Menuju konten utama

Sonic/Panic: Tak Ada Musik di Planet yang Mati

Sonic/Panic dimulai lewat panggilan dari Music Declares Emergency (MDE). Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang didapuk menyuarakan gerakan ini.

Sonic/Panic: Tak Ada Musik di Planet yang Mati
Sonic Panic. FOTO/Raka

tirto.id - Tulisan “No Music On A Dead Planet” terpampang besar di halaman Liberate Studio (Libstud) pada Sabtu, 2 Desember 2023. Tulisan tersebut tak hanya terpampang untuk kebutuhan pameran sebagaimana studio ini biasa buat, melainkan menandakan sore hingga malam itu di Yogyakarta Bagian Utara sedang ada konser musik. Sebuah konser musik sekaligus kampanye krisis perubahan iklim.

Fstvlst, Navicula, Nova Ruth, Iksan Skuter, dan Made Mawut tampil di halaman Libstud yang dikelilingi pohon gayam berusia ratusan tahun itu. Mereka berlima tergabung dalam album kompilasi Sonic/Panic, sebuah album yang berisi 13 lagu dari 13 musisi yang bersuara tentang krisis lingkungan. Konser yang terjadi pada hari itu juga merupakan bagian promosi album kompilasi Sonic/Panic yang dirilis di Bali pada 4 November lalu dan sudah bisa didengarkan di semua platform digital.

Dalam konferensi persnya, Farid Stevy Asta, pentolan Fstvlst dan Libstud, mengungkapkan bahwa acara tersebut membuka peluang membangun kesadaran atas isu krisis iklim terhadap jejaring kerja yang telah dibangun oleh Fstvlst dan Libstud. Farid menilai album yang telah dirilis tersebut harus dihadirkan di Yogyakarta dalam wujud pertunjukan musik.

"Selain karena Fstvlst terlibat di pembuatan album, kami di LIB melihat bahwa isu krisis iklim tidak hanya penting tapi juga mendesak dibicarakan. Bagaimana kita bisa berkontribusi dalam hal-hal kecil untuk berbakti dan berterima kasih kepada alam. Itu adalah hal-hal baik yang harus terus ditularkan. Salah satunya dengan acara seperti ini di LIB," ujar Farid.

Patut diketahui bahwa proyek ini dimulai lewat panggilan dari Music Declares Emergency (MDE). Indonesia terpilih menjadi negara pertama di Asia yang didapuk untuk menyuarakan gerakan global yang dikenal dengan slogan “No Music on a Dead Planet” ini. Musisi internasional yang telah tergabung dengan gerakan ini di antaranya adalah Billie Elish, Thom Yorke dari Radiohead, Massive Attack, Tom Morello dari Rage Against The Machine, Tame Impala, dan Jarvis Cocker dari Pulp.

Robi, vokalis Navicula mengungkapkan bahwa pihaknya dihubungi oleh MDE lalu tercetuslah ide membuat Music Declares Indonesia. Kolaborasi tersebut berlanjut dengan lahirlah album Sonic/Panic ini. Adapun 13 musisi yang tergabung dalam pembuatan dalam album ini adalah Iga Massardi, Endah N Rhesa, Navicula, Tony Q Rastafara, Tuantigabelas, Iksan Skuter, FSTVLST, Made Mawut, Nova Filastine, Guritan Kabudul, Kai Mata, Rhythm Rebels, dan Prabumi. Album tersebut dirilis oleh label yang mereka gagas sendiri yakni Alarm Record.

Robi menjelaskan bahwa para musisi yang bergabung sebelumnya telah diberi workshop terlebih dahulu selama beberapa hari di Pulau Bali. Setelah mendengarkan paparan isu yang dihadirkan lalu para musisi diutus untuk mengerjakan album dalam waktu satu bulan.

"Ini tidak hanya musik, melainkan kampanye dalam sebuah kolaborasi musik. Sebelum menyuarakan isu iklim, kami membahas isu global dulu. Karena project ini menggabungkan musik dan activism. Pasti kita harus mulai dari teman-teman yang sudah punya spirit yang sama," ujar Robi dalam konferensi pers tersebut.

Hal tersebut juga disampaikan musisi yang tinggal di kapal bernama Arka Kinari, yakni Nova Ruth. Dosa-dosa iklim yang dibuatnya selaku musisi internasional membuatnya selalu tertarik untuk bergabung dengan proyek-proyek lingkungan seperti ini. Dosa iklim yang dimaksudkannya adalah berpergian menggunakan pesawat, penyumbang emisi karbon yang cukup tinggi di dunia.

"Kita harus merawat konsistensi terhadap ibu bumi sebagaimana harus merawat alam sekaligus penebusan dosa pada alam. Maka kita sebisa mungkin saling menyemangati dan menguatkan pelaku-pelaku pemerhati lingkungan dan iklim," ucap Nova.

Semangat Pelestarian Lingkungan

Konser tersebut memang dihadirkan dalam rangka menghadirkan untuk semangat pelestarian lingkungan kepada semua yang hadir. Dalam lokasi konser disediakan beberapa galon filter untuk isi ulang minuman hingga makanan prasmanan menggunakan piring rotan dan daun pisang. Bukan nasi kotak yang selalu menghasilkan sampah plastik dan sampah sisa makanan. Para hadirin pun juga tampak tertib membuang sampah yang telah dipilah antara sampah plastik, kertas, hingga sampah organik.

Sekitar 300 orang hadir dalam halaman Libstud, dengan suasana mendung tapi tidak hujan itu. Aroma dupa dan hiasan bunga-bunga 7 rupa turut menambah hikmat suasana. Selain menyajikan pertunjukan musik, acara ini juga menggandeng seniman lokal dengan berbagai aktivasi seperti live handpoke tattoo oleh Ibob Hariatmoko dan sablon kaos oleh SURVIVE! Garage.

Sonic Panic

Sonic Panic. FOTO/Raka

Penonton yang hadir pun telah diseleksi dengan mengisi Google Form. Penonton tidak dipungut biaya untuk hadir pada acara ini, hanya saja mereka yang hadir dituntut untuk menanam pohon dan juga membawa tempat minum sendiri saat datang ke acara ini. Prosesi menanam pohon yang merupakan prosedur registrasi tersebutlah yang nantinya akan dipublikasi di Instagram @li.bs.pace dan @musicdeclares_indonesia.

Selepas ashar, Made Mawut membuka pertunjukan ini dengan lagu andalannya "Howlin for Justice", "Merdeka 100 %", cover lagu "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", dan satu lagunya di album Sonic/Panic yakni "Climate Blues".

Setelahnya tampil Iksan Skuter, musisi Malang yang saat ini berdomisili di Yogyakarta. “Tidak ada musik di planet yang mati,” teriaknya di atas panggung yang disambut tepukan tangan dari para penonton. Iksan juga menyanyikan single “Habisilah Kami untuk yang Terakhir Kali” yang ada di album ini.

Selepas Magrib, Nova Ruth didapuk menjadi penampil selanjutnya. Penyanyi asal Malang ini membawakan lagu "Imbang", "Perbatasan", "Kalamakara", "Liminitas", "Plong", lagu hitsnya bersama Filastine yakni "Colony Colapse", dan salah satu lagunya di album Sonic/Panic yakni "Salah Mangsa". Yang cukup mengejutkan adalah di jelang penghujung pertunjukan Nova menyanyikan "Genjer-Genjer" setelah mendapat rikues dari penonton. Setelah itu dilanjut Navicula. Mereka memainkan hitsnya di antaranya "Busur Hujan", "Mafia Hukum", "Over Konsumsi", "Metropolutan", "Bali Berani Berhenti", dan lagu di album Sonic/Panic yakni "House of Fire".

Sonic Panic

Sonic Panic. FOTO/Raka

Tuan rumah Fstvlst menjadi penutup pada gelaran kali ini. Mereka menyanyikan lagu-lagu baru di album Fstvlst II dan juga "Rat Tua" yang ada di album Sonic/Panic. Di tengah-tengah pertunjukan, secara tiba-tiba Farid Stevy mengutus Nova Ruth untuk menyanyikan "Genjer-Genjer" dan Navicula untuk memainkan "Bali Berani Berhenti". Penonton pun menyeruak ke atas panggung untuk bernyanyi bersama para penampil. Lagu “Bali Berani Berhenti” pun digubah menjadi “Jogja Berani Berhenti”. Sebuah inisiatif dari Farid Stevy yang tidak pernah gagal membuat pesta.

Semua personil Fstvlst malam itu memakai kaos “No FSTVLST On A Dead Planet”. Sebuah pesan dari mereka tentang bagaimana tidak ada kita di dunia yang sudah mati. Dengan diselenggarakannya acara ini di Yogjakarta dan partisipasi aktif musisi sebagai influencer, semoga pesan terhadap krisis iklim dalam album Sonic/Panic semakin menggema. Menginspirasi semua langkah-langkah nyata untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Memberi kesadaran bahwa dunia yang kita huni saat ini sedang tidak baik-baik saja.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Ismail Noer Surendra

tirto.id - Musik
Penulis: Ismail Noer Surendra
Editor: Nuran Wibisono