tirto.id - Lima koma satu dari sepuluh. Itu adalah rating total musim pertama She-Hulk: Attorney at Law di situs database IMDb ketika saya akan menontonnya.
Sebabnya tak lain karena review bomb masif--lebih dari sepertiga dari seratusan ribu rating adalah satu dari sepuluh bintang. Dengungan tak jauh berbeda muncul di media sosial. Sejak episode pertamanya dirilis pada 18 Agustus lalu, beragam penilaian baik dan buruk hadir. Sebagian fans menyebutnya serial MCU "paling komik", yang lain justru menyebut sebaliknya. Belum lagi alasan-alasan lainnya di balik fandom komik yang memberikan rating rendah (entah itu CGI-nya yang dirasa kurang, Hulk yang lebih lemah, dan banyak lagi).
Tapi itu pembahasan lain lagi. Dengan hanya mengetahui karakternya dari gim Marvel Future Fight bertahun silam dan tanpa membaca komiknya, saya akhirnya tetap menonton versi live-action karakter rekaan Stan Lee dan John Buscema ini karena penasaran.
She-Hulk: Attorney at Law memang dimaksudkan menjadi serial superhero yang mengusung genre legal drama dalam wujud komedi situasi (sitcom). Penulisan seri ini dipimpin oleh Jessica Gao (juga pernah menulis untuk serial Silicon Valley dan episode genial Rick and Morty, 'Pickle Rick'), sementara Kat Coiro dan Anu Valia ada di bangku sutradara.
Seperti apa olahan Marvel akan kisah superhero yang juga pengacara dalam latar yang sepenuhnya dimaksudkan sebagai komedi?
Tak Melulu Soal Menyelamatkan Dunia
She-Hulk sedari awalmenampilkan beberapa elemen penting penceritaannya. Jennifer Walters (Tatiana Maslany) ialah seorang perempuan usia 30-an yang juga seorang pengacara yang sedang naik daun. Layaknya karakter-karakter seperti Deadpool dan Gwenpool, ia dapat berbicara kepada penonton show-nya (breaking the 4th wall). Dan dia merupakan sepupu Bruce Banner (Mark Ruffalo) alias Hulk.
Dari sepupunya itu, darah Jen terkontaminasi silang yang berujung mampu membuatnya menjadi Hulk. Perbedaannya, tak ada dualitas dalam diri Jen. Ia mampu berganti persona dengan mudah, baik sebagai manusia biasa maupun She-Hulk--hal yang merepotkan Bruce bertahun-tahun lamanya.
Satu hal yang tertinggal barangkali adalah kesamaan keduanya ihwal kemarahan. Adapun bagi Jen, kemarahan itu adalah hal yang, sialnya, mesti rutin dikontrol dirinya dan perempuan pada umumnya: ketika terpapar catcalling di jalanan, menerima mansplaining, disebut "female" alih-alih "woman", hingga kekhawatiran dicap emosional bahkan berujung dibunuh.
Jen menerima kekuatannya dengan alami, barangkali tanpa perlu banyak bantuan dari sepupunya. Namun, di saat yang sama, Jen hanya ingin kembali ke pekerjaannya sebagai pengacara, bukan merengkuh hidup superhero sepenuhnya seperti yang disarankan Bruce. Di sini ada peralihan yang cukup mulus dalam mengenalkan, kalau bukan menggantikan, Hulk lama.
Sebagaimana kebanyakan kisah origins sosok superhero, Jen membereskan hidup yang lumayan berantakan sembari merengkuh wujud dan kekuatan baru. Bedanya, pertaruhan besar yang lazimnya dihadirkan, tampil dalam wujud yang lain dari kebanyakan. Tak ada villain yang mendatangkan bencana bagi kemanusiaan.
Pertaruhan bagi Jen adalah personal: pencarian akan cinta yang mandek dan tentunya pencarian akan firma hukum yang mau mempekerjakannya selepas mengetahui bahwa dia bisa bertransformasi menjadi perempuan tinggi, kekar, hijau, lagi maha kuat.
She-Hulk terbangun dalam beberapa plot yang dipecah ke dalam sejumlah cerita, terutama keseharian berupa menangani kasus-kasus di ruang pengadilan. Ia harus mengabaikan konflik personal demi mewakili Emil Blonsky (Tim Roth) alias Abomination yang menjadi musuh utama dalam The Incredible Hulk. Juga sejumlah kasus yang lebih sepele yang melibatkan karakter-karakter seperti Titania, Donny Blaze, Light Elf, Leap-Frog, hingga Mr. Immortal. Belum lagi kumpulan troll internet yang hendak menjatuhkan citranya, Intelligencia.
Semuanya ditampilkan dengan ringan, meski beberapa bagian terkesan dipaksakan semisal kemunculan Titania di episode awal. Sebagai karakter yang dimaksudkan sebagai rival bagi She-Hulk pun, influencer cum superhero yang diperankan Jameela Jamil tak begitu terasa kehadirannya.
Beberapa adegan pun terasa janggal, seperti ketika dua kolega Jen, yakni Nikki dan Pug, menemui desainer kostum superhero, atau satu episode soal pernikahan (dengan karakter-karakter ngeselin) yang berlangsung dengan aneh pula berakhir kontradiktif bagi sang mempelai yang menolak kehadiran She-Hulk di resepsinya. Belum lagi sederet persidangan yang acapkali terkesan digampangkan.
Meski demikian, kisah-kisah yang terkesan kurang terorganisasi itu sebetulnya saling terkoneksi dan bermuara menjadi plot yang lumayan rapi. Semaraknya karakter yang hadir juga pada akhirnya turut memberi andil, krusial atau pun tidak bagi cerita.
Di tengah "keakuannya", She-Hulk masihlah bagian dari fase 4 MCU. Dalam satu kesempatan, ia menyambungkan gambar besar itu kala menjelaskan kehadiran Abomination dalam Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings.
Selain Wong, Abomination, dan lebih banyak karakter minor dalam semesta Marvel (Man-Bull, El Águila, dan lainnya) ia juga menghadirkan karakter yang telah ditunggu-tunggu (bahkan menjadi alasan sebagian orang menyaksikan seri ini): Matt Murdock (Charlie Cox) alias Daredevil. Pertemuan keduanya tak ayal menjadi salah satu highlight tertinggi dalam serial. Ada keluh kesah antara kedua pengacara, ada pula pertemuan dua metode superhero yang berlawanan, smash dan stealth.
Di samping kameo karakter-karakter yang lebih dulu mapan, kemampuan She-Hulk menghancurkan dinding keempat lumayan membantu serial ini. Teknik penyampaian itu kian diperkuat dengan penceritaan yang self-referential.
Sedari episode 3, She-Hulk telah memprediksi ketidakpuasan publik terhadapnya. Itu semakin diperkuat pada episode 9, kala sebagian penonton mungkin merasa serial ini kian tak jelas juntrungannya. Seenak jidatnya, She-Hulk berpindah show (mungkin akan mengagetkan seluruh pengguna Disney+), menuju Marvel Studios: Assembled. Ia mendatangi "dunia nyata" di mana para penulis serial ini termasuk presiden Marvel Studios, Kevin Feige, berada.
She-Hulk ditampilkan sebagai karakter yang mampu mengambil kontrol akan ceritanya sendiri. Ini membuatnya mampu menghadirkan finale yang lebih sesuai akan pertaruhannya: menghadapi musuh di meja hijau, mengirim Abomination kembali ke balik jeruji, dan menemukan kencan yang pantas dalam diri Matt Murdock.
Seri yang Sadar Diri
Saya datang untuk sitcom superhero belaka, dan saya mendapatkannya. Tentu tak ada suasana gelap atau penanganan kasus yang mendalam layaknya Daredevil di Netflix. Meskipun ke depannya (mengingat serial ini akan berlanjut), She-Hulk sepertinya akan lebih menarik jika Jen/She-Hulk terlibat kasus panjang nan merinci sambil tetap mempertahankan sifatnya yang ringan.
Tatiana Maslany adalah pilihan tepat untuk She-Hulk. Begitu juga penampilan renyah lagi menghibur dari Ginger Gonzaga sebagai sidekick-nya. Dan walaupun disederhanakan dalam klise pemimpin kultus, ia rasanya jadi panggung yang tepat untuk kembalinya Tim Roth ke semesta Marvel.
Beberapa eksekusi lelucon "khas Marvel" terasa kurang mengena, tetapi sebagian di antaranya tetap lucu seperti ketika She-Hulk ditampilkan dalam gaya film 70-an, atau ketika Daredevil dan She-Hulk berkelahi sembari menyiapkan strategi di persidangan.
Di bawah payung genre sitcom (di mana ia juga tak bisa dibilang yang terbaik), dangkalnya cerita tampaknya bisa ditoleransi, begitu pula dengan absennya villain yang super serius. Saya menyukainya karena serial ini tak menganggap dirinya sendiri kelewat serius (relatif lebih menghibur ketimbang Ms. Marvel). Ia membawa penyegaran dalam kisah origins, dan sebetulnya, dengan naratif yang cukup menantang.
Secara objektif, formula yang diterapkan serial ini bisa jadi pedang bermata dua. Pada satu sisi, format She-Hulk memungkinkan Marvel menghadirkan karakter-karakter sampingan yang selama ini kurang dipandang, sekaligus menampilkan diri mereka sebagai entitas yang cukup "sadar diri".
Lewat serial ini-lah, Marvel menunjukkan bahwa mereka sadar akan segala kritik atas film/serial mereka yang "begitu-begitu saja", berakhir dengan cara yang sama, pertaruhan skala masif serupa, dsb. (Kalau bukan menyindir balik tipe orang-orang yang bakal me-review bombing).
Pendekatan yang sama memungkinkan mereka bereksperimen dan keluar barang sebentar dari zona nyaman. Namun, di lain sisi, ia bisa membingungkan sebagian penggemar yang terbiasa dengan formula MCU. Pemecahan ceritanya juga bisa berujung pada sederet karakter yang tampak one dimensional.
Perubahan atau penyampaian beberapa karakternya bisa jadi melanjutkan kekecewaan beberapa orang pada film dan serial Marvel belakangan. Pendekatan yang sama juga bukan tak mungkin memberi kesan penulisan yang "malas": menjadikan metafiksi sebagai armor.
Ia tak melulu soal menjadi bagian fase 4 MCU dan ihwal gambaran cerita yang lebih besar. Oke, She-Hulk mungkin akan turut bertarung melawan Kang the Conqueror atau siapalah kelak, tapi serial ini pada sebagian besar waktu adalah tentang dirinya sebagai manusia super dan manusia biasa. Kehadirannya mampu memberikan pengharapan untuk penanganan yang lebih distingtif pada setiap konten MCU.
Keberanian menghadirkan serial dengan gaya mencolok, dengan kesadaran diri, rasanya juga pantas mendapatkan respek--meskipun saya rasanya tak akan begitu menantikan season berikutnya, selain bila kehabisan tontonan. Dengan rata-rata durasi per episode yang hanya setengah jam, She-Hulk bukan pilihan yang buruk mengisi waktu luang--mungkin perlu diganjar lebih dari lima koma satu.
Editor: Rio Apinino