tirto.id - Wacana pemindahan ibu kota Indonesia kembali bergulir. Pada 29 April 2019 kemarin, Presiden Joko Widodo bersama jajaran kabinetnya membahas pemindahan ibu kota dalam rapat terbatas “Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota” di Kantor Presiden.
Jokowi menyatakan wacana pemindahan ibu kota merupakan bagian dari “kepentingan yang lebih besar untuk bangsa” dan upaya “menyongsong kompetisi global”. Bila semua hal dipersiapkan dengan baik, menurut Jokowi, pemindahan ibu kota akan terealisasi.
Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, menjelaskan ada tiga alternatif pemindahan ibu kota. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tapi seluruh kantor pemerintahan, kementerian, dan lembaga berada di sekitaran Monumen Nasional (Monas). Kedua, pusat pemerintahan dipindah ke luar Jakarta dengan radius 50-70 kilometer dari Jakarta. Ketiga, ibu kota pemerintahan pindah ke luar Jawa.
Dari Afrika sampai Amerika Latin
Memindahkan ibu kota negara merupakan praktik yang lazim dilakukan. Pada abad ke-17, misalnya, Kekaisaran Rusia memindahkan ibu kota ke St. Petersburg dari Moskow yang jadi ibu kota sejak abad ke-14. Tujuannya agar pemerintahan lebih dekat dengan wilayah Eropa Barat. Setelah Revolusi Rusia, pada 1918, Moskow kembali menjadi ibu kota.
Negara pecahan Uni Soviet, Kazakhstan, juga mengambil langkah serupa. Sesaat setelah merdeka, pada 1991, pemerintah Kazakhstan memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Almaty ke Astana. Keputusan itu━yang baru terealisasi pada 1997━didasari faktor alam (sering gempa bumi), minimnya ruang untuk berkembang, serta dinamika politik.
Di Afrika, ada Nigeria yang memindahkan ibu kota dari Lagos ke Abuja karena faktor kepadatan penduduk. Abuja juga dianggap sebagai daerah yang lebih “netral” bagi banyak kelompok agama dan etnis di Nigeria.
Di kawasan Asia, Myanmar masuk daftar negara yang memindahkan ibu kotanya. Publik mengenal Rangoon sebagai pusat pemerintahan. Namun, pada 2002, pemerintah junta militer memberi instruksi untuk membangun ibu kota baru di Naypyidaw. Sebagaimana diwartakan The Telegraph, belum ada penjelasan yang jelas mengapa ibu kota Myanmar dipindahkan.
Bergeser ke Amerika Latin, Brazil menjadi contoh negara pertama di kawasan tersebut yang memindahkan ibu kotanya. Proses pemindahan ibu kota Brazil, dari Rio de Janeiro ke Brasilia, berlangsung selama empat tahun (1956-1960), kala pemerintahan dipegang Juscelino Kubitschek. Faktor pendorongnya adalah keadaan Rio yang sudah penuh sesak.
Meski demikian, tak semua pemindahan ibu kota berhasil dilakukan. Di Argentina, misalnya. Pada 1989, negara ini sempat merencanakan pemindahan ibu kota dari Buenos Aires ke Viedma. Kebijakan tersebut sudah diputuskan oleh Kongres Nasional Argentina pada Mei 1987. Sayang, karena krisis ekonomi yang melanda sepanjang 1989, upaya itu harus terhenti.
Keputusan untuk memindahkan ibu kota tak jarang memantik kontroversi dan perdebatan. Bagi pemerintah yang tengah berkuasa, memindahkan ibu kota punya arti untuk meningkatkan aktivitas politik juga gengsi.
Dalam tesisnya yang berjudul “Reasons for Relocating Capital Cities and Their Implications” (PDF, 2015), Erik Illmann menyebut setidaknya ada lima alasan yang melatarbelakangi pemindahan ibu kota.
Pertama, pemindahan ibu kota dilakukan untuk memenuhi tujuan pembangunan bangsa dan negara. Dengan memindahkan ibu kota, sebuah negara diperkirakan semakin mampu memperkuat identitas kebangsaannya. Kedua, mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah. Pembangunan ibu kota yang baru biasanya dibarengi dengan janji-janji peningkatan perekonomian.
Ketiga, muncul banyak masalah di ibu kota sebelumnya yang memengaruhi fungsi dan kinerja pemerintahan. Masalah-masalah itu meliputi banjir, kepadatan penduduk, hingga buruknya infrastruktur. Keempat, mengendalikan konflik dari kelompok oposisi yang semakin dekat dengan kekuasaan dan memungkinkan potensi perlawanannya semakin besar. Dengan memindahkan ibu kota, pemerintah bisa mengurangi━atau menghilangkan━risiko pemberontakan oposisi.
