Menuju konten utama

Syahri Mulyo: Tahanan KPK yang Menang Pilbup Tulungagung

Kemenangan Syahri mengherankan lantaran ia satu-satunya kandidat kepala daerah berstatus tersangka yang meraih hasil positif.

Syahri Mulyo: Tahanan KPK yang Menang Pilbup Tulungagung
Pasangan calon bupati/wakil bupati petahana Syahri Mulyo dan Maryoto Bhirowo berjalan menuju kantor KPU Tulungagung guna menyerahkan berkas pendaftaran Pilkada Tulungagung di Tulungagung, Senin (8/1/2018). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

tirto.id - Status tersangka yang menyemat di depan nama Syahri Mulyo tak menghalanginya menjadi pemenang Pemilihan Bupati Tulungagung versi hasil hitung cepat. Politikus PDI Perjuangan ini berhasil mengalahkan pasangan Margiono-Eko Prisdianto yang diusung PKB, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Hanura, PAN, PKS, PPP, dan PBB.

Dalam Pilbup Tulungagung 2018, Syahri berpasangan dengan Maryoto Bhirowo dan didukung koalisi PDIP-NasDem. Syahri berhasil meraih suara 59,54 persen, berdasarkan hasil pindai 79,57 persen lembar C1 yang sudah dilakukan KPU, per Kamis (28/6/2018).

Kemenangan Syahri cukup mengherankan lantaran ia merupakan satu-satunya kandidat kepala daerah berstatus tersangka yang meraih hasil positif di pilkada 2018. Ini tentu menjadi anomali di tengah keoknya calon kepala daerah pesakitan lain di daerah masing-masing.

Lantas, apa yang membuat Syahri bisa menang dalam pemilihan ini? Mengingat kondisi serupa tak juga dialami Imas Aryumningsih yang juga merupakan petahana dan kembali maju dalam pemilihan Bupati Subang dan sama-sama ditahan di rumah tahanan KPK.

Faktor Psikologis dan Patronase

Menurut pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, Syahri unggul karena dirinya memiliki kedekatan berlebih dengan masyarakat Tulungagung.

“Dia punya modal kedekatan dengan masyarakat sejak 2013. Sehingga publik pasti mempertimbangkan kedekatan psikologis dari figur Pak Syahri dibanding status tersangkanya,” ujar Wawan kepada Tirto, Kamis siang.

Analisis ini berdasarkan lawan politik yang dihadapi Syahri adalah Margiono. Sosok Margiono lebih dikenal sebagai wartawan senior di Harian Rakyat Merdeka di Jakarta. Kondisi ini, kata Wawan, membuat Syahri menjadi figur paling dikenal dalam pilkada di daerahnya sehingga status pesakitan yang ia sandang tak berpengaruh signifikan terhadap elektabilitasnya.

Faktor lain, kata Wawan, demografi pemilih di Tulungagung masih banyak yang belum terlalu rasional dalam menentukan pilihan. Kondisi ini lagi-lagi menjadi keuntungan buat tersangka kasus suap tersebut untuk mengalahkan Margiono yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia.

“Ini sebenarnya menarik karena kedekatan psikologis sebenarnya tidak rasional, tapi itu rasional menurut irasionalitas dia. Itu teorinya sebenarnya karena publik melihat, meski tersangka tapi dia [Syahri] baik kok, buktinya mau dekat dan bergaul dengan rakyat. Pak Syahri kan orangnya seperti itu, yang saya tahu dia suka turun ke bawah,” ujar Wawan.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, menilai dua kondisi tersebut menjadi dasar munculnya patronase politik di Tulungagung. Patronase ini dianggap Airlangga memungkinkan Syahri menang atas Margiono.

“Itu yang menjadi sumber daya untuk memenangkan pilkada,” ujar Airlangga kepada Tirto.

Tak berbeda dari Wawan dan Airlangga, Rafif Pamenang Imawan yang merupakan peneliti dari Populi Centre menilai kemenangan tersebut menunjukkan pengaruh citra tokoh yang dimiliki Syahri, sangat besar. Masalah citra ini selaras dengan patronase dan kedekatan psikologis yang dikemukakan dua analis sebelumnya.

“Kepercayaan pemilih terhadap tokoh inilah yang saya rasa menjadi salah satu penjelas dari tetap unggulnya calon yang terkena korupsi," kata Rafif kepada Tirto.

Infografik CI Calon Kepada daerah tersangka Korupsi di pilkada 2018

Isu Korupsi Diabaikan

Pada sisi lain, Rafif justru menyoroti terjadinya pengabaian isu korupsi dalam kemenangan Syahri. Isu korupsi dinilainya bukan dijadikan fakta yang harus diterima, melainkan permainan isu untuk memantik simpati terhadap calon yang berstatus tersangka.

Tak hanya itu, Rafif menyebut, fokus pemberitaan soal isu korupsi ini tenggelam lantaran banyak media arus utama lebih mengangkat isu pemilihan gubernur di daerah yang diprediksi menjadi kunci kemenangan Joko Widodo pada Pemilu Presiden 2019.

“Ini yang membuat isu di Tulungagung tidak terlalu ter-blow-up. Beda cerita apabila muncul gerakan-gerakan rakyat antikorupsi di Tulungagung atau media lokal sudah secara kuat menjadi rujukan bagi masyarakat,” kata Rafif.

Di luar itu, Rafif menduga ada persoalan lain yang lebih mendasar yang dihadapi masyarakat Tulungagung dibanding memikirkan isu korupsi yang membelit kepala daerahnya.

“Tampaknya pemilih di Tulungagung lebih memikirkan faktor lain dari calon pemimpin, seperti bagaimana cara menyelesaikan persoalan ekonomi warga dibanding isu tersangka kasus korupsi,” ucap Rafif.

Tak Dipersoalkan KPK

Kemenangan Syahri sebagai Bupati Tulungagung 2018-2023 tak dipersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai kemenangan tahanan KPK itu membuktikan Syahri masih disayang warganya. Ia pun mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan yang tak bisa dibendung.

“Karena rakyatnya sayang sama dia apakah KPK akan melarang itu? Enggak boleh itu suara rakyat itu suara Tuhan,” kata Saut.

Saut mengaku tak tahu apa yang membuat Syahri menang, meski sedang ditahan KPK. Saut menduga Syahri punya kinerja bagus selama memimpin, tapi sayangnya ia tak punya integritas. Soal integritas ini, kata Saut, seharusnya menjadi pegangan semua kepala daerah karena “berkinerja baik saja tidak cukup, tapi [harus] antikorupsi. Jadi akan lebih baik.”

Ucapan Saut soal integritas ini memang seharusnya dipegang teguh lantaran calon kepala daerah terpilih dan menjadi tersangka, tak akan bisa memimpin daerah mereka. Alasannya, mereka akan langsung diberhentikan selepas dilantik menjadi kepala daerah. Ini sesuai dengan Pasal 164 ayat (6) UU Pilkada.

“Pernah ada kejadian di Pilkada 2015 itu pemenang pilkada dalam proses hukum, pada waktu itu sudah terpidana bahkan saat dikatakan menang. Sehingga saat secara administrasi dilantik, kemudian langsung diberhentikan,” ujar Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Baca juga artikel terkait PILKADA TULUNGAGUNG 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih