tirto.id - Mahkamah Eropa, Selasa (14/3), mengeluarkan putusan: perusahaan swasta berhak melarang karyawan perempuannya mengenakan kerudung di tempat kerja.
Menurut pengadilan tertinggi Uni Eropa tersebut, aturan internal perusahaan yang menyangkut larangan pengenaan simbol yang bersifat politis, filosofis, atau agamis dalam jenis apa pun tidak termasuk bentuk diskriminasi langsung, selama larangan tersebut tidak hanya berlaku untuk kerudung, tetapi juga kepada jenis pakaian lain seperti serban dan peci.
Di beberapa negara Eropa -- termasuk Jerman, Prancis, Belanda, Belgia, Inggris Raya, dan Austria -- larangan mengenakan simbol agama sudah sejak lama diberlakukan dalam institusi pendidikan dan pemerintahan serta ruang publik. Namun dalam sektor swasta, ini merupakan hal baru. Bagi Mahkamah Eropa sendiri, putusan mengenai larangan pengenaan simbol agama merupakan yang pertama dalam sejarah mereka.
Putusan tersebut diambil berdasarkan dua kasus pemberhentian sepihak kepada dua perempuan muslim yang mengenakan kerudung di tempat mereka bekerja di Belgia dan Prancis.
Samira Achbita bekerja sebagai resepsionis untuk G4S, perusahaan penyedia jasa keamanan yang berkantor pusat di London, di kantor cabang Belgia. Achbita tidak memiliki masalah hingga, di tahun ketiganya bersama G4S, ia memutuskan berkerudung, termasuk ketika bekerja. Pihak G4S mempermasalahkan hal tersebut, namun Achbita menolak menanggalkan kerudungnya. Pada Juni 2006, Achbita dipecat karena dianggap melanggar aturan tak tertulis mengenai larangan pengenaan simbol agama di tempat kerja.
Berbeda dengan Achbita, Asma Bougnaoui sudah mengenakan kerudung bahkan sejak dirinya belum bergabung dengan Micropole Univers SA, perusahaan Prancis yang bergerak di bidang konsultasi teknologi informasi, sebagai design engineer. Bougnaoui sudah diwanti-wanti, menjelang bergabung dengan Micropole, bahwa kerudung mungkin akan menimbulkan masalah dengan klien. Pada Juni 2009, Bougnaoui dipecat setelah mendapat keluhan dari klien mengenai Bougnaoui.
Dalam kasus pertama, Mahkamah Eropa memutuskan G4S tidak melakukan tindakan diskriminatif terhadap Achbita karena aturan tidak tertulis yang berlaku hanya merujuk kepada larangan pengenaan simbol bersifat politis, filosofis, dan agamis dalam bentuk apa pun, bukan secara khusus kepada kerudung atau merujuk Islam secara khusus. G4S dinyatakan berhak menerapkan aturan yang mengharuskan para pegawainya berpakaian netral.
Sementara itu, dalam kasus kedua, Mahkamah Eropa memutuskan bahwa Micropole telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap Bougnaoui. Mereka memecat Bougnaoui hanya karena ia menolak menanggalkan kerudungnya, bukan karena tidak kompeten dalam menjalankan pekerjaannya. Tanpa bukti bahwa kerudung Bougnaoui mempengaruhi performanya, tindakan Micropole dinilai sebagai diskriminasi langsung berdasarkan agama atau keyakinan.
Putusan Mahkamah Eropa mengenai hak perusahaan untuk melarang pengenaan kerudung dengan sendirinya merupakan hal besar yang akan mengundang reaksi masyarakat luas. Pemilihan waktu pengumuman putusan, yang berdekatan dengan pemilu Belanda (yang merupakan pemilu pertama dalam rangkaian pemilu di negara-negara Eropa termasuk Prancis dan Jerman), membuatnya jadi lebih besar.
Camino Mortera-Martinez, peneliti di Center for European Reform yang berbasis di Belgia, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Eropa adalah bukti bahwa ada perubahan arah kebijakan dalam Mahkamah Eropa.
“Ini langkah yang sangat berani,” ujarnya sebagaimana diwartakan New York Times. “Belakangan kita lihat Mahkamah Eropa jauh lebih mengikuti arah politik ketimbang mengambil keputusan menurut hukum, akibat pengakuan bahwa Uni Eropa terancam pecah.”
Kongres Pendeta Yahudi Eropa (the Conference of European Rabbis), yang beranggotakan 700 pendeta Yahudi di seluruh Eropa, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Eropa dengan sendirinya merupakan pernyataan bahwa Eropa tidak lagi terbuka kepada komunitas yang terbentuk dari kesamaan keyakinan.
“Putusan yang mengecewakan ini melemahkan jaminan kesamaan yang merupakan inti dari petunjuk anti-diskriminasi Uni Eropa,” ujar Maryam H’madoun, penasihat kebijakan untuk Open Society Foundation, sebagaimana dikutip dari New York Times. H’madoun juga berpendapat bahwa putusan ini akan membuat perempuan muslim semakin sulit mendapat pekerjaan.
Pendapat H’madoun diamini oleh Simon Cox, senior legal officer di Open Society Foundation. “Putusan Mahkamah Eropa akan memaksa perusahaan untuk mengambil sikap dan lebih membuka diri kepada kesediaan untuk tidak mempekerjakan perempuan berkerudung,” ujar Cox, yang khusus menangani isu anti-diskriminasi, sebagaimana diwartakan Guardian.
Sementara itu, Colm O’Cinneide, guru besar hak asasi manusia dan hukum tata negara di University College London, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Eropa memberi perlindungan hukum kepada perusahaan-perusahaan dalam memperlakukan pegawai-pegawainya berdasar keyakinan mereka. Putusan ini hanya akan memicu lebih banyak larangan mengenai pakaian agamis di tempat kerja.
Politisi-politisi sayap kanan sendiri menyambut putusan Mahkamah Eropa dengan suka cita. François Fillon, calon presiden Prancis dari Partai Republikan, berujar bahwa putusan ini adalah kelegaan besar, bukan hanya untuk ribuan perusahaan tapi juga untuk para pegawainya. Fillon yakin bahwa putusan ini akan berpengaruh besar terhadap kedamaian sosial, terutama di Prancis.
Georg Pazderski, pimpinan partai Alternative für Deutschland cabang Berlin, juga ikut bersuara. “Putusan Mahkamah Eropa mengirim pesan yang tepat, terutama untuk Jerman,” ujar Pazderski sebagaimana dikutip Guardian. “Tentu saja perusahaan harus diizinkan melarang pengenaan kerudung.”
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Zen RS