tirto.id - Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menolak permohonan justice collaborator (JC) terdakwa PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih.
JC merupakan saksi pelaku yang bekerjasama dengan penyidik atau jaksa untuk membongkar kasus.
Hal itu diungkapkan hakim saat membacakan vonis putusan terhadap Eni Saragih, Jumat (1/3/2019).
"Permohonan justice collaborator yang diajukan oleh terdakwa Eni Maulani Saragih tersebut majelis hakim tidak sependapat," kata Hakim Anwar saat membacakan vonis persidangan.
Hakim menjelaskan, permohonan pengajuan justice collaborator mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011 tentang Justice Collaborator.
Dalam pasal 9 poin a dan b, permohonan justice collaborator baru bisa dikabulkan apabila pelaku tindak pidana mengakui perbuatannya; bukan pelaku utama kejahatan; dan memberikan keterangan sebagai saksi atau terdakwa dalam proses peradilan.
Kemudian, syarat lainnya adalah, ada pernyataan dari jaksa penuntut umum dalam lembar tuntutannya, terdakwa sudah memberikan keterangan dan bukti yang signifikan dalam penanganan perkara sehingga perkara berjalan efektif; mengungkap pelaku lain; serta mengembalikan aset hasil suatu tindak pidana.
Hakim menerangkan, salah satu alasan penolakan JC, karena jaksa penuntut umum tidak menyatakan Eni memenuhi syarat menerima status pelaku bekerja sama.
Padahal, kata dia, Eni sudah menyatakan perbuatan di persidangan, bersikap sopan dan memberikan keterangan signifikan, dan menyebut peran sejumlah pihak seperti Johanes B. Kotjo, Setya Novanto hingga Idrus Marham dalam persidangan.
Selain itu, hakim memandang, Eni tidak memenuhi unsur penerima JC, karena statusnya sebagai pelaku utama.
Hakim melihat politikus Partai Golkar itu sebagai pelaku utama karena berperan aktif dalam memfasilitasi pertemuan-pertemuan antara Johannes B Kotjo dengan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir maupun pihak-pihak lainnya demi mensukseskan proyek PLTU Riau-1.
"Maka dengan demikian majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan sebagai justice collaborator yang dimohonkan terdakwa," kata Hakim Anwar.
Meskipun majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan justice collaborator yang diajukan Eni, hakim mengapresiasi sikap Eni yang bersikap kooperatif dan jujur serta menyerahkan kembali uang yang diterimanya.
Selain itu, poin terpenting yang diapresiasi hakim adalah Eni mau mengakui secara terus terang kesalahannya sehingga patut menjadi hal meringankan dalam persidangan.
Terdakwa Kasus Korupsi PLTU Riau 1 Eni Maulani Saragih divonis bersalah dalam kasus korupsi PLTU Riau-1.
Eni pun dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan akibat dirinya terbukti terlibat dalam korupsi PLTU Riau-1.
Selain pidana kurungan dan denda, Eni dikenakan pidana pengganti sebesar Rp5,087 miliar dan 40 ribu dollar Singapura. Pengembalian uang tersebut merupakan selisih dari total penerimaan Eni yang mencapai Rp10,35 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Apabila tidak dibayar dalam kurun 1 bulan, harta Eni disita negara sesuai nominal vonis. Apabila harta Eni tidak cukup untuk membayar uang pengganti, Eni menjalani hukuman tambahan selama 6 bulan. Hak politik Eni pun dicabut selama 3 tahun oleh hakim.
Eni dianggap melanggar dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua. Eni dianggap terbukti menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Uang tersebut diterima Eni karena membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Proyek rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa oleh Kotjo.
Selain itu, Eni terbukti menerima gratifikasi dalam persidangan. Politikus Golkar itu dianggap terbukti menerima Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah Direktur Perusahaan di bidang minyak dan gas.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali