Menuju konten utama

Soal Larangan Ekspor Nikel, Pengusaha Keluhkan Susah Bangun Smelter

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan rencana pemerintah untuk mempercepat pelarangan ekspor nikel yang semula akan dilakukan pada 2022.

Soal Larangan Ekspor Nikel, Pengusaha Keluhkan Susah Bangun Smelter
Sampel nikel murni dari elemen nomor 28. FOTO/iStockphoto.

tirto.id - Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan rencana pemerintah untuk mempercepat pelarangan ekspor nikel yang semula akan dilakukan pada 2022. APNI berpendapat pemerintah seharusnya konsisten dengan keputusan relaksasi ekspor yang sudah diteken pada 2017.

Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey menjelaskan relaksasi ekspor ini diperlukan agar para pengusaha memiliki modal untuk membangun peleburan logam atau smelter yang targetnya kelar akhir 2021. Tanpa ekspor, Meidy memastikan bahwa dampaknya tidak hanya smelter yang selama ini jadi syarat pelonggaran ekspor tidak selesai, bahkan perusahaan bisa tutup.

“Ini kami minta pemerintah tolong commit. Kami sudah melakukan kegiatan pembangunan. Modalnya dari kuota ekspor,” ucap Meidy dalam paparannya di kantor DPP APNI pada Kamis (22/8/2019).

“Ada keuntungan untuk membangun sampai 31 Desember 2021. Kalau kita bangun dan 2019 tutup [ekspor]. Dampak ke makro banyak. Banyak penambang bisa mati,” tambah Meidy.

Meidy menjelaskan saat ini ekspor diperlukan karena keuntungan yang diperoleh lebih besar. Sesuai ketentuan pemerintah yang hanya membolehkan ekspor dengan kadar 1,7 persen (golongan rendah) setidaknya nilainya bisa mencapai 35 dolar AS.

Jika bisa untung 5 dolar AS saja, Meidy mengaku sudah sangat membantu pembangunan smelter sebab ia sendiri tahu kalau pengusaha juga banyak menghadapi kewajiban pembayaran dalam bisnis nikel yang mencapai 13 potongan.

Bila ekspor ditutup, Meidy menyatakan pengusaha akan mengeluh. Sebab, selama ini pembeli domestik kerap memperlakukan dengan kurang adil. Meidy menceritakan penambang kerap dituntut untuk memberi harga serendah-rendahnya bagi kadar nikel setinggi-tingginya.

Meskipun harga sudah ditentukan sesuai standar Harga Patokan Mineral (HPM) melalui surveyor yang ditunjuk pemerintah, kata Meidy, para pembeli kerap berusaha agar harganya bisa lebih rendah. Salah satunya dengan menunjuk surveyor di luar yang ditetapkan pemerintah.

“Kalau ini berhenti tengah jalan, 2019 pengusaha lokal mati semua, dampaknya banyak. Kalau ekspor ore [kadar] 1,7 persen sisihkan 5 dolar AS saja cukup. Memang enggak cover 100 persen,” ucap Meidy.

Persoalan smelter ini bermula ketika UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba mengharuskan pembangunan fasilitas pengolahan hilirisasi. Para pengusaha diberi waktu sampai 2014 untuk menyelesaikan smelternya dengan kelonggaran boleh tetap mengekspor asal telah memulai pembangunan fisik dan bisa rampung tepat waktu.

PP Nomor 1 Tahun 2014 pun terbit dan resmi melarang ekspor nikel per 11 Januari 2014. Namun, ternyata smelter yang berhasil dibangun tak seberapa alasannya pengusaha mengaku kekurangan modal. Alhasil, pengusaha meminta relaksasi ekspor dan direalisasikan dengan PP Nomor 1 Tahun 2017.

“Waktu itu ditanya kenapa gak ada pembangunan smelter? Ya, kami gak ada modal. Makanya 2017 boleh ekspor lagi dengan syarat,” ucap Meidy.

Selain hambatan modal, Meidy beralasan pembangunan smelter saat ini tidak mudah. Ia menyebutkan perizinannya memakan waktu yang lama. Ia mencontohkan untuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungna (AMDAL) misalnya bisa membutuhkan waktu setahun.

Lalu untuk membangun smelter, pengusaha juga harus mengurus perizinan baru di luar Izin Usaha Pertambangan (IUP). Di sejumlah kasus, Meidy mengaku izin menjadi tidak mudah karena kerap terganjal tata ruang yang tidak cocok dengan smelter kendati tanah itu boleh dikelola perusahaan.

“Urus izin gak mudah. AMDAL aja 90 hari tertulis terjadinya bisa setahun. Urutan menuju AMDAL ada tata ruang. Gak hanya provinsi tapi kabupaten,” ucap Meidy.

Baca juga artikel terkait EKSPOR NIKEL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri