tirto.id - Alih wahana cerita dari buku ke layar lebar telah lumrah dalam perfilman Indonesia sejak dahulu. Pada masa Orde Baru, ada beberapa kasus pelarangan film yang diangkat dari kisah dalam novel. Salah satu pelarangan yang sempat ramai pada 1970-an adalah film Atheis (1974) yang diangkat dari roman dengan judul sama karya Achdiat Kartamihardja.
Skenario film karya sutradara Sjuman Djaya itu sempat dilarang diproduksi oleh Direktorat Film Departemen Penerangan. Alasan utamanya: film tersebut dinilai dapat menimbulkan pertentangan agama dan menghidupkan paham komunis.
Pelarangan oleh negara terhadap produksi film Atheis seolah-olah mengulang pengalaman penulis romannya pada 1950-an. Waktu itu, ia diancam hendak dibunuh oleh seseorang lewat surat kaleng.
“Sekitar 50 tahun lalu ada surat kaleng. Isinya mengancam Aki akan dibunuh, tapi Aki tidak takut. Buang saja surat itu, ignore saja karena Aki menganggap penulisnya pengecut. Padahal, bisa terus terang toh. Pengirimnya dari daerah Pekalongan. Itu nyata kalau salah pengertian toh. Aki yang anti-atheis anti-komunis, justru dianggap pro-atheisme. Itu karena kebodohan dan penakut,” ujar Achdiat Kartamihardja dalam Kompas edisi 12 Juni 2005.
Awalnya, Sjuman Djaya sebagai penulis skenario sekaligus sutradara film Atheis mencak-mencak dengan pelarangan memproduksi film tersebut. Menurutnya, Atheis telah lama menjadi bacaan di sekolah-sekolah dan kisah yang diangkat ke dalam film sama persis dengan apa yang ada di dalam roman.
Ia juga menilai bahwa pelarangan itu tidak berdasar. Baginya, sensor terhadap film hanya berhak dilakukan oleh Lembaga Sensor Film dan dan setelah film selesai diproduksi.
“Kenapa dilarang? Bukankah larangan itu berarti mengekang kreativitas? Dan atas dasar apa larangan itu? Apa urusan itu yang namanya ‘team penilai skenario?’ Tidak ada dasarnya!” ungkapnya seperti dilansir Kompas edisi 13 Mei 1974.
Orde Baru memang gemar mendikte warganya dengan dalih stabilitas dan keamanan nasional. Potensi kericuhan sekecil apa pun akan disikat, termasuk film Atheis yang dianggap pemerintah akan menimbulkan kegaduhan.
Sebuah dialog yang dianggap paling liar dan sesat, dan karenanya dilarang, diucapkan tokoh Anwar (dimainkan Farouk Afero) yang ditujukan kepada Hasan (Deddy Sutomo). Bunyinya:
“Tuhan adalah candu, itu kata Marx. Sedang bagiku Tuhan adalah diri pribadiku.”
Dukungan terhadap film Atheis sempat dilontarkan esais Mahbub Djunaidi dalam surat kabar yang sama. Ia menilai pelarangan produksi film karena sejumlah dialog dalam skenarionya jelas tak mengerti konteks.
Pertama, imbuhnya, sasaran roman Atheis adalah mengisahkan tentang sesatnya orang yang tidak percaya Tuhan. Kedua, dialog dalam skenario tersebut memang persis seperti dalam romannya, karena yang diceritakan adalah tokoh yang berpendapat begitu.
Di luar hal itu, menurut Mahbub, pokok masalah dari pelarangan produksi film Atheis adalah tiadanya patokan-patokan mengenai politik film yang disebabkan belum adanya undang-undang pokok tentang film.
“Kenapa belum ada UU Pokok tentang film? Bisakah segala sesuatunya cuma disandarkan atas keputusan menteri atau keputusan dirjen atau keputusan direktur?” tanyanya retoris.
Mahbub lantas membandingkan film dengan pers. Menurutnya, keduanya merupakan media massa yang sama-sama penting, perlu dipelihara dan dijamin agar hidup subur serta berfungsi sebagai sumber informasi, rekreasi, dan edukasi.
Kemenangan Bagi Film Nasional
Setelah terkatung-katung sejak produksi film dihentikan pada 27 April 1974, izin produksi film Atheis akhirnya dikeluarkan oleh Direktorat Film Departemen Penerangan. Sjuman Djaya mengalah dengan mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan mengubah isi skenarionya yang dianggap berbahaya oleh pemerintah.
Selain itu, demi memastikan isinya tidak meresahkan, menurut J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005), ulama tersohor Hamka duduk sebagai supervisornya.
Setelah proses produksi selesai, Lembaga Sensor Film meloloskannya dengan tanpa guntingan sedikit pun. Dalam Kompas edisi 25 November 1974, Sjuman Djaya berucap, “Ini berarti kemenangan besar bagi film nasional.”
Dalam catatan Kristanto, capaian komersial film Atheis tidak terlalu bagus, namun berhasil memenangkan penghargaan Plakat Djamaluddin Malik pada Festival Film Indonesia 1975 untuk film novel terbaik.
Menurut Kristanto pula, sebagaimana ditulis dalam Kompas edisi 20 Juli 1985, Sjuman adalah sutradara yang sangat terobsesi dengan kritik sosial. “Dialah yang paling jelas mau ngomong apa. Ini menarik, apalagi di tengah film Indonesia yang bisu, tidak tahu mau bicara apa. Sjuman juga yang secara jelas menghubungkan film dengan realitas sosial,” kata Arifin C. Noer kepada Kristanto.
Dalam konteks tersebut, roman Atheis dan segala kritik sosial di dalamnya memang cocok dengan gagasan-gagasan Sjuman. Sutradara besar ini meninggal pada 19 Juli 1985, tepat hari ini 36 tahun lalu.
Kasus yang menimpa Achdiat Kartamihardja yang sempat mendapat ancaman pembunuhan, juga film Atheis yang produksinya sempat dilarang, menambah daftar tentang tegangan antara seni di satu pihak dan agama, pemerintah, serta masyarakat yang ketakutan di pihak lain.
Enam tahun sebelum kasus film Atheis, H.B. Jassin mesti duduk sebagai pesakitan karena meloloskan cerpen Langin Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang dinilai menghina Nabi Muhammad. Petaka yang menimpa Jassin itu tercatat sebagai kasus pertama di Indonesia yang melibatkan pasal penodaan agama.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juni 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Ivan Aulia Ahsan