tirto.id - 19 Desember 1994, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 16 September sebagai Hari Pelestarian Ozon Sedunia. Ketetapan tersebut didasarkan pada penandatanganan Protokol Montreal, 16 September 1987, tentang zat yang menggerus lapisan ozon.
Sejak akhir 1970-an, para ilmuwan mulai resah ketika menyadari bahwa manusia dengan perkembangan teknologi dan rupa-rupa aktivitasnya “punya kemampuan” melubangi lapisan ozon di atas Antartika. Lapisan ozon adalah gas pada ketinggian 10-40 km di atas bumi (atmosfer) yang berperan umpama perisai melindungi kehidupan bumi dari sengatan radiasi ultraviolet (UV) matahari.
Ketika lubang lapisan ozon terus-terusan membesar—belakangan muncul juga di Kutub Utara—ancamannya nyata: tanaman dan ekosistem rusak, kasus kanker kulit dan katarak meningkat. Singkatnya, kerusakan ozon akan membuat bumi tidak lagi nyaman ditinggali.
Bertolak dari kondisi itulah Protokol Montreal ditandatangani. Tujuannya, melindungi lapisan ozon dengan cara mengendalikan produksi dan konsumsi global atas zat-zat yang merusak ozon, misalnya metil bromide, metil kloroform, karbon tetraklorida, halon, kloroflourokarbon (CFC), dan hidrokloroflourokarbon (HCFC).
Bahkan tak hanya mengendalikan, sejak 1989 Protokol Montreal juga mengeluarkan larangan pemakaian CFC dan gas halon serta beberapa Bahan Perusak Ozon (BPO). Beberapa dasawarsa belakangan, temuan NASA mengungkap betapa penggunaan BPO telah menyebabkan lubang ozon membesar. Per September tahun lalu, luas lubang ozon tahunan mencapai area 24,8 juta kilometer persegi atau lebih dari tiga kali luas benua Australia. Angka tersebut menempatkan tahun lubang ozon terbesar ke-12 dalam 40 tahun catatan satelit.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut lubang ozon Antartika telah menyusut antara 1% hingga 3% per dekade sejak tahun 2000. Meski demikian, WMO memprediksi bahwa lapisan ozon ini tidak akan pulih sepenuhnya sampai, paling cepat, pada tahun 2050.
Dalam film dokumenter Breaking Boundaries, The Science of Our Planet (2021), ilmuwan senior David Attenborough dan Johan Rockström menunjukkan dengan getir betapa keadaan bumi sepanjang era holesen—era di mana kondisi bumi demikian stabil sehingga untuk pertama kalinya peradaban bisa dibentuk dan berlangsung hingga sekarang—terancam oleh ulah manusia sekejapan saja.
“Menurutku, mungkin pesan paling mengerikan bagi umat manusia adalah berikut ini. Jadi, hanya dalam waktu 50 tahun, kita sudah mampu mendorong diri kita keluar dari keadaan yang sudah kita tinggali selama 10.000 tahun terakhir,” ujar Johan Rockström, Kepala Ilmuwan di Conservation International, serta Co-Director di Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), Jerman.
Pernyataan Rockström diperkuat temuan computer modelling para peneliti NASA: jika manusia tidak melakukan apa pun demi mengatasi persoalan ozon, sistem alami pelindung bumi itu diprediksi akan rusak dua per tiganya pada tahun 2064. Jika kondisi itu menjadi kenyataan, sebagai gambaran, semua yang tinggal di sekitar khatulistiwa akan mendapat luka bakar akibat sengatan matahari hanya dalam waktu lima menit. Mengerikan!
Saat ini, CFC di atmosfer sudah turun 4 persen dibanding tahun 2000, tahun ketika jumlah CFC mencapai puncaknya. Hanya, kondisi demikian jangan sampai melenakan. BPO ada di sekitar kita lantaran keberadaannya masih diperlukan oleh sejumlah industri, mulai dari industri minyak dan pertambangan, manufaktur, perhotelan dan pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan apartemen, hingga oleh pemadam kabakaran dan militer.
Kita tahu bahwa benda-benda yang menyebabkan kerusakan ozon antara lain lemari pendingin dan AC. Sebab itu, saat seseorang melalukan perawatan maupun perbaikan sistem pendingin dan unit pendingin, termasuk mengganti BPO, penting diperhatikan agar BPO tidak terlepas ke atmosfer.
“Banyak yang tidak menyadari risiko jika BPO tidak dimusnahkan dengan aman, dan banyak yang melepasnya begitu saja ke atmosfer. BPO terlihat tidak berbahaya, apalagi karena tidak berbau dan tidak berwarna, sebetulnya daya rusak BPO sangat kuat. Satu molekul klorin saja dapat merusak 10 ribu hingga 100 ribu molekul ozon,” bunyi keterangan Nathabumi yang diterima Tirto, Jumat (9/10).
Nathabumi adalah layanan pengelolaan limbah milik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG), untuk pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan non-B3 di sektor industri, agrikultur dan sampah perkotaan sejak 2007. Melalui metode co-processing, Nathabumi memanfaatkan suhu tinggi dalam tanur semen, tanpa menyisakan residu apa pun dari limbah yang diproses.
Direktur Utama SIG, Hendi Prio Santoso menyampaikan, fasilitas pemusnahan bahan perusak ozon (BPO) yang berlokasi di Pabrik Narogong, Jawa Barat memiliki izin pengolahan BPO berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. S.88/Menlhk/Setjen/PLB.3/1/2020. Fasilitas ini dikembangkan Nathabumi dan menjadi fasilitas pertama di Asia Tenggara dengan teknologi yang aman dan ramah lingkungan serta disetujui oleh Protokol Montreal.
“Fasilitas Nathabumi menerima BPO dalam bentuk cair maupun gas. Kami memiliki izin pengolahan BPO dengan sistem pengumpan khusus untuk memusnahkan BPO dalam sistem pembakaran utama di tanur yang suhunya mencapai 1.500 derajat Celsius.” kata Hendi Prio Santoso.
Sejauh ini, Nathabumi sudah menangani 99.000 kg BPO yang dapat merusak lapisan ozon atau telah membantu mencegah pelepasan kurang lebih 990.000 MT setara CO2 dalam Indeks Potensi Pemanasan Global (GWP). Diketahui, secara nasional, target penurunan emisi pada tahun 2030 berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) adalah sebesar 834 juta ton CO2e pada target unconditional (CM1) dan sebesar 1,081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2).
Singkatnya, keberadaan Nathabumi dengan fasilitas pemusnah ozonnya turut ambil peran dalam upaya perlindungan ozon dan meminimalkan dampak pemanasan global.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis