Menuju konten utama

Taji Baru KPPU untuk Jerat Pelaku Kartel

Revisi UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat akan segera disahkan DPR. Rencana denda maksimal 30 persen dari omzet akan menjadi mimpi buruk bagi para pengusaha pelaku persaingan tak sehat seperti praktik kartel.

Taji Baru KPPU untuk Jerat Pelaku Kartel
Ketua KPPU, Syarkawi Rauf (kiri), dan Ketua Perwakilan KPPU Makassar, Ramli Simanjuntak berbincang di sela kegiatan sosialisasi pola Kemitraan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kepada jajaran pemerintah daerah Sulsel di Gedung Keuangan Negara II, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/2).

tirto.id - Sejak Undang-undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diundangkan pada 1999, para pengusaha tak bisa leluasa melakukan monopoli dan kartel. Jika terbukti bersalah, mereka akan dikenai denda maksimal Rp25 miliar.

UU itu juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)), sebuah lembaga independen yang mengawasi dan menyelidiki praktik persaingan usaha tidak sehat. Seiring berjalannya waktu, para petinggi di lembaga ini berpikir ada banyak hal yang perlu diperbaiki. UU yang menjadi senjata KPPU selama ini dianggap terlalu lemah karena besaran denda yang tak memberi efek jera dan tak adil.

Bagi perusahaan raksasa dengan laba triliunan rupiah, membayar denda Rp25 miliar tentu bukan masalah besar. Apalagi jika monopoli atau kartel yang dilakukannya berhasil mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar dari denda yang ditetapkan.

Selain persoalan besaran denda, ada masalah-masalah lain di internal tubuh KPPU. Masalah yang selama ini menjadi momok, yaitu ketidakjelasan status para pegawai di KPPU.

“KPPU itu seperti lembaga training. Mereka masuk, kita beri pelatihan, mereka bekerja sebentar, tak lama mereka keluar, bekerja di instansi pemerintah lain atau menjadi pengacara,” ungkap Ketua KPPU Syarkawi Rauf kepada Tirto, Kamis (27/4/2017).

Syarkawi mengungkapkan beberapa pegawai KPPU memutuskan keluar akibat ketidakjelasan status lembaga dan jenjang karier mereka. KPPU memang bukan lembaga negara, melainkan lembaga independen. Jadi, karyawannya bukan sebagai aparatur sipil negara.

Selain kelembagaan dan denda, KPPU juga merasa perlu diperkuat wewenangnya untuk memeriksa dan menggeledah. Selama ini, mereka tak memiliki wewenang itu, sehingga sulit sekali membuktikan suatu praktik persaingan usaha tidak sehat. Alhasil, KPPU kerap mengandalkan alat bukti tidak langsung atau circumtantial evidence dalam persidangan. Hal ini beberapa kali membuat putusan KPPU dilemahkan pengadilan.

UU-persaingan-Usaha-rangga

Atas berbagai persoalan itu, KPPU sudah mengusulkan revisi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sejak 2011, atau sudah 6 tahun lamanya. Sejumlah rekomendasi mereka siapkan. Namun, Rancangan UU ini baru gencar dibahas di Komisi VI DPR-RI sejak 2016 lalu. Revisi UU tersebut telah selesai dibahas di Komisi VI dan siap dibawa ke rapat paripurna pada Jumat, 28 April 2017. Ada rekomendasi KPPU yang diterima, dan ada yang tidak oleh DPR.

Ketua Panja RUU Persaingan Usaha Azam Azman Natawijana mengatakan salah satu rekomendasi yang diterima dan akan membuat perubahan besar di lembaga KPPU adalah status kelembagaan. Dalam rancangan undang-undang yang baru, KPPU disebutkan sebagai lembaga negara. Dengan begitu, seluruh karyawannya akan tercatat sebagai aparatur sipil negara. Bagi KPPU, itu adalah kabar baik dan tentunya menggembirakan.

“Dengan perubahan ini nantinya, saya pikir turnover diKPPU tidak akan sebesar sebelumnya,” kata Syarkawi.

Rekomendasi KPPU soal besaran denda juga diterima. Dalam revisi undang-undang disebutkan bahwa besaran denda adalah minimal 5-30 persen dari omzet. Jadi, perusahaan raksasa tentu akan membayar denda lebih besar dibandingkan dengan perusahaan kecil.

“Menurut kami, ini lebih adil,” kata Azam kepada Tirto.

Itu mengapa pihaknya setuju memasukkan poin tersebut ke dalam UU yang baru. Selain dua hal itu, akan ada juga perubahan tentang pemberitahuan merger atau melebur. Selama ini, setiap ada dua perusahaan yang merger, KPPU akan memberikan pernyataan atau pemberitahuan tentang ada tidaknya indikasi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam proses merger tersebut. Namun sayangnya, pemberitahuan dilakukan setelah proses merger. Jadi, kalaupun ada potensi monopoli, akan sulit mengubahnya.

Dalam UU yang tengah direvisi, Komisi VI sepakat mengubah aturan tentang pemberitahuan merger ini. Kelak, sebelum proses merger dilakukan, KPPU akan memeriksa dan memberi tahu terlebih dahulu tentang ada tidaknya indikasi monopoli. Jika tidak, maka proses merger bisa dilanjutkan, tapi sebaliknya maka merger harus dibatalkan.

Hal lain yang ditambahkan dalam UU ini adalah adanya leniency programs. Ia semacam whistleblower system di KPK. Jadi, jika ada pelaku usaha yang melakukan kartel dan persekongkolan lainnya, lalu ia melaporkan perusahaan lain yang ikut bersekongkol ke KPPU, maka perusahaan yang melapor akan dibebaskan dari denda.

“Di Jerman, sistem ini cukup berhasil. Semoga di sini juga memberikan dampak positif,” ujar Azam.

Ada juga rekomendasi KPPU yang tidak disetujui Komisi VI, yakni soal wewenang KPPU untuk menyita dan menggeledah. Wewenang ini diserahkan ke pihak kepolisian. KPPU bisa meminta bantuan pihak kepolisian untuk melakukan penggeledahan, dan penyitaan jika ada pelaku usaha yang menyembunyikan data dan bukti.

“Kami juga memuat satu pasal yang menyatakan pihak aparat kepolisian wajib menindaklanjuti jika ada laporan dari KPPU,” imbuh Azam.

Syarkawi menilai keputusan kolaborasi dengan kepolisian cukup baik. Pihaknya bahkan sudah melakukan pertemuan dengan pihak kepolisian dan ada rencana membentuk satuan kerja khusus dengan KPPU.

Apa yang ada dalam RUU ini tentu masih kesepakatan Komisi VI, sebab belum disepakati dalam Rapat Paripurna di DPR. Hasil akhir rencananya akan diputuskan hari ini, 28 April 2017.

Baca juga artikel terkait KARTEL atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra