tirto.id - Arus sungai itu bergerak lambat. Airnya berwarna cokelat. Rumput lebat menjalar ke pinggiran sungai. Sebuah gubuk ukuran 3 x 3 meter persegi berdiri di bawah pohon sengon. Di depan gubuk terdapat sebuah tangga sungai yang menjorok. Di situlah Marzuki, seorang santri Padepokan Kanjeng Taat Pribadi, mandi dan cuci pakaian pada Minggu siang, (25/9/2016).
“Kamar mandi di tenda padepokan antre. Hanya empat. Sulit juga kalau buat nyuci,” kata Marzuki.
Lelaki berusia 46 tahun asal Tuban, Jawa Timur, itu mengaku sudah setahun dua bulan menetap di Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo. Sebagaimana santri lainnya, Marzuki menyebut Taat dengan panggilan "Yang Mulia". Dia percaya Taat akan mengubah nasibnya yang beberapa tahun ke belakang mengalami kesulitan.
“Masa-masa sulit yang saya alami sudah lewat. Saya datang ke sini karena percaya nanti pada saatnya Yang Mulia akan menyalurkan uang itu untuk kesejahteraan kami,” katanya.
Kendati pada Kamis pekan lalu, Taat sudah ditangkap oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur atas dugaan pembunuhan mantan dua santrinya, Abdul Gani dan Ismail, sampai kini Marzuki masih percaya yang diboyong Polda itu hanyalah bayangan Taat. Sementara raga yang asli "Yang Mulia", sedang beribadah di tanah suci.
“Saya percaya Yang Mulia sekarang ada di Mekah. Itu yang ada di Polda hanya banyangannya,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, Taat tidak ada sangkut pautnya dengan dugaan pembunuhan terhadap Abdul Gani dan Ismail. Dia meyakini hukuman yang akan dijatuhkan polisi hanya akan berhenti pada Wahyu sebagai eksekutor pembunuhan. “Mana buktinya? Tidak ada Yang Mulia terlibat. Sudahlah, jangan dibuat-buat. Pelakunya itu Wahyu,” kata Marzuki.
Posisi Santri dan Sultan
Selain Marzuki, ada Karsimin yang mandi dan cuci pakaian di sungai siang itu. Karsimin berusia 65 tahun. Dia orang Makassar, menjadi santri sejak seminggu sebelum penggerebekan Taat Pribadi oleh polisi. Nada bicara Karsimin meledak-ledak. Sebagaimana Marzuki, tanpa sungkan-sungkan, dia membeberkan ihwal bergabungnya dengan Padepokan Kanjeng Dimas.
Karsimin menuturkan, ada tiga posisi dalam Padepokan Dimas Kanjeng. Pertama adalah santri, mereka yang baru mendaftar dengan memberikan mahar paling sedikit Rp20 juta. “Tapi itu berlaku baru tiga bulan ini. Sebelumnya terserah mau naruh berapa. Yang jelas nanti uangnya akan kembali dengan sepuluh kali lipat,” kata Karsimin.
Posisi kedua, adalah koordinator. Posisi ini ditempati satu orang di setiap kabupaten atau kota. Tugasnya merekrut, mengumpulkan uang, dan meyakinkan setiap anggota yang akan bergabung.
Ketika ditanya siapa yang merekrutnya, Karsimin tidak membuka nama. Namun dia menjelaskan, orang itu adalah orang terpandang di Makassar dan mempunyai cukup pengaruh di Jakarta. “Saya percaya sama dia. Dia orang penting di kabupaten kami. Tidak mungkin dia berbohong,” katanya.
Sementara posisi yang ketiga adalah Sultan, yang kedudukannya penting di bawah Taat Pribadi. Karsimin menyebut sultan sebagai orang tangan kanan dan tangan kirinya "Yang Mulia”. Namun, kata Karsimin, tidak banyak yang mengetahui secara pasti siapa saja sultan ini. “Pokoknya banyak. Saya tidak tahu pastinya. Itu dirahasiakan,” kata Karsimin.
Muslihat Ringan Tangan
Sikap Marzuki maupun Karsimin yang sama-sama menganggap Taat Pribadi sebagai wali yang sengaja diturunkan Tuhan untuk membantu menyelesaikan kesulitan manusia. Tumpukan uang yang muncul dalam tayangan di Youtube, dipercaya merupakan uangnya Tuhan dan harus disalurkan kepada santri-santri dan warga sekitar.
“Allah itu Maha Besar, Maha Kuasa. Kekayaannya pasti diturunkan melalui orang yang karomah. Nah, orang karomah itu Yang Mulia,” kata Marzuki.
