tirto.id - “Perempuan harus pandai mengatur uang karena kebutuhannya banyak.”
Pernyataan itu diungkapkan oleh Memey, dosen di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Meski biaya hidup di Yogyakarta termasuk yang termurah, tetapi tetap saja kebutuhan dasar perempuan yang banyak menuntutnya untuk lihai dalam mengatur pengeluaran setiap bulannya.
Dengan pendapatan sekitar Rp3-4 juta setiap bulan, Mey harus membagi penghasilannya untuk biaya kos, makan minum, produk kecantikan, transportasi, pengeluaran untuk hiburan seperti nonton atau nongkrong hingga untuk ditabung. Sedangkan untuk biaya kos, ia harus merogoh kantong hingga Rp600 ribu setiap bulannya.
“Aku biasa gunain untuk kebutuhan pokok dulu misalnya bayar kos, makan minum sama perlengkapan perempuan seperti bedak, deodoran, lipstik, sabun mandi dan lainnya. Kalau beli tas, sepatu, nongkrong biasanya jarang. Itu dibeli kalau ada uang sisa dari gaji tapi biasanya aku pakai untuk tabung,” ujar Memey.
Menurut Memey, pengeluaran terbesarnya ada pada makanan, lalu pada produk kecantikan. Beberapa produk kecantikan bahkan masuk dalam daftar "pengeluaran rutin" bulanan. Karena itu, ia harus memutar otak agar penghasilannya tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Ia pun memiliki kiat khusus untuk menekan pengeluaran dengan membeli satu produk yang dapat bertahan hingga satu bulan ke depan.
“Misalnya perempuan kan biasa beli lipstik dengan warna beragam, enggak cukup satu warna aja. Itu yang bikin boros karena satu lipstik aja bisa Rp100an ribu. Makanya aku beli satu warna lipstik. Kalau sudah habis baru beli baru. Tapi aku harus pastikan yang aku beli itu bisa bertahan sampe gajian bulan depan. Itu berlaku untuk produk kecantikan lainnya,” lanjut Memey.
Dengan ragam kebutuhan, Memey mengaku masih dapat menabung dari penghasilan yang ia dapat setiap bulannya dari menjadi seorang dosen. Setiap bulan ia mampu menabung Rp200 ribu hingga Rp500 ribu.
“Yang penting pandai ngatur aja. Mau berapa pendapatannya sama aja kalau enggak diatur dengan baik. Harus tahu mana kebutuhan pokok dan yang dapat ditunda. Kalau makanan kan gak bisa ditunda tapi kalau baju baru bisa ditunda,” kata perempuan asal Ambon tersebut.
Umumnya, perempuan memang dianggap sebagai pengelola keuangan yang baik. Survey on Financial Inclusial and Access (SOFIA) hasil inisiasi antara Indonesia, Australia dan Swiss mengungkapkan bahwa perempuan dianggap lebih andal dalam mengelola keuangan. SOFIA bahkan merekomendasikan lembaga keuangan dapat lebih melibatkan banyak peran perempuan di lembaga tersebut.
Survei yang mengambil sampel di empat provinsi di Indonesia: Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan dengan jumlah respondennya mencapai 20 ribu orang menemukan bahwa sekitar 64 persen perempuan aktif menabung, sedangkan laki-laki hanya mencapai 48 persen.
Perempuan juga memiliki cara sendiri dalam menabung dibandingkan laki-laki. Pada umumnya perempuan menabung dengan cara-cara informal seperti arisan atau ada juga yang menyimpan di rumah. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan perempuan yang sering berpartisipasi dalam kelompok-kelompok informal.
Selain itu, sekitar 61 persen perempuan juga membuat keputusan keuangan secara independen, dibandingkan dengan 24 persen laki-laki. Menurut Mey, pada umumnya dalam mengambil keputusan keuangan, perempuan sudah memperhitungkan risiko dari keputusan tersebut dan menyiapkan rencana cadangan. Sebaliknya 59 persen laki-laki jika akan membuat keputusan terkait keuangan akan mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan pasangan mereka dibandingkan perempuan dalam hal yang sama.
Poin penting lainnya, sekitar 69 persen perempuan menyadari seberapa besar atau seberapa kecil pendapatan dan pengeluaran mereka. Sedangkan dari sisi laki-laki hanya sekitar 52 persen yang menyadari besar atau kecilnya pendapatan dan pengeluaran.
Mengetahui besaran pendapatan dan pengeluaran artinya perempuan dapat mengatur pengeluaran agar tak melebihi dari jumlah pendapatan. Pandangan perempuan pandai mengelola uang ini senada dengan pernyataan dari vice president of analytics di Experian, Michele Raneri yang mengungkapkan bahwa perempuan lebih baik dalam berinvestasi, menabung dan mempersiapkan masa depan.
“Ketika melihat lebih dekat dengan data kami dan merujuk pada beberapa sumber data lainnya, kami melihat bahwa perempuan yang bekerja penuh waktu di Amerika Serikat memperoleh pendapatan 23 persen lebih sedikit dari laki-laki, tetapi perempuan memiliki langkah pengelolaan keuangan yang lebih baik dari laki-laki,” kata Michele Raneri.
Terkait menabung, dalam laporan Vanguard tahun 2015 juga mengungkapkan, sekitar 14 persen perempuan lebih mungkin berpartisipasi dalam rencana penghematan dibandingkan laki-laki. Namun, di balik anggapan akan kepandaian perempuan dalam mengelola keuangan dan menghemat sebagai kelebihan perempuan dibanding laki-laki ini tak serta merta membuat saldo tabungan perempuan melebihi laki-laki. Laporan Vanguard menunjukkan jika pria menghemat dalam jumlah yang lebih banyak.
“Saldo rata-rata laki-laki adalah 36.875 dolar AS sedangkan rata-rata saldo untuk perempuan 24,446 dolar AS,” kata analis senior Jean A. Young.
Ada dua alasan untuk menjelaskan hal di atas menurut Jean. Pertama, meski perempuan dianggap pandai mengelola keuangan sehingga dapat menyisihkan dari penghasilannya untuk ditabung tapi tetap kalah dari jumlah tabungan laki-laki karena pendapatan laki-laki yang jauh lebih tinggi dari perempuan. Selain itu, laki-laki dianggap lebih dahulu berkarir dibandingkan perempuan sehingga laki-laki lebih dahulu menghasilkan pendapatan dibandingkan perempuan.
Namun, dalam beberapa kasus, tabungan perempuan yang lebih kecil mungkin disebabkan oleh sifat boros perempuan dalam beberapa hal misalnya soal fashion dan kosmetik atau produk kecantikan. Mey mengakui bahwa kebutuhan terbesar perempuan selain untuk makan adalah produk kecantikan bahkan dianggap kebutuhan pokok. Ketika budget mereka tak cukup bisa jadi mereka mengambil dari tabungan mereka.
Hal ini senada dengan penelitian Trigita Tresna mengenai perilaku konsumtif di kalangan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta pada klinik kecantikan. Ia menemukan bahwa sebagian besar mahasiswa perempuan berlomba-lomba “membuang uang” di klinik-klinik kecantikan yang menjamur di Yogyakarta.
Penelitian lainnya terkait perilaku konsumtif mahasiswa putri di Surakarta pada produk fashion menemukan bahwa mereka yang berusia 18 hingga 23 gemar berbelanja produk fashion. Menurut Ruth hayden yang menulis For Richer, Nor Poorer: The Money Book for Couples, perempuan kebanyakan diajarkan untuk mengeluarkan uang pada lifestyle termasuk produk kecantikan sedangkan laki-laki diajarkan untuk berinvestasi pada barang-barang yang bernilai tinggi.
Kebiasaan di atas berpengaruh pada nilai aset yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan. Kebiasaan laki-laki dalam berinvestasi pada barang-barang bernilai tinggi membuat laki-laki memiliki aset yang lebih banyak dari perempuan. Hal itu selaras dengan hasil Survei dari SOFIA yang menunjukkan bahwa kepemilikan aset laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan aset yang dimiliki perempuan. Kebanyakan perempuan tidak memiliki tanah atau properti.
"Ketidaksetaraan dalam kepemilikan aset antara pria dan perempuan terus terjadi. Perempuan memiliki skor relatif rendah pada indeks aset jika dibandingkan dengan laki-laki," tulis survei tersebut.
Perempuan memang lihai dalam mengelola keuangan agar memenuhi kebutuhan sehingga cukup hingga gajian berikutnya, tetapi laki-laki lebih berpikir untuk cukup di masa depan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti