Menuju konten utama

Stok Obat HIV/AIDS ARV Diprediksi Hanya Cukup Hingga Maret 2019

Stok obat Antiretroviral (ARV) Fixed Dose Combination jenis TLE yang sering digunakan pengidap HIV/AIDS diprediksi hanya cukup sampai dengan Maret 2019.

Stok Obat HIV/AIDS ARV Diprediksi Hanya Cukup Hingga Maret 2019
Penderita HIV/AIDS menunjukan obat Antiretroviral (ARV) yang biasa diminum untuk terapi pengobatan di RSUD Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (1/12). dari seluruh penderita HIV di Indonesia hanya sekitar 17 persen saja yang mendapatkan terapi pengobatan Antiretroviral (ARV) dimana obat ini tidak membunuh virus, tapi memperlambat pertumbuhan virus. ANTARA FOTO/Lucky R./pd/16

tirto.id - Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengklaim ketersediaan obat Antiretroviral (ARV) Fixed Dose Combination jenis Tenofovir, Lamivudin, Efavirens (TLE) di Indonesia semakin menipis.

Berdasarkan temuan IAC di lapangan, ketersediaan tersebut telah menipis sejak 4-6 bulan lalu, sementara stok yang tersedia pun diprediksi hanya cukup sampai dengan Maret 2019.

Kelangkaan itu bermula dari program pengadaan obat yang gagal terlaksana pada 2018. Gagal tender itu terjadi lantaran PT Kimia Farma dan PT Indofarma Global Medika tidak menemukan titik temu harga dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“Kalau kami bisa bilang, sistem pengadaan obat di Indonesia itu sangat fragmented. Jadi tidak ada sebuah alur yang jelas sebenarnya, bagaimana negara bisa mencukupi ketersediaan obat untuk mendukung program nasional,” kata Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana di Jakarta pada Kamis (10/1/2019).

Lebih lanjut, Aditya turut mengeluhkan bahwa Kimia Farma dan Indofarma cenderung memperoleh keuntungan besar dari obat yang mereka distribusikan.

Ia mengatakan ARV Fixed Dose Combination jenis TLE sebetulnya bisa didapatkan di pasar internasional dengan harga Rp112 ribu. Akan tetapi, oleh kedua BUMN tersebut, obat itu dijual ke pemerintah dengan harga yang mencapai Rp404 ribu.

“Dua BUMN ini keras kepala, karena mereka tidak mau menurunkan harga. Sehingga tidak ada titik temu dan proses lelang pun gagal. Karena mereka tidak mau menurunkan harga itulah, maka ribuan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) jadi tidak mendapatkan [akses obat],” jelas Aditya.

Selain dinilai memberatkan, tingginya harga obat yang dipatok Kimia Farma dan Indofarma juga diklaim menyebabkan pemborosan uang negara. Aditya menyebutkan apabila harga bisa ditekan, semestinya penyaluran ARV Fixed Dose Combination jenis TLE bisa semakin efisien karena ada semakin banyak pengidap HIV/AIDS yang memperoleh akses obat.

Adapun Aditya mengimbau agar Presiden Joko Widodo mampu membuat blueprint yang jelas terkait pengadaan obat-obatan yang memang menjadi program nasional. Tak hanya HIV/AIDS, sejumlah penyakit lain yang obatnya turut menjadi program nasional ialah TBC, Hepatitis, serta Malaria.

“Lalu pastikan juga pastikan juga antara satu kementerian/lembaga memiliki sinergi yang harmonis. Untuk ini, saya pikir tidak hanya di Kemenkes, namun juga Kementerian BUMN. Tidak boleh mencari keuntungan lebih, khususnya obat untuk program nasional,” ungkap Aditya.

Baca juga artikel terkait HIV atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri