Menuju konten utama

Situs Ombilin & Sejarah Eksploitasi Tambang Batubara di Indonesia

Sejarah tambang batubara di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari penemuan di Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat.

Situs Ombilin & Sejarah Eksploitasi Tambang Batubara di Indonesia
Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, sekitar tahun 1915. foto/wikipedia

tirto.id - Tambang batubara di Ombilin, Sawahlunto, Sumatera Barat, terpilih sebagai situs warisan dunia versi UNESCO pada 7 Juli 2019 lalu. Ombilin menjadi situs warisan dunia di Indonesia ke-5 setelah Candi Borobudur dan Prambanan (1991), situs sejarah manusia purba Sangiran di Sragen (1996), dan sistem irigasi persawahan Subak di Bali (2012).

Di Asia Tenggara, lokasi tambang Ombilin merupakan situs pertambangan batubara tertua dan satu-satunya tambang batubara bawah tanah di Indonesia. Sejarahnya pun terkait dengan Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-18. Seiring ditemukannya mesin uap, produksi batubara pun meningkat lantaran digunakan sebagai bahan bakarnya.

Batubara tidak lagi hanya digunakan dalam kegiatan sehari-hari keluarga Eropa, seperti untuk bahan bakar perapian saat musim dingin, atau untuk memasak di dapur. Lebih dari itu, batubara lalu difungsikan untuk menggerakkan mesin-mesin bertenaga uap. Kereta api uap, kapal uap, dan beragam jenis industri membutuhkan pasokan batubara.

“Sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batubara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian,” tulis Erwiza Erman dalam buku Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat 1892-1996 (2016).

Permintaan batubara amat tinggi pada masa itu, termasuk di Belanda. Untuk mengurangi impor, Kerajaan Belanda melancarkan berbagai ekspedisi untuk menyelidiki cadangan batubara di Hindia-Belanda atau Indonesia.

Setelah lama mencari, pada 1848 ekspedisi Belanda ini menemukan titik terang dengan ditemukannya potensi batubara di Pengaron, Banjar, Kalimantan Selatan.

Nyaris seluruh hasil produksi dari Pengaron digunakan armada laut Belanda yang berupaya menundukkan Kerajaan Banjar. Namun, karena biaya transportasi mahal dan tenaga kerja lokal yang tak terlatih, tambang ini hanya mampu memproduksi tak lebih dari 80.000 ton.

Kendati tambang Pengaron gagal menutup impor batubara, namun para peneliti Belanda tak menyerah. Tak berselang lama, ditemukan dan dibuka lagi lokasi tambang batubara di tempat lain di Borneo. Hingga kini, penambangan batubara di Kalimantan masih terus berlangsung.

Riwayat Situs Ombilin

Pada 1868, geolog muda Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve menemukan kandungan batubara di Ombilin. Laporan ke Batavia mengenai penemuan ini ini disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust.”

Berkat temuan di Ombilin yang berisi batubara dengan kualitas jempolan itu, tambang-tambang skala kecil terus dibuka. Setelah Ombilin dibuka, pertambangan batubara di Bukit Asam, Sumatera Selatan, menyusul.

Pada 1872, de Greeve melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun nasib sial, penemu batubara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri saat melakukan penelitian.

Selanjutnya, dua insinyur tambang asal Belanda, Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth, ikut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin, sejak 1874.

Veth kemudian menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”. Menurut Erwiza dalam bukunya, inilah yang mendasari pembangunan jalur kereta api dari lokasi eksploitasi tambang menuju pelabuhan.

Perdana Menteri Kerajaan Belanda saat itu, Pieter Philip van Bosse, memberi reaksi positif atas berbagai tawaran investor yang ingin mengelola tambang di Ombilin. Namun, sebelum diputuskan, jabatan Van Bosse berakhir dan digantikan oleh Isaac Dignus Fransen van de Putte.

Van de Putte ternyata tidak langsung melanjutkan program Van Bosse terkait potensi batubara di Ombilin. “[Perdana] Menteri yang baru ini menginginkan agar eksplorasi dilakukan lebih dulu sebelum keputusan dilaksanakan,” tulis Erwiza.

Keinginan tersebut dilaksanakan oleh Cluysenaer yang menulis tiga laporan rinci pada 1875 dan 1878. Cluysenaer menawarkan anggaran yang lebih rasional. Untuk rel kereta yang membelah lembah barat-timur, misalnya, membutuhkan biaya sekitar 24,4 juta gulden.

Setelah melalui debat panjang di parlemen Belanda, akhirnya disepakati bahwa pembangunan rel kereta api sekaligus pengembangan tambang batubara di Ombilin akan segera dilaksanakan.

Dikutip dari buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat (2006) yang ditulis Erwiza Erman dan kawan-kawan, Rancangan Undang-Undang (RUU) pertambangan batubara Ombilin disahkan oleh parlemen Belanda pada 24 Nopember 1891.

Namun, eksploitasi batubara ini memberikan efek politik yang justru merugikan bangsa Indonesia, termasuk menguatnya kontrol dari otoritas kolonial terhadap Hindia Belanda.

Bentuk kontrol ini bisa beragam, salah satunya, batubara yang diambil dari perut bumi Nusantara digunakan sebagai bahan bakar angkatan militer Belanda untuk menaklukkan banyak wilayah di Indonesia.

Baca juga artikel terkait TAMBANG BATUBARA atau tulisan lainnya dari AS Rimbawana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: AS Rimbawana
Penulis: AS Rimbawana
Editor: Iswara N Raditya