasa betul kebenaran pepatah tak ada rotan akar pun jadi. Kalau tak ada dori, ada banyak sekali ikan pengganti yang bisa dipakai.
"Kalau aku, gantinya mungkin ikan gabus. Rasanya manis, harganya juga murah," ujar Putra Siregar, juru masak di Coffee Life.
Ikan gabus memang salah satu pusaka kebanggaan Indonesia. Sebenarnya habitat paling lezat bagi ikan gabus adalah masak habang khas Kalimantan. Masakan itu layak masuk dalam masakan ikan kelas superior, bahkan jika dibandingkan dengan jenis masakan ikan dari seluruh penjuru dunia. Meski begitu, ikan haruan—nama lain gabus—juga lezat ketika digoreng dengan tepung dan dicocol dengan saus tartar, saus sambal, atau mayones.
Baca juga:Kembali ke Ikan
Pengganti lain tentu patin atau lele. Mereka satu keluarga. Namun patin punya keunggulan karena ukuran yang lebih besar. Karena itu, lebih mudah membuatnya tampil tanpa tulang. Sebenarnya ketimbang memaksakan diri menggunakan nama dori, padahal bukan, restoran yang menyajikan fish and chips di seantero Indonesia tak perlu malu-malu memakai kata patin.
Lagipula, patin termasuk kelas ikan konsumsi yang populer. Dagingnya tebal. Rasanya manis, walau kalau salah cara masak ia bisa menguarkan aroma tanah yang cukup mengganggu. Kalau mau sedikit elegan dan tak segan mengeluarkan biaya besar, kakap merah bisa pula dipakai untuk fish and chips. Siapa pun tak bisa menyangkal dahsyatnya rasa ikan yang memiliki kesamaan nasib dengan dori ini: tampang tak elok tapi rasanya aduhai.
Memang merepotkan sebenarnya. Banyak dari kita yang terpukau oleh reputasi ikan impor. Ikan impor—katakanlah yang paling populer, salmon—dianggap punya rasa yang lebih superior ketimbang ikan lokal yang kebersihannya terjaga. Sering pula ikan impor dianggap punya gizi yang amat tinggi dan tak bisa ditandingi oleh ikan lokal.
Perkara nama juga bikin pusing. Agar laku dengan harga lebih tinggi, para tengkulak Vietnam melabeli ikan patin (catfish) sebagai dori. Mereka sadar, nama dori lebih menjual ketimbang catfish, yang kalau di Indonesia diterjemahkan sebagai ikan lele.
Padahal Indonesia punya banyak ikan enak yang disantap turun temurun, dengan berbagai jenis pengolahan. Digoreng, dibakar, dikukus, banyak sekali ikan dengan rasa jempolan. Apalagi kalau ikannya masih segar: ada rasa manis yang menyelip pada daging nan lembut itu. Soal gizi, ada banyak ikan lokal dengan kandungan gizi yang sama atau malah lebih bagus ketimbang impor.
Kasus ikan patin ilegal dari Vietnam ini semoga makin membuka mata kita: segala yang impor tak selamanya lebih bagus.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani