Menuju konten utama

Soal Pansus Hak Angket DPR, KPK Tegaskan Tak Alergi Diawasi

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan KPK tidak "alergi" untuk diawasi menyikapi pembentukan Pansus Hak Angket di DPR RI saat ini.

Soal Pansus Hak Angket DPR, KPK Tegaskan Tak Alergi Diawasi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif (kedua kiri) menerima lentera yang diserahkan oleh Wakil Ketua Forum Rektor Asep Saefuddin (kanan) sebagai simbol dukungan kepada KPK usai pertemuan di Gedung KPK Jakarta, Jumat (17/3). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Terkait dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket di DPR RI saat ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyatakan KPK tidak "alergi" untuk diawasi kinerjanya.

"KPK itu tidak alergi untuk diawasi termasuk teman-teman wartawan mengawasi setiap saat," kata Syarif di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6/2017).

Menurut dia, KPK selalu diaudit secara periodik oleh BPK kemudian dari segi penanganan kasus, tersangka bisa melalui proses praperadilan jika tidak setuju dan bisa juga dengan banding bahkan bisa sampai pada tingkat kasasi.

"DPR setiap tahun itu dua sampai tiga kali kami dipanggil untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP), semuanya kami ungkapkan di sana. Bahkan mereka tanyakan kasus yang spesifik," tuturnya.

Lebih lanjut, Syarif mengatakan dalam RDP dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari yang akhirnya menghasilkan hak angket tersebut disebabkan adanya permintaan rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.

"Menurut perundang-undangan, kami tidak boleh mengeluarkan rekaman itu selain di pengadilan," tegas Syarif.

Ia pun menyatakan seperti yang dikatakan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) Mahfud MD bahwa hak angket itu harus untuk hal yang strategis.

"Untuk kepentingan yang luar biasa dan untuk kemaslahatan seluruh masyarakat tetapi kalau hanya karena kepentingan sebuah kasus saya pikir tidak. Hak Angket itu harus spesifik juga tujuannya tidak boleh diluas-luaskan," ujarnya.

Sebelumnya, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) memberikan empat sikap akademik dalam permasalahan hak angket KPK yang digulirkan di DPR RI saat ini.

"Pertama, hak angket tidak sah karena bukanlah kewenangan DPR untuk menyelidiki proses hukum di KPK karena hal tersebut merupakan wewenang peradilan," kata Ketua Umum DPP APHTN-HAN Mahfud MD saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/6/2017).

Kedua, dikatakan Mahfud, Panitia Khusus Hak Angket dibentuk melalui prosedur yang menyalahi aturan perundang-undangan sehingga pembentukannya ilegal.

"Ketiga, DPR harus bertindak sesuai ketentuan perundang-undangan dan aspek-aspek ketatanegaraan yang telah ditentukan menurut UUD 1945. Tindakan di luar ketentuan hukum yang dilakukan DPR hanya akan berdampak pada kerusakan ketatanegaraan dan hukum," ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Menurutnya, apabila itu terjadi maka akan menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat terutama dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Keempat, APHTN-HAN dan PUSaKO mengimbau agar KPK tidak mengikuti kehendak panitia angket yang pembentukannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan," tuturnya.

Ia menilai akibat pembentukan panitia angket yang bertentangan dengan undang-undang, maka segala tindakan panitia angket dengan sendirinya bertentangan dengan undang-undang dan hukum.

"Mematuhi tindakan panitia angket merupakan bagian dari pelanggaran hukum itu sendiri. KPK harus taat kepada konstitusi dan undang-undang, bukan terhadap panitia angket yang pembentukannya menyalahi prosedur hukum yang telah ditentukan," ucap Mahfud.

Dalam konferensi pers itu juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.

Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.

Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.

Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.

Baca juga artikel terkait HAK ANGKET KPK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri