Menuju konten utama

Strategi Memecah Rekening untuk Hindari Laporan Pajak

Ditjen Pajak akan tetap memburu nasabah data bank meski sudah dipecah-pecah.

Strategi Memecah Rekening untuk Hindari Laporan Pajak
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) didampingi Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo (kanan) dan Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi (kiri) memberikan keterangan mengenai keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, di Jakarta, Jumat (9/6). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

tirto.id - Kementerian Keuangan telah menetapkan batas saldo minimum yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak sebesar Rp1 miliar. Untuk menghindari aturan ini, nasabah bisa saja melakukan pemecahan rekening agar tidak terlacak oleh Pajak.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi memastikan otoritas pajak mempunyai cara untuk memantau apabila ada masyarakat yang memecah saldo ke berbagai rekening.

"Misalnya kamu pecah Rp1 miliar itu, di bank A, bank B, dan bank C, masing-masing Rp200 juta, tapi kalau nama dan alamatnya tetap sama, ya tetap kena," kata Ken, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (9/6/2017), seperti dikutip dari Antara.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan memecah rekening untuk menghindari pelaporan ke pajak sebagai hal yang percuma. Ia menegaskan, otoritas pajak mempunyai cara untuk memantau data milik Wajib Pajak.

"Meski anda pecah-pecah dan kami merasa harus memeriksa, kami akan tetap bisa meminta data ke perbankan," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengakui bisa saja ada golongan masyarakat yang khawatir dengan era baru ini, sehingga melakukan berbagai upaya, termasuk dengan memecah saldo, agar lembaga keuangan kesulitan untuk memantau data perbankan tersebut.

Namun, Mantan Direktur Bank Dunia ini menyakini masyarakat akan merespons positif kebijakan yang baru diluncurkan Kementerian Keuangan tersebut.

"Kami imbau, kalau cinta dengan RI, patuhlah," imbuh Sri Mulyani.

Sri Mulyani memastikan era keterbukaan informasi merupakan momentum untuk pembenahan dalam bidang perpajakan, agar para Wajib Pajak menjadi lebih patuh dan sadar terhadap kewajibannya.

"Kami tidak menakut-nakuti dan tidak berpikir negatif. Kami hanya mengikuti tugas konstitusi. Kalau belum membayar, kami ingatkan untuk membayar pajak," tegasnya.

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Ketentuan hukum ini diperlukan karena Indonesia akan menghadapi era keterbukaan informasi keuangan mulai 2018 untuk keperluan kerja sama perpajakan internasional (AEOI) yang siap diikuti oleh 140 negara di dunia.

Sebagai turunan dari Perppu tersebut, pemerintah akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang salah satunya menetapkan batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan lembaga keuangan secara otomatis kepada Direktorat Jenderal Pajak sebesar Rp1 miliar.

Revisi Aturan

Ketentuan sebelumnya menyebutkan, batas minimum pelaporan adalah Rp200 juta. Kementerian Keuangan kemudian melakukan revisi dalam hitungan hari setelah memerhatikan masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan agar kebijakan itu lebih mencerminkan rasa keadilan.

Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah serta memperhatikan aspek kemudahan administratif bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.

"Dengan perubahan batasan minimum menjadi Rp1 miliar tersebut, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan adalah sekitar 496 ribu rekening atau 0,25 persen dari keseluruhan rekening yang ada di perbankan saat ini," jelas Kemenkeu dalam siaran persnya, Kamis (8/6/2017)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan revisi tersebut untuk tujuan yang lebih baik.

"Saya tidak akan segan mengoreksi kalau policy-nya harus dikoreksi untuk tujuan yang lebih baik," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan perubahan peraturan ini dilakukan sebagai respons dari masyarakat dan pemangku kepentingan agar kebijakan yang diambil lebih mencerminkan keadilan dan menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.

"Kalau alasannya legitimate, kami tidak pura-pura tidak mendengar dan pura-pura tidak tahu realitas di masyarakat. Kami terus memperhatikan suara rakyat meski harus melakukan hal-hal yang tidak populer yakni memungut pajak," katanya lagi.

Sri Mulyani mengakui peraturan ini merupakan upaya untuk memberikan kemudahan aspek administratif bagi lembaga keuangan dalam penerapan kebijakan pertukaran data secara otomatis, karena OECD tidak mengatur adanya batasan saldo untuk implementasi di dalam negeri.

Menurut OECD Common Reporting Standards (CRS), seluruh rekening, milik orang pribadi maupun perusahaan, harus dilaporkan berapa pun nilai saldonya, dalam implementasi pertukaran data secara otomatis bagi kepentingan perpajakan.

Khusus untuk rekening yang dimiliki perusahaan dibuka sebelum 1 Juli 2017, wajib dilaporkan hanya rekening bernilai lebih dari 250 ribu dolar AS (sekitar Rp3,3 miliar) pada 30 Juni 2017. Bagi orang pribadi tidak ada batasan minimum nilai rekening yang harus dilaporkan.

Namun, dengan adanya batas saldo minimum ditetapkan pemerintah Indonesia sebesar Rp1 miliar, berarti jumlah rekening yang wajib dilaporkan adalah sekitar 496 ribu rekening atau 0,25 persen dari keseluruhan rekening di perbankan saat ini.

"Menurut OECD memang tidak perlu memakai batasan. Namun setiap negara memiliki konteks sosial politik yang harus dijaga," kata Sri Mulyani.

Baca juga artikel terkait BATAS MINIMAL PELAPORAN KE PAJAK atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Nurul Qomariyah Pramisti
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti