tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mewaspadai risiko ancaman terhadap lonjakan inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Secara historis, kenaikan inflasi di negeri Paman Sam tersebut memicu kenaikan suku bunga acuan.
"Kalau kita lihat Amerika dalam 40 tahun terakhir, pada saat inflasi melonjak tinggi pasti akan direspons dengan kenaikan suku bunga. Dari tahun 1970 ke tahun 2022 pada saat inflasi tinggi menyebabkan suku bunga naik," kata dia dalam rapat dengan Komite IV DPD, di Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Bendahara Negara itu menyebut dalam beberapa kondisi, kenaikan inflasi yang direspons dengan kenaikan suku bunga ternyata memberikan dampak pada pertumbuhan ekonominya. AS juga mencatat pertumbuhan ekonomi negatif pada 1974, 1975, 1980, 1982, 1991, 2008, 2009, dan terakhir 2020.
"Kalau kita lihat inflasi dan kemudian Fed fund rate, Fed itu melakukan overshooting untuk memukul inflasi kembali turun, tapi yang turun ke bawah tidak hanya inflasi tapi juga pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat," ungkapnya.
Suku bunga AS juga pernah melonjak mencapai 20 persen pada periode 1980-1981 yang membuat pertumbuhan ekonominya tertekan. Saat itu, AS mengalami inflasi mencapai 14 persen karena kenaikan harga minyak dan perang Iran-Irak.
Pada beberapa tahun terakhir, suku bunga AS berada dalam kondisi yang rendah bahkan sampai nol persen. Namun, Sri Mulyani mengatakan, kondisi tersebut merupakan pengecualian sehingga seolah-olah harga dolar dan suku bunga AS adalah rendah.
"Itu adalah suku bunga yang merah yang ada di bawah terus itu adalah situasi yang exceptional, sebetulnya suku bunga itu pernah di Amerika mencapai lima, enam, sembilan, bahkan 20 persen pada saat inflasi mencapai 14 persen," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri