tirto.id - Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa itulah yang pas disematkan kepada para petani karet di negeri ini. Anjloknya harga karet dunia yang menyebabkan harga karet hasil sadapan mereka jatuh, ternyata diperparah adanya peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk komoditas pertanian dan perkebunan.
Penerapan PPN 10 persen yang berlaku sejak 22 Juli 2014 itu, bermula saat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 yang mengatur bahwa barang hasil pertanian merupakan barang strategis dibebaskan pajak.
Menurut Kadin, PP 31/2007 bertentangan dengan Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Aturan itu menyebut bahwa hasil pertanian diklasifikasikan kena pajak.
MA mengabulkan gugatan Kadin dengan mengeluarkan Putusan MA Nomor 70 yang memerintahkan pemerintah mencabut PP 31/2007. Akibatnya, beberapa komoditas pertanian seperti sawit, kakao, kopi, teh, dan karet yang semula beban PPN menjadi barang kena PPN.
Memang secara teori, keputusan MA hanya berlaku bagi petani dan pengusaha yang memiliki omzet minimal Rp 400 juta per bulan atau Rp 4,8 miliar per tahun. Namun fakta, di lapangan berbeda. “Akibatnya, saat ini harga karet di tingkat petani tambah anjlok setelah dikenakan PPN 10 persen tersebut," kata Robby Aswin, Wakil Sekretaris Bidang Pertanian dan Perkebunan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Medan.
Apa yang disampaikan pihak Apindo Medan itu, dibenarkan Fakhurozi, Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan. Menurutnya, PPN 10 persen tetap saja menjadi komponen penentu harga karet di tingkat petani, meski sejatinya ditujukan bagi pengusaha yang beromzet Rp 4,8 miliar.
"Pengusaha yang akan kena pajak, memotong harga beli di tingkat pengumpul atau petani. Makanya PPN jadi salah satu faktor rendahnya harga karet yang diterima petani," kata Fakhrurozi.
Mencermati fenomena ini, pihak Kadin selaku pengaju gugatan meminta pemerintah menindak tegas pabrik atau pedagang yang menekan harga di tingkat petani. “Pemerintah harus menindak tegas pedagang atau pabrik pengolahan yang menekan harga pasar komoditas di tingkat petani dengan alasan memungut PPN,” kata Prijohandojo, Wakil Ketua Komite Tetap Pajak, Kadin Indonesia, pada Jumat (26/9/2014).
Namun sekali lagi, fakta di lapangan tak semudah teori Kadin. Petani karet tetap saja terkena getahnya. Dewan Karet Indonesia pun mengusulkan agar pemerintah menerapkan kebijakan baru terkait PPN dan logistik untuk meningkatkan konsumsi karet dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) Aziz Pane, serapan karet alam bisa naik dari 18 persen menjadi di atas 25 persen jika pemerintah memperhatikan dua hal tadi. “Kalau bisa sesudah diproduksi baru kena PPN. Jangan dua kali lipat. Hulu kena, hilir juga,” katanya.
Pengamat ekonomi asal Sumatera Utara, M Umar Maya Putra berpendapat, Seharusnya komoditas yang sebagian besar diproduksi oleh petani tidak dikenakan PPN. Sebab ujung-ujungnya, para pengusaha bakal tetap membebankannya ke petani. "Kalau pengusaha produsen komoditas itu masih bisa memperoleh restitusi, petani mendapatkan apa?" katanya.
Ujung-ujungnya, petani tetap saja jadi korban kebijakan.