Terakhir, keputusan kepala pemerintahan. Bagi beberapa negara, faktor ini menjadi krusial. Kepala pemerintahan memainkan peran penting sebab ide relokasi ibu kota berasal darinya. Bahkan, pemindahan ibu kota tak akan pernah terjadi bila tak disertai political will dari kepala pemerintahan.
Haruskah Pindah Sepenuhnya?
Ibu kota merupakan tempat di mana pemerintahan suatu negara mengatur segala hal. Tak sekadar menjadi pusat pemerintahan dan politik, ibu kota juga adalah titik bertemunya aktivitas bisnis hingga budaya.
Memindahkan ibu kota berarti memindahkan semua aktivitas tersebut. Artinya, pemindahan ibu kota bukanlah hal mudah, perlu perencanaan matang serta eksekusi yang kompleks.
Pemerintah seringkali berdalih dengan dasar mengurangi kesenjangan. Dengan memindahkan ibu kota, pembangunan diharapkan bakal merata. Akan tetapi, tak selamanya dalih tersebut dapat diwujudkan di lapangan. Alih-alih menjadi momentum meratakan pembangunan, pemindahan ibu kota malah bisa memperbesar jurang kesenjangan, seperti yang terjadi di Brasilia.
Dalam artikel yang dipublikasikan di The Conversation, Nuno Pinto dan Aya Badawy (keduanya akademisi dari perencanaan tata kota University of Manchester) menerangkan mulanya Brasilia dirancang untuk merealisasikan cita-cita egaliter nan progresif Brasil dekade 1950-an. Dalam bayangan Kubitschek, Brasilia diharapkan mampu jadi ibu kota yang setara bagi semua orang━tak ada kesenjangan.
Harapan boleh saja diapungkan, tapi realita rupanya berkata lain. Alih-alih mengurangi kesenjangan, pembangunan Brasilia justru membikin kesenjangan baru di tengah masyarakat. Beberapa indikatornya, seperti yang dicatat Nuno dan Aya, adalah kurangnya akses ke infrastruktur publik hingga tidak tersedianya perumahan yang layak bagi kelompok menengah ke bawah. Pemandangan ini lantas menjadi warisan pembangunan yang tertinggal sampai sekarang.
Memindahkan keseluruhan “isi” ibu kota adalah pekerjaan yang kompleks. Bila memang Jakarta tak lagi kondusif untuk menunjang tugas dan fungsi negara, yang lebih dulu dapat dilakukan adalah memindahkan pusat administrasi pemerintahan, sebagaimana ditempuh Malaysia pada 1999.
Waktu itu, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, memerintahkan pembangunan sebuah kota di Putrajaya yang letaknya 25 kilometer dari Kuala Lumpur. Pembangunan Putrajaya, selain memenuhi ambisi politik Mahathir, juga ditujukan untuk menjadi pusat administrasi federal━berbagi tugas dengan Kuala Lumpur. Pembangunan tersebut tidak menggugurkan status Kuala Lumpur sebagai ibu kota resmi, pusat perekonomian, hingga basis parlemen.
Apa yang ditempuh Malaysia, mengutip Deden Rukmana, dosen program studi perencanaan tata kota Savannah State University, dalam “Pemindahan Ibukota Negara” (PDF), merupakan implementasi dari konsep split capital━di mana dua wilayah berfungsi sebagai ibu kota.
Selain Malaysia, beberapa negara seperti Belanda (Amsterdam dan Den Haag), Afrika Selatan (Pretoria, Bloemfontein, Cape Town), Bolivia (La Paz dan Sucre), hingga Israel (Jerusalem, Tel Aviv) tercatat menerapkan konsep serupa.
Terlepas dari buruknya ibu kota yang sekarang, Jakarta tetap menjadi simpul penting━baik secara historis, pelayanan publik, maupun perekonomian━bagi pemerintahan Indonesia. Segala hal sudah dan akan tersedia di kota ini. Entah itu urusan politik, budaya, sampai infrastruktur.
Bila memang wacana pemindahan ibu kota merupakan hal yang harus (segera) dilakukan, pemerintah bisa meniru langkah Malaysia atau negara lain yang menerapkan split capital. Selain dapat menghemat anggaran, pemindahan macam ini juga tak sekompleks pemindahan ibu kota secara penuh.
Editor: Maulida Sri Handayani