Tidak hanya disalurkan kepada santri, uang itu juga untuk masyarakat Wangkal dan juga digunakan untuk pembangunan desa. “Coba Anda lihat di sekitar padepokan, mana ada jalan yang bolong, yang rusak? Yang Mulia juga menyumbang uang untuk pembangunan lapangan Desa Wangkal dan beberapa bangunan seperti masjid, dan lain-lain,” lanjut Marzuki.
Seorang warga Wangkal yang menolak disebut nama, membenarkan keterangan Marzuki secara materi, bahwa keberadaan padepokan justru bermanfaat bagi masyarakat Wangkal. Bentuk manfaatnya antara lain sering memberikan santunan terutama bagi kaum miskin. Marzuki tak berpikir banyak tentang apa saja yang dilakukan Taat Pribadi di padepokannya.
“Saya ini pengangguraan, orang tidak punya penghasilan tetap. Jadi, asal halal apa pun akan saya lakukan untuk menghasilkan uang demi keluarga,” katanya sembari menjelaskan pernah beberapa kali mendapat penghasilan dari padepokan dengan disewa sebagai petugas keamanan.
“Kalau ada pengajian akbar, saya dan beberapa teman diajak seorang sultan untuk jaga keamanan. Dibayar Rp100 ribu semalam. Lumayan,” ungkapnya.
Istana Megah Padepokan Dimas Kanjeng
Jika berkunjung ke Wangkal, akan terlihat betapa kontrasnya luas lahan dan bangunan Padepokan Dimas Kanjeng dengan bangunan milik warga di sekitarnya. Marzuki tak membantah bahwa bangunan megah padepokan itu dibangun dalam waktu yang relatif cepat.
Rumah Taat Pribadi berlantai dua dengan luas sekitar 10 x 20 meter persegi. Cagak beton, berbahan kayu jati dengan ukiran khas keraton. Lantainya menggunakan batu mermer. Tepat di samping pagar depan, ada berbagai jenis bunga yang ditaman pada sebuah pot.
Di depan rumah terdapat sebuah pendopo ukuran 8 x 10 meter persegi. Dinding pendopo menggunakan kaca tebal buram. Di dalam, ada deretan kursi dan meja yang ditata secara melingkar khas hotel berbintang. Di sekitar pintu masuk tampak sebuah taman yang dirimbuni rumput dan bunga-bunga. Ada prasasti pada sebuah batu mermer yang diresmikan Taat Pribadi tahun lalu. Berderet dengan pendopo, ada aula dan asrama yang juga berlantai dua dan berdiri gagah.
Semua bangunan itu masih ditempeli ‘garis polisi’ pada Minggu siang itu. Bersebelahan dengan rumah Taat Pribadi, berdiri masjid dengan halaman yang luas. Sebelah kanan asrama, terdapat lapangan bola tenis. Sementara di sebelah kiri, terdapat parkir mobil dan lahan kosong yang tak kalah luasnya. Di lahan tersebut, berdiri tenda yang digunakan untuk menginap oleh ribuan santri, termasuk Marzuki dan Karsimin.
Kalau diperkirakan, kata Karsimin, semua lahan padepokan itu lebih dari dua hektar. “Yang Mulia pun membeli lahan itu dengan harga 10 kali lipat dari harga pada umumnya. Jadi, kalau sehektar dalam harga umum itu misalnya seratus juta, Yang Mulia membelinya satu miliar,” kata Karsimin.
Siapa Taat Pribadi?
Sumber yang namanya tidak mau dicantumkan menjelaskan, beberapa tahun sebelum Taat Pribadi terkenal dan punya ribuan pengikut seperti sekarang, dia hanyalah seorang petani yang sehari-harinya beraktivitas di sawah. “Mencangkul, mengairi, merawat, dan memanen hasil pertanian. Kadang juga jadi buruh tani. Tidak jauh berbeda dengan saya,” katanya.
Sejak remaja, Taat disebutkan jarang bergaul dengan teman-teman sebaya. Pada tahun 2008 hingga 2010, Taat masih aktif di LPPNRI, Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara RI untuk daerah Probolinggo. “Setelah mendirikan padepokan, dia sudah tidak aktif lagi di LPPNRI. Mungkin karena aktivitas padepokan yang semakin sibuk sehingga harus fokus ke situ,” ungkapnya.
Taat pun dikabarkan mempunyai tiga istri. Selain istri pertama, kata sumber itu, istri kedua dan ketiga disunting dari padepokan.
Sampai Minggu siang (25/9/2016), ribuan santri yang tersebar hampir di setiap daerah di penjuru Indonesia dipulangkan dari padepokan. Lebih dari 800 orang disebut masih bertahan di tenda. Mereka beraktivitas sebagaimana biasa, kecuali ketika beribadah yang tidak lagi dipimpin oleh Taat Pribadi yang meringkuk di bui polisi.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti