Menuju konten utama

Sinopsis 12 Years A Slave, Film Tentang Perbudakan dan Rasialisme

12 Years A Slave merupakan film drama biografi yang berkisah tentang rasialisme dan perbudakan di Amerika Serikat.

Sinopsis 12 Years A Slave, Film Tentang Perbudakan dan Rasialisme
Ilustrasi Bioskop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - 12 Years A Slave merupakan film drama biografi yang rilis secara komersil pertama kali di Amerika Serikat pada 8 November 2013. Akan tetapi beberapa bulan sebelumnya, film yang mengangkat isu rasialisme ini juga sempat diputar di berbagai festival film internasional.

Film 12 Years A Slave (2013) mendapat 7 nominasi Golden Globe Awards, dan memenangi satu di antaranya, yakni kategori Best Motion Picture Drama. Serta masuk dalam 9 nominasi Academy Awards 2014, dan sukses membawa pulang 3 Piala Oscar untuk kategori: Best Picture, Best Supporting Actress, dan Best Adapted Screenplay.

Film ini di bawah arahan sutradara Steve McQueen. Sedangkan naskahnya ditulis oleh John Ridley berdasar memoar Solomon Northup tahun 1853 dengan judul sama, yakni “Twelve Years a Slave”.

12 Years A Slave (2013) turut mengusung sejumlah bintang tenar, seperti: Chiwetel Ejiofor, Michael Fassbender, Benedict Cumberbatch, Paul Dano, Lupita Nyong'o, Brad Pitt, dan Alfre Woodard.

Film yang berada di bawah naungan Fox Searchlight Pictures untuk distribusi wilayah Amerika Utara, serta Summit Entertainment untuk rilis internasional ini mampu meraup box office senilai 187,7 juta dollar, meski dengan budget produksi sekira 22 juta dollar saja.

12 Years A Slave (2013) mempunyai durasi total 134 menit, dengan rating mencapai 8,1/10 di IMDb. Sementara situs Rotten Tomatoes mengganjar skor 95 persen untuk tomatometer, dan 90 persen untuk penonton umum.

Sinopsis 12 Years A Slave

Film mengangkat kisah nyata dari Solomon Northup, seorang kulit hitam yang harus menjalani perbudakan selama 12 tahun. Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) sejatinya merupakan individu merdeka yang terpaksa menjadi budak akibat terjebak tawaran kerja.

Semenjak hari pertama dijebak, Solomon yang berubah nama menjadi Platts harus menjalani hidup penuh kesulitan dan siksaan dari tuannya. Siksaan tersebut tidak hanya secara fisik melainkan juga dalam bentuk ketidakadilan sebagai manusia.

Penyiksaan dan diskriminasi yang diterima para budak digambarkan dengan cukup jelas dalam film, hingga cukup mampu menarik simpati para penonton.

Di samping fokus terhadap Solomon Northup, film juga menyorot tokoh Patsey (Lupita Nyong’o) seorang budak perempuan yang dijadikan alat pemuas nafsu sang tuan. Hal ini lantas diketahui oleh istri majikan, sehingga berdampak pada kekejaman yang harus ditanggung secara lebih berat oleh Patsey.

Secara keseluruhan film 12 Years A Slave (2013) bercerita tentang bagaimana proses kekejaman yang harus dihadapi oleh kaum budak kulit hitam pada masa itu. Dikisahkan pula bagaimana proses perjuangan Solomon Northup untuk bertahan hidup dan berjuang keluar dari perbudakan.

Pada akhirnya Solomon mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Samuel Bass (Bradd Pitt), seorang abolisionis atau penentang perbukan asal Kanada. Samuel Bass lantas membantu Solomon untuk berkomunikasi dengan dunia luar.

Setelah penantian panjang, akhirnya Solomon Northup dijemput oleh kerabatnya dengan bukti kemerdekaannya. Solomon pun dapat kembali bertemu dengan keluarga yang telah lama ia tinggalkan.

12 Years a Slave adalah film langka yang melampaui hype di sekitarnya, merupakan pengalaman paling emosional yang pernah dialami di bioskop dalam beberapa waktu,” tulis The Hollywood Outsider dalam ulasan mereka.

“Ini berbicara tentang keberanian dan ketangguhan satu orang, kebiadaban banyak orang, serta potensi baik baik maupun sakit yang ada dalam diri kita semua,” ulas Philadelphia Inquirer.

Baca juga artikel terkait SINOPSIS FILM atau tulisan lainnya dari Muhammad Ibnu Azzulfa

tirto.id - Film
Kontributor: Muhammad Ibnu Azzulfa
Penulis: Muhammad Ibnu Azzulfa
Editor: Oryza Aditama