tirto.id - Dunia anak-anak selalu penuh dengan keajaiban dan imajinasi yang tak terbatas. Mereka memiliki kemampuan untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Terutama pada usia tertentu, anak-anak sering kali memiliki daya khayal yang kuat dan sangat senang mengeksplorasi hal-hal baru di sekitar mereka.
Namun, tidak semua kegiatan yang mereka lakukan selalu melibatkan teknologi atau permainan modern.
Waktu kecil, saya masih ingat bagaimana ketika listrik padam di tengah perkampungan, bapak sesekali memainkan tangannya yang disorot lampu tempel atau lilin memainkan satu dua karakter.
Bermodalkan media dinding, sekilas gambaran yang dipertontonkan bapak menguji daya ingat. Apakah itu monster? Dinosaurus? Hantu yang ramah?
Mulanya sempat dihinggapi rasa takut, "Bu, apa yang ada di dinding?"
Namun daripada anaknya ketakutan, mereka justru mengubahnya menjadi sebuah permainan menyenangkan. Maka setiap kali listrik padam, permainan itu diulangi. Lalu saya dan adik diminta menebak karakter apa yang ada dalam bayangan siluet tersebut.
Seiring waktu, bukan hanya di rumah, beberapa teman sebaya kadang memainkannya saat listrik padam ketika kami belajar bersama atau mengaji di musala.
Permainan bayangan tangan, dikenal juga dengan sebutan shadowgraphy, merupakan salah satu contoh permainan kreatif yang sering dimainkan keluarga maupun para seniman, khususnya pesulap.
Shadowgraphy memanfaatkan gelap dengan sumber cahaya lain seperti lilin atau senter untuk membuat bayangan tangan. Si pelaku atau dalang akan menciptakan bentuk-bentuk yang berbeda, umumnya dikenalkan karakter hewan yang mudah dipraktikkan dalam bayangan tangannya, seperti kuda, anjing, atau angsa.
Anak-anak akan diajak untuk bertualang ke dunia yang penuh cerita dan sesekali petuah bijaksana, sambil belajar tentang keanekaragaman makhluk di bumi ini.
Permainan yang bermodalkan sepasang tangan, sumber cahaya, dan dinding atau layar putih ini tidak hanya mengembangkan imajinasi anak-anak, tetapi juga membantu meningkatkan keterampilan motorik mereka.
Dengan menggerakkan tangan mereka untuk menciptakan bayangan, anak-anak belajar mengontrol gerakan tubuh mereka dengan lebih baik. Selain itu, permainan ini juga meningkatkan kemampuan anak-anak untuk berpikir kreatif dan upaya untuk memecahkan masalah.
Shadowgraphy bukan hanya hiburan, tetapi juga jendela ajaib yang membuka pintu pengetahuan di saat gelap.
Shadowgraphy dan Sejarahnya
Sejarah awal dari seni bayangan tangan dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno di China dan Indonesia, di mana seniman menggunakan tangan mereka untuk menciptakan bayangan yang menyerupai hewan dan objek-objek lainnya.
Di China, seni bayangan digunakan dalam pertunjukan "Pi Ying" atau “bayangan kulit China”, sebuah pagelaran seni wayang kuno. Pagelaran seni ini sangat populer pada masa dinasti Tang (618 - 907) dan Song (960 - 1279).
Pi Ying melibatkan penggunaan boneka datar yang terbuat dari kertas atau kulit untuk memberikan bayangan pada layar kain putih.
Boneka-boneka tersebut dioperasikan oleh tim beranggotakan lima orang yang memainkan alat musik dan bernyanyi sambil menceritakan kisah-kisah yang berusia ribuan tahun.
Hal yang juga mudah ditemukan dalam pagelaran wayang kulit. Seni tradisional yang berasal dari abad ke-9 itu melibatkan seorang dalang yang mengendalikan boneka kulit di belakang layar putih yang diterangi oleh lampu.
Bayangan boneka kemudian diproyeksikan ke layar yang lebih besar, sehingga penonton dapat melihat aksi dan gerakan boneka.
Saat beberapa pelancong Eropa menyaksikan pertunjukan Pi Ying, muncul inspirasi lahirnya seni bayangan tangan yang populer di Eropa pada abad ke-18, terutama di Prancis.
Salah satu tokoh yang terkenal dalam sejarah perkembangan shadowgraphy adalah Félicien Trewey, seorang seniman Prancis yang terkenal dengan pertunjukan bayangan tangannya di berbagai panggung.
Trewey juga dikenal sebagai "Raja Bayangan Tangan" karena keahliannya dalam menghidupkan bayangan tangan dengan berbagai karakter dan gerakan yang menarik.
Trewey sering tampil di teater dan kabaret di Paris. Ia menggunakan teknik bayangan tangan untuk menciptakan berbagai adegan, cerita, dan karakter yang menghibur penonton. Ia juga menggabungkan gerakan tangan dengan permainan cahaya untuk menciptakan efek visual yang menakjubkan.
Seni bayangan tangan yang diperkenalkan oleh Trewey menjadi sangat populer di kalangan masyarakat. Ia menyusun buku panduan “The Art of Shadowgraphy” dan menginspirasi banyak seniman dan para orangtua untuk mengembangkan teknik dan kreativitas mereka sendiri di rumah.
Selain Trewey, ada beberapa seniman lain yang terkenal dalam seni bayangan tangan, di antaranya adalah François Dominique Séraphin, David Devant, Alexander Hermann, dan Edward Victor. Mereka melakukan berbagai improvisasi dalam aksinya ketika berada di atas panggung.
François Dominique Séraphin misalnya, ia tidak hanya menggunakan tangan, tetapi juga menggunakan benda-benda lain seperti kertas dan kain untuk menciptakan bayangan yang lebih kompleks dan menarik.
Pada abad ke-19, seni bayangan tangan juga berkembang di AS, dengan munculnya Maks Holden, pesulap legendaris yang menghidupkan shadowgraphy dalam penampilannya yang memukau "Holden dan Graham."
Selama abad ke-20, seni bayangan tangan terus mendapatkan popularitasnya, dibantu dengan kehadiran teknologi yang cukup pesat. Sebut saja seniman asal Jerman, Lotte Reiniger, yang menggunakan teknik shadowgraphy untuk membuat film animasi dengan menggunakan siluet tangan yang dipotong dari kertas hitam.
Salah satu karya terkenal Lotte Reiniger adalah film animasi berjudul "The Adventures of Prince Achmed" (1926), yang dianggap sebagai film animasi tertua yang masih ada.
Film ini dibuat dengan teknik shadowgraphy, di mana Reiniger memotong siluet karakter dan objek dari kertas hitam, kemudian menganimasikannya dengan menggeser dan memutar objek-objek itu di antara sumber cahaya dan layar.
Tantangan Shadowgraphy
Saat ini, teknologi digital semakin berkembang dan memungkinkan orang untuk membuat berbagai macam karya seni dengan mudah dan cepat. Teknologi seperti animasi, grafis 3D, dan augmented reality (AR), dan artificial intelligence (AI) dapat membuat karya seni yang lebih menarik dan realistis.
Di sisi yang sama, generasi muda saat ini lebih tertarik pada teknologi digital dan media sosial daripada seni tradisional seperti seni bayangan tangan.
Meski begitu, shadowgraphy masih memiliki penggemar setia yang menyukai keunikan dan keindahan dari karya-karya seni ini. Bahkan, seni bayangan tangan dapat menjadi inspirasi bagi para seniman untuk membuat karya-karya seni yang lebih inovatif dan kreatif.
Seniman seperti Amar Sen dan Sabyasachi Sen dari India misalnya, masih terus ikut mengembangkan seni pertunjukanshadowgraphy di era modern.
Mereka mengadakan tur lintas negara dan sering menggunakan benda-benda seperti topi, sapu, dan tongkat untuk membuat bayangan yang lebih kompleks.
Selain itu, mereka juga memanfaatkan cahaya dan suara untuk menambah dramatisasi dalam pertunjukannya. Penampilan mereka kerap menghibur dan menarik perhatian penonton dari segala usia.
Shadowgraphy memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh teknologi digital. Seni ini dapat dilakukan dengan sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang rumit.
Selain itu, seni bayangan tangan juga dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, sehingga dapat menjadi hiburan yang menyenangkan bagi siapa saja.
Sebuah buku tahun 1859 karya Henry Bursill berjudul “Hand Shadows to be thrown upon the wall" berisi ilustrasi hewan dan manusia untuk bayangan tangan. Buku ini berisi ilustrasi dan deskripsi langkah demi langkah tentang cara membuat berbagai bayangan tangan.
Bursill juga memberikan tips tentang cara mengatur tangan dan jari untuk menghasilkan bayangan yang jelas dan realistis.
Ia memberi banyak petunjuk langkah demi langkah tentang cara membuat bayangan tangan binatang seperti kelinci, anjing, jerapah, rusa, kuda, kambing, dan kepiting, serta burung seperti burung terbang, burung unta, dan angsa.
Di era modern ini, di mana teknologi semakin canggih dan permainan digital semakin populer, memainkan bayangan tangan saat mati lampu mungkin terlihat kuno dan kurang menarik.
Padahal ini adalah cara yang menyenangkan untuk menjalin ikatan dengan si kecil dan membangun kebersamaan untuk menaklukkan ketakutan akan kegelapan.
Jadi, jangan takut untuk mematikan lampu dan merangkul kegelapan dengan game sederhana ini.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Dwi Ayuningtyas