tirto.id - Margaret Thatcher melakukan banyak persiapan menjelang pemilu 1979. Salah satu hal yang dilakukan perempuan yang dijuluki Wanita Besi atau Iron Lady tersebut adalah mengikuti kursus berbicara di Royal National Theatre, London.
Thatcher ingin menurunkan suaranya agar bernada menenangkan sekaligus berwibawa. Sebelumnya, orang-orang menilai ia bersuara terlampau nyaring dan melengking.
Kepada Telegraph, pelatih suara Dee Forest memperlihatkan perubahan suara Thatcher melalui video. Ia menganalisis salah satu rekaman yang menampilkan sang Wanita Besi sedang diwawancarai usai memberikan pidato pertama di House of Commons pada 1960. Saat itu, Thatcher berada di rumah dan ditemani kedua anaknya, Mark dan Carol.
Menurut Forrest, ia berbicara dengan beraneka macam nada dan vokal yang lembut. Selain itu, suara Thatcher memiliki kerenyahan aksen orang Inggris pada umumnya.
Hal ini berbeda ketika dirinya terpilih menjadi perdana menteri pada tahun 1979. Forrest mengatakan bahwa Thatcher bersuara dengan nada yang repetitif, bermelodi, dan memiliki tekanan saat ia berbicara kepada pers. Kecepatan bicaranya pun diukur agar tidak berubah-ubah. Dengan nada bicara seperti ini, sang perdana menteri ingin pendengar merasakan bahwa dirinya adalah sosok yang tenang dan mampu memimpin.
BBCmelaporkan Margaret Thatcher berhasil menurunkan suara sebanyak 60 Hz agar terdengar lebih berwibawa dan berkuasa.
Apa yang dilakukan Thacther saat ia memimpin Inggris menunjukkan betapa suara manusia tidak dapat dianggap sepele. Bunyi yang dikeluarkan dari mulut seseorang bisa membentuk cara pandang dan reaksi orang lain terhadap dirinya. Jika suara tersebut diubah maka cara pandang berikut respons pun ikut berubah.
Tak hanya itu, suara manusia dapat memberikan informasi lainnya, seperti ukuran badan dan orientasi seksual. Anne Karpf dalam buku The Human Voice: How This Extraordinary Instrument Revelas Essential Clues About Who We Are(2006) mengatakan suara dapat memberikan informasi tentang status sosial, psikologis, dan biologis. Selain itu, suara bisa digunakan untuk mengetahui ukuran badan, tinggi, berat, kondisi fisik, jenis kelamin, umur dan pekerjaan, dan orientasi seksual. Kelas sosial, ras, dan pendidikan seseorang juga dapat ditelisik melalui suara.
Di dunia kesehatan, suara digunakan untuk mengetahui kelainan anatomi tubuh dan kemungkinan adanya penyakit. Orang yang berisiko menderita jantung koroner dapat dideteksi lewat karakteristik suara, yakni volume dan kecepatan. Menurut Karpf, dokter meyakini bahwa kesadaran akan adanya perubahan suara dapat menyelamatkan seseorang dari bahaya kanker tenggorokan dan niatan bunuh diri.
Suara, di sisi lain, juga bisa memberitahu apakah seseorang lelah atau tidak. Hal ini penting sebab kelelahan bisa berujung pada kematian dalam kasus-kasus tertentu.
Suara Perempuan dan Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender identik dengan pandangan bahwa semua orang berhak menerima perlakuan setara serta tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender yang dimilikinya. Dibandingkan masa lalu, perempuan hari ini dipandang lebih sederajat, salah satunya karena mereka dapat menjalankan kegiatan yang sebelumnya tabu dilakukan, misalnya bekerja di luar rumah. Suara, dalam hal ini, bisa membuktikan terciptanya kesetaraan gender dari waktu ke waktu menurut penelitian yang telah dilakukan.
Contoh riset yang menunjukkan kaitan antara suara perempuan dan kesetaraan gender adalah penelitian yang dilakukan Cecilia Pemberton dkk dari Universitas of South Australia. Pada tahun 1998, Pemberton dkk membandingkan suara anak perempuan lintas generasi untuk mengetahui apakah penurunan frekuensi terendah saat bicara (speaking fundamental frequency/SFF) nyata terjadi. Ide ini muncul sebab penelitian terdahulu mencatat frekuensi suara perempuan muda ketika berbicara terus menurun sejak tahun 1920-an hingga 1990-an atau kurang lebih 70 tahun.
Cecilia Pemberton dkk lalu mempelajari suara dua kelompok perempuan Australia berusia 18 hingga 25 tahun yang direkam tahun 1945 dan awal 1993. Sebanyak 28 mahasiswa Adelaide Teachers College bersedia direkam suaranya oleh dosen de Pinto pada tahun 1945. Cecilia Pemberton dkk pun mencari subjek penelitian yang sama sebagai pembanding. Tak hanya soal jumlah, ciri perempuan dalam kedua kelompok pun dibuat serupa: tidak merokok, sehat, berpendidikan tinggi, dan penduduk asli Australia.
Mereka menemukan bahwa frekuensi bicara subjek penelitian telah menurun sebanyak 23 Hz, dari 229 Hz menjadi 206 Hz, selama lima dekade. Hal ini sesuai dengan studi sebelumnya yang menerangkan frekuensi bicara perempuan tahun 1920-an, 1930-an, dan 1940-an memang lebih tinggi dibandingkan wanita muda tahun 1990-an.
Besaran frekuensi bicara perempuan muda di Australia pun tak berbeda dengan negara lain seperti Amerika, Kanada, dan Swedia. Cecilia Pemberton, dkk menjelaskan SFF wanita Amerika berumur 20 hingga 28 tahun adalah 202 Hz. Sementara itu SFF perempuan Kanada dan Swedia berada di angka 199 Hz dan 196 Hz.
Hasil ini membuat Cecilia Pemberton, dkk menduga bahwa perubahan tersebut merupakan refleksi dari kebangkitan perempuan. Dalam hal ini, suara dengan nada lebih dalam dan berat adalah upaya perempuan untuk menonjolkan otoritas dan dominasi di tempat kerja.
Tapi, budaya sebuah masyarakat turut membentuk pandangan terhadap perempuan yang dapat mengakibatkan terwujudnya ketimpangan gender. Menurut Reneé van Bezooijen dari Universitas Nijmegen, perempuan muda di Jepang konsisten berbicara dengan nada tinggi dibandingkan wanita dari Amerika, Eropa, dan Australia. Rata-rata frekuensi bicara perempuan Jepang adalah 232 Hz sedangkan wanita Amerika dan Swedia berada di angka 214 Hz dan 196 Hz.
Hal ini terjadi karena secara tradisional, masyarakat Jepang masih menuntut perempuan bersikap lebih sopan daripada pria, patuh, tergantung pada orang lain, dan lugu. Van Bezooijen mengatakan bahwa pemilihan nada suara kemungkinan dilakukan tanpa sengaja dan bertujuan untuk memenuhi peran sosial dan kebudayaan yang dikehendaki banyak orang.
Terkait hal ini, van Bezooijen lantas mendesain sebuah penelitian yang fokus utamanya adalah membandingkan suara wanita Belanda dan Jepang. Ada tiga hal yang ingin ia ketahui lewat riset tersebut.
Pertama, asosiasi orang Jepang dan Belanda dengan nada tinggi terhadap atribut ketidakberdayaan psikologis maupun fisik (misal lemah, tergantung, sopan, dan pendek) dalam kebudayaan dua negara tersebut. Kedua, kaitan diferensiasi tentang perempuan serta laki-laki ideal dan ketidakberdayaan di Jepang dan Belanda. Terakhir, preferensi wanita dengan frekuensi bicara rendah (Belanda) dan tinggi (Jepang).
Van Vezooijen lalu memilih delapan perempuan Belanda dan Jepang yang terdiri dari mahasiswa dan dosen di universitas untuk dijadikan penutur. Mereka diminta untuk membacakan teks yang sama selama 13 detik dengan cara berbicara standar orang Belanda dan Jepang. Suara penutur pun direkam dalam tiga versi nada yang berbeda: rendah, tinggi, dan menengah sesuai tingkat nada rata-rata penutur. Ketiga rekaman tersebut identik dalam hal tempo, intonasi, pelafalan, dan lain sebagainya kecuali rata-rata frekuensi bicara.
Dari penutur, van Vezooijen kemudian memilih 30 mahasiswa dari University of Nijmegen dan Dokkyo University (15 laki-laki dan 15 perempuan). Selama penelitian, mereka melalui dua kali tahapan untuk pengambilan data. Tahap pertama, partisipan diminta menilai 48 sampel yang terdiri dari rekaman delapan penutur dari dua negara dengan versi nada yang berbeda. Tahap kedua, peneliti meminta mereka untuk menilai soal pandangan akan laki-laki dan perempuan ideal.
Hasil dari riset tersebut menunjukkan suara penutur yang berbicara dengan nada tinggi dianggap pendek, lemah, tidak mandiri atau tergantung pada orang lain, dan sopan oleh pendengar dari Belanda dan Jepang. Penilaian itu berbanding terbalik dengan suara penutur bernada rendah.
Lebih lanjut, partisipan mempunyai penilaian yang setara terhadap laki-laki dan perempuan ideal Belanda. Sebaliknya, ada diferensiasi yang kuat antara laki-laki dan perempuan di Jepang dan skalanya lebih besar ketimbang di Belanda. Van Vezooijen juga menemukan bahwa subjek penelitian lebih suka perempuan dengan nada tinggi di Jepang daripada di Belanda.
Apa yang ditemukan van Vezooijen tak jauh berbeda dengan pernyataan Anne Karpf dalam bukunya. Ia menyebutkan bahwa perbedaan nada bicara antara perempuan dan laki-laki Jepang mencerminkan detail peran sosial dan seksual masyarakat Jepang hingga saat ini. Lewat cara mereka mengontrol laring, perempuan Jepang berusaha menampilkan kefemininan diri agar dipandang tidak berdaya di tengah masyarakat yang menuntut sikap sopan, lugu, dan penurut dari diri seorang perempuan.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf