tirto.id - Presiden Cina, Xi Jinping, membuat komitmen iklim baru dengan berjanji tidak akan membangun proyek pembangkit listrik batu bara di luar negeri. Hal itu ia sampaikan dalam pidato di Majelis Umum PBB, Selasa (21/9/2021). Ia juga menyebut bahwa Cina akan meningkatkan dukungan keuangan untuk proyek energi hijau dan rendah karbon di negara-negara berkembang.
Sejumlah lembaga masyarakat sipil dalam Gerakan #BersihkanIndonesia menyambut baik komitmen Presiden Xi Jinping. Namun, komitmen ini perlu diamati secara kritis untuk memastikan bagaimana janji ini efektif dilakukan terhadap proyek yang sedang dijalankan di luar negaranya, terutama di Indonesia.
Komitmen Xi Jinping tersebut adalah langkah besar perubahan kebijakan Cina yang merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
“Investasi Cina di Indonesia dalam industri batu bara telah berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca di Indonesia, polusi udara, dan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat setempat. Kami berharap pemerintah Indonesia melalui bank sentral dan bank-bank milik negara segera mengikuti dan membuat pengumuman serupa,” ujar Sisilia Nurmala Dewi dari Indonesia Team Leader 350.org.
Cina terlibat dalam banyak proyek pembangunan PLTU di Indonesia. Sekitar 71% dari daftar pembangkit listrik energi kotor batubara saat ini didukung oleh Cina. Setidaknya ada lebih dari 30 PLTU dengan total kapasitas lebih dari 10 GW baik dalam fase pendanaan, prakonstruksi atau baru saja masuk dalam tahapan awal pembangunan.
Di sektor energi Indonesia, dalam kurun waktu 2000-2019, Cina telah menggelontorkan dana investasi sebesar 9,6 miliar USD. Sebanyak 9,3 miliar USD hanya untuk pembangkit listrik energi batu bara.
Peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo menjelaskan, Cina adalah pihak yang paling berpengaruh terhadap pembangunan PLTU batu bara di Indonesia. Jika Cina betul-betul serius atas komitmen penghentian pembangunan PLTU untuk mencegah laju krisis iklim, maka mereka harus segera memulai langkah nyata dengan menarik keterlibatan mereka di proyek-proyek pembangunan PLTU di Indonesia secara menyeluruh.
Di tingkat lokal, khususnya wilayah Sumatera, Cina juga menjadi negara penyokong utama industri energi kotor baik di sektor tambang maupun pembangkit listrik di Sumatera.
Dalam hal ini, kata dia, pemerintah Indonesia perlu merespons dengan mengubah rencana pembangkit di Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Manager Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI Dwi Sawung, menjelaskan, membangun PLTU sekarang menjadi tidak realistis karena tidak ada lagi negara yang mendanai. "Pemerintah perlu mengumumkan PLTU mana saja yang akan batal dengan kebijakan Cina ini, agar ruang yang kosong diisi oleh energi terbarukan," kata dia.
Menurut dia, komitmen Cina harus dibuktikan di lapangan dengan tidak adanya pembiayaan untuk pembangunan pembangkit batu bara di Indonesia baik secara langsung atau lewat lembaga pembiayaan Cina lainnya yang beroperasi di negara lain.
"Penarikan Cina dari pendanaan PLTU batu bara menunjukkan industri ini sudah mengalami senjakala. Karena itu, pembiayaan lokal dan keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap industri PLTU batu bara harus segera diakhiri,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz