tirto.id - "Saat ini TNI seperti warga negara asing...,” kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Selama ini TNI tak punya hak politik untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Gatot sadar bahwa TNI adalah organisasi bersenjata yang dikhawatirkan ada kampanye dengan melibatkan senjata, meski dia berharap TNI sepuluh tahun ke depan siap untuk berpolitik jika ada undang-undangnya.
"Dikatakan harapan boleh, tapi yang jelas sekarang saya sebagai panglima TNI belum siap, entah lima sepuluh tahun yang akan datang ya tergantung kondisi politik," kata Gatot seperti dilansir Antara, dua bulan lalu.
Selama ini, tentara tak punya hak pilih. Undang-undang nomor 34 tahun 2004 menyebut: “....tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuit kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”
Lima tahun sebelum Gatot lahir, tentara memang boleh memilih. Namun, menurut Rum Aly dalam bukunya Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006), ketika itu tentara tidak dalam kondisi dipilih. Betul bahwa ada partai yang didirikan perwira-perwira berpangkat kolonel bernama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dideklarasikan pada 20 Mei 1954 di Bogor dan jadi kontestan Pemilu 1955. Tapi perwira-perwira itu berstatus nonaktif.
Partai ini berdiri beberapa tahun setelah dinonaktifkannya Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat. Tak hanya Nasution, Kolonel Gatot Subroto juga ikut serta. Gatot tidak dinonaktifkan, tapi dia memilih pensiun sejak 1953. Kolonel dr Azis Saleh juga terlibat di dalamnya.
Partai ini berisikan bekas-bekas pejuang di masa revolusi. Bekas pelarian Tentara Belanda yang belakangan jadi aktivis HAM, Poncke Pricen, juga pernah sebentar jadi wakil IPKI di Parlemen. Partai ini dikenal sebagai partainya Angkatan Darat. Orang kepercayaan Nasution di Angkatan Darat, Ahmad Sukendro bahkan pernah jadi ketuanya. Begitu juga istri dari Kolonel Hidayat, Ratu Aminah.
“Nasution berpikir bahwa ia tidak mampu menentang Sukarno secara frontal. Oleh sebab itu, ia mengatur strategi sendiri. Setelah dicopot, Nasution berubah strategi. Ia ikut arus dan berpidato tentang revolusi belum selesai. Bahkan dalam kampanye partai IPKI tahun 1955 ia juga berpidato tentang tentang ini. Nasution mendirikan IPI untuk memberi kesempatan kepada tentara (untuk) berpolitik,” tulis Asvi Warman Adam dalam buku kumpulan tulisan Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008).
Hasil perolehan suara Pemilu 1955 itu menunjukkan IPKI memperoleh 541.306 suara atau 1,43 persen. IPKI pun dapat jatah 4 kursi di parlemen. Sementara itu, partai lain semacam IPKI dari kepolisian, yakni Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) hanya memperoleh 200.419 suara atau 0,53 persen, mereka hanya menempatkan 2 wakil di parlemen.
Menurut Asvi, pencapaian IPKI tersebut dianggap Nasution kurang memuaskan hingga Nasution beralih strategi. Terutama setelah Nasution dikembalikan sebagai KSAD lagi sejak 28 Oktober 1955. Menurut Susan McKemmish, Maladi adalah orang yang membujuk dan meyakinkan Sukarno bahwa Nasution bukan orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Syahrir. Setelahnya, Nasution jaga jarak dengan partai politik.
Marle Ricklefs mencatat dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), “pada bulan September 1958, ketika PRRI/Permesta sedang bergolak, Nasution tiba-tiba melarang Masyumi, PSI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), juga IPKI, yang dulu didirikannya di daerah-daerah yang sedang bergolak ketika itu.
IPKI sendiri tetap hidup hingga awal orde baru. Di mana dalam Pemilu 1971, partai ini mendapat nomor urut 10. Dalam Pemilu tersebut, IPKI meraih suara sebanyak 338.043 suara atau 0,61 persen. Namun tidak punya kursi di DPR. Pada 10 Januari 1973, IPKI bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Parkindo dan Partai Katolik berfusi dan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Hilang sudah “partainya Angkatan Darat” itu. Sementara partai yang dekat dengan polisi juga tak jelas lagi.
Hanya di tahun 1955 saja tentara, yang pernah disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) itu, boleh memilih. Justru ketika rezim Orde Baru berjaya, tentara tak punya hak pilih, seperti halnya orang-orang yang terlibat Gerakan 30 September 1965. Begitu isi undang-undang nomor 15 tahun 1969 tentang hak pilih para tentara.
Pasal 11 dari UU nomor 15 tahun 1969 menyebut, “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih.” Pasal 14 dari UU tersebut juga menyebutkan, “Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak menggunakan hak dipilih.”
Selesai sudah hak politik tentara. Meski tak boleh ada anggota ABRI atau TNI yang boleh masuk bilik suara untuk memilih, ABRI punya wakil di Dewan Perwakilan Rakyat yang disebut Fraksi ABRI.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani