tirto.id - "Gue kasih 1 miliar untuk bunuh Ahok!"
Ucapan itu terlontar dari seorang pria paruh baya di Rawa Belong, Kelurahan Sukabumi Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Cagub DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dihadang oleh puluhan warga di Jalan Ayub, 2 November tahun lalu, saat masa kampanye. Penolakan ini terjadi karena Ahok dianggap telah menistakan agama dan tak pantas berada di kampung mereka. Situasi sempat ricuh dan Ahok pada akhirnya diungsikan dengan mikrolet nomor 24 ke arah Jalan Anggrek.
Saat hari pencoblosan kemarin, TPS 37 merupakan TPS yang paling dekat dengan tempat Ahok diprotes dan dihadang. TPS ini digunakan oleh warga RT 03 RW 8. Ada 474 orang yang tercatat sebagai daftar pemilih tetap. TPS yang berlokasi di dekat musala Darul Huda ini juga berdekatan dengan pasar yang dulu sempat rusuh karena penolakan terhadap kedatangan Ahok.
Waras Widodo, 34 tahun, warga RT 3 RW 8, melakukan pencoblosan di TPS 37. Tentang penolakan terhadap Ahok yang sempat terjadi di daerah Rawa Belong, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu, ia mengaku tidak punya keterkaitan.
"Tentang dia [Ahok], saya pribadi enggak ada masalah," lanjutnya.
Di TPS 37 ini, seluruh suara sah berjumlah 315. Anies memimpin dengan 137 suara, disusul Agus yang meraih 99 suara, dan Ahok cuma mendapat 79.
Tak jauh dari situ, ada TPS 32 yang bertempat di Yayasan Bina Siswa. Tempat pencoblosan berada di salah satu ruang kelas. TPS ini adalah tempat pencoblosan bagi warga, RT 3 RW 7. Ada 593 orang terdaftar sebagai pemilih tetap dengan komposisi 304 laki laki dan 289 perempuan.
Ade Sulaiman, 29 tahun, salah satu warga datang sekitar pukul 10.00. Seperti pemilu-pemilu di tahun sebelumnya, Ade selalu ikut mencoblos. "Kita kasih perubahan untuk Indonesia, terutama Jakarta. Kalau sejak muda enggak ambil bagian [dalam pemilu], gimana nanti?"
Ade juga tahu tentang kabar penolakan Ahok di lingkungan tempat ia tinggal. Secara pribadi, Ade mengaku tak mempermasalahkan calon nomor urut dua itu. "Beda pendapat adalah warna," katanya. Ia sendiri mempertimbangkan dua hal dalam memilih, yakni kepribadian dan rekam jejaknya. "Tiga calon ini bukan orang baru."
Ia mengaku berkeberatan terhadap sikap Ahok yang dianggapnya kurang baik. Sebagai muslim, ia punya pertimbangan terhadap pemimpin yang menurutnya baik.
"Cara bicaranya [Ahok] terhadap umat muslim, tahulah. Kalau dari cara kerja sih enggak ada masalah," lanjutnya.
Dewi (33 tahun) juga mencoblos di TPS 32. Pada pemilihan gubernur DKI Jakarta sebelumnya ia memilih Jokowi. Kali ini, ia ingin Jakarta jadi lebih baik, menjadi tempat tinggal yang nyaman. "Secara pribadi, saya enggak ada masalah [dengan Ahok]. Selama kerjanya bagus, enggak ada masalah," katanya.
Korban Pemukulan Saat Kampanye Mencoblos di TPS 31
Nur Dayat, ketua RT 01 RW 07, mencoblos di TPS 31 yang jaraknya tidak terlalu jauh dari TPS 37. Sebelumnya, ia adalah korban insiden pemukulan yang terjadi pada 2 November lalu. Dayat, yang juga merangkap Ketua Ranting PDI Perjuangan di daerah itu, terluka pada pelipis sebelah kanan yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit dan divisum. TPS yang bertempat di Jalan Harun terletak tidak jauh dari rumahnya.
Sempat terjadi insiden kecil di TPS. Ada salah seorang saksi dari salah satu paslon yang datang menggunakan atribut kampanye, padahal hal itu dilarang. Pihak TPS menegur, tapi saksi tak peduli. Yuliana, petugas Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dari KPU melakukan inspeksi setelah mendapatkan laporan dari pengawas TPS.
"Berdasarkan aturan memang tidak boleh memakai atribut [partai]," katanya.
Yuliana menjelaskan bahwa saksi yang ditegur bukan saksi dari TPS 31, tapi dari TPS lain. Karena terdaftar sebagai pemilih di TPS 31, ia mesti mencoblos di sana. "Karena sudah ada saksi dari paslon itu, dia enggak boleh masuk. Boleh mencoblos asal ganti baju," katanya. Pengawas pemilu dari kelurahan, Zulfikar, membenarkan adanya insiden itu.
"Saya minta untuk ganti baju, karena bajunya ada [logo] sukarelawan," katanya. Ia menjamin tidak ada pelarangan pencoblosan.
Di TPS 31 ini ada 594 pemilih dengan komposisi 313 laki-laki dan 291 perempuan. Sebanyak 420 orang menggunakan hak pilih mereka di TPS ini. Anies memimpin perolehan 188 suara, disusul Agus 125, dan Ahok meraup 107 suara.
Ahok Ditolak di Rawa Belong, Ditolak di Ciracas
Di 4 dari 11 TPS di RW 10, Kelurahan Ciracas, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, kandidat nomor 2 dan 3 bersaing ketat. Paslon nomor 1 jauh tertinggal.
Kawasan RW 10 ini sempat menjadi perbincangan karena terjadi insiden penolakan kedatangan Ahok saat berkampanye pada 15 November 2016. Sempat terjadi kericuhan karena, berbeda dengan di tempat lain, massa pendukung Ahok juga bersiap menghadapi para penolak.
Seperti ditunjukkan dalam laporan Tirto,penolakan Ahok di Ciracas ini melibatkan pengurus MUI setempat bernama Haji Anwar Islam. Menurut Anwar, kedatangan Ahok memang sejak awal tak dikehendaki terkait ucapannya yang dianggap menistakan Al Maidah. Ahok juga dituding melakukan pencitraan dengan mengunjungi Nenek Icih. Menurut Anwar, itulah alasan tambahannya. Icih disebut Anwar sehat wal afiat.
Saat datang ke Ciracas, Ahok tidak sendiri, ada masa PDI Perjuangan yang juga turut serta. Menurut warga kelompok penolak kedatangan Ahok, ada anggota PDI yang memancing kericuhan. Warga sekitar pun berusaha menenangkan kericuhan antara umat muslim dengan satgas PDI yang hadir di situ.
Dalam kericuhan tersebut, satu orang dikabarkan mengalami luka saat melerai pertikaian. Korban terluka akibat dipukul satgas dengan menggunakan tongkat kayu dengan panjang sedang. Beruntung kericuhan tersebut tidak berjalan lama. Hujan yang mengguyur membuat massa membubarkan diri, sementara Ahok langsung pergi.
Sebelumnya, daerah ini memang bukan basis pemilih PDI Perjuangan. Kelurahan Ciracas, yang masuk Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, pada Pilpres lalu dimenangkan Prabowo-Hatta, meski hanya menang tipis. Meski demikian, pada pemilu kali ini peta itu sedikit berubah. Warga sangat antusias mengikuti acara perhitungan suara. Tak hanya para pemilik DPT (Data Pemilih Tetap) yang mengikuti keberlangsungan perhitungan suara, tetapi juga tak luput dari pantauan anak-anak.
Mereka, di TPS 79 misalnya, dengan semarak bersorak "huuuu" ketika paslon nomor 1 disebut. Padahal, di papan pengumuman, jumlah paslon nomor 1 tertinggal jauh di belakang.
Sementara itu, di TPS 77, warga sangat antusias mengawal penghitungan suara. Ketika petugas menyebut kata 2, warga menjawab "Kerja nyata, KJP." Ketika paslon nomor 1 disebut, warga berteriak "satu miliar!" Mereka juga berteriak "OK OCE" ketika paslon nomor 3 disebut. Tak nampak siapa memilih siapa. Teriakan susul-menyusul mengiringi penghitungan suara.
Dari keempat TPS tersebut, 3 TPS di antaranya memenangkan paslon nomor 2. Hanya 1 TPS yang memenangkan paslon nomor 3 ,yakni di TPS 76, lokasi Ahok pernah ditolak. Kendati demikian, selisih yang terjadi antara paslon nomor 2 dan 3 hanya dua suara saja. Di TPS itu, Agus-Sylvi mendapat 90 suara. Paslon Nomor 2, Ahok-Djarot meraih 188 suara, sedangkan Anies-Sandi memimpin dengan 190 suara. Ada 20 suara yang tidak sah.
Paslon nomor 2, unggul di tiga TPS lainnya. Di TPS 77, Ahok-Djarot unggul 183 mengungguli Anies-Sandiaga yang mendapatkan 140 suara dan Agus-Sylvi dengan 50 suara. Di TPS 78, paslon nomor 1 memperoleh 99 suara, paslon 2 raih 281 suara, dan paslon 3 mendapat 162 suara. Di TPS 79, Ahok-Djarot kembali unggul dengan 225 suara, Anies-Sandiaga 204, dan Agus-Sylvi kembali ada di urutan ketiga dengan 81 suara.
Dari empat TPS tersebut, banyak surat suara tidak terpakai. Menurut beberapa warga di TPS 77, hal ini disebabkan banyaknya warga yang sudah pindah.
Ketua RT 03 atau TPS 77 Suyadi tak menyangka Ahok-Djarot akan menang. "Kayak gini, kan enggak bisa diprediksi. Tapi tak terpikirkan kalau paslon 2 bakal menang," ungkap dia di TPS 77 setelah penghitungan suara.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani