Menuju konten utama

Sesat Pikir Soal Obesitas Anak

Sebagian orang tua di Indonesia masih memiliki pola pikir Makin gemuk anak, makin sehat. Sedangkan obesitas pada anak sangat berbahaya. Sayangnya, tren obesitas anak di Indonesia terus meningkat. Meningkatnya obesitas anak ini tak lepas dari kemudahan akses makanan dari berbagai kelas masyarakat.

Sesat Pikir Soal Obesitas Anak
Bintang , berusia 15 bulan, adalah anak kelebihan berat badan untuk anak seusianya. FOTO/UNICEF EAPRO/Anneliese McAuliffe

tirto.id - Bintang, adalah bayi berusia 15 bulan yang tinggal di sebuah dusun kecil, di Pandes, Klaten, Jawa Tengah. Postur tubuh yang berbeda dengan rekan-rekan sebayanya. Sejak berusia enam bulan, berat badannya melonjak. Bintang pun dianggap memiliki kelebihan berat badan.

Ayahnya, Budianto, dan neneknya, Desi, merawat Bintang, sementara ibunya bekerja di sebuah toko pakaian lokal. Sang ayah merasa Bintang adalah Bayi yang sehat jika melihat grafik pertumbuhan berat badannya yang terlalu tinggi.

Saking sibuknya sang Ibu, Bintang hanya diberikan ASI sampai dia berusia dua bulan. Setelah itu, saban hari, Bintang hanya mengkonsumsi susu formula. Di umurnya yang semakin bertambah Bintang mengkonsumsi berbagai makanan, termasuk makanan olahahan yang tinggi gula dan lemak tinggi makanan ringan.

"Untuk snack, Bintang dikasih roti, biskuit, jelly dan wafer. Dia makan gampang banget. Kadang-kadang sebelum waktunya makan, dia sudah minta duluan," ucap sang Ayah, Budianto, seperti dikutip dari laporan UNICEF.

Sang nenek, Desi rutin membawa Bintang ke posyandu secara regular. Bintang ditimbang dan diukur seperti semua anak-anak di desa. Dia juga menerima suplemen vitamin A setiap enam bulan.

Meski begitu, Desi memilih untuk tak ikut ambil bagian dalam konseling kesehatan dan gizi yang disediakan oleh pemerintah. “Enggak perlu lah datang ke kelas itu. Toh saya berikan makanan dia sama seperti apa yang saya makan saat tumbuh dulu," katanya enteng.

Di tempat berbeda, Lucky Ardiana tergopoh-gopoh memaksa anaknya Atar agar bermain di luar rumah. Atar adalah gambaran anak-anak kecil masa kini, lebih mengisolasi dirinya di rumah menghabiskan waktu berjam-jam bermain gawai atau menonton televisi. Dia jarang bergerak dan berkeringat.

Umur Atar kurang dari 8 tahun, tetapi berat badannya sudah mencapai 50 kg. Dalam soal makanan, Atar tidak pilih-pilih. Tinggal di keluarga yang berada, segala macam makanan tersedia dengan mudah. Dia makan besar tiga kali sehari, ditambah cemilan yang beraneka ragam. Masalahnya, asupan kalori yang dia konsumsi tak dikonversi menjadi energi, sehingga tertimbun menjadi lemak.

Sang ibu sudah berusaha memaksanya ikut kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang membakar kalori, seperti olahraga taekwondo atau renang,. Namun, Atar hanya bertahan beberapa kali saja. Capek, katanya.

“Dia selama ini tidak pilih-pilih makanan, apa saja dimakan. Celana dia sekarang memakai ukuran nomor 34, karena lingkar perutnya yang besar. Seragam sekolahnya, kalau kakaknya bisa empat tahun baru ganti, kalau Atar ini baru dua bulan sudah harus ganti, karena dia tambah gede," keluh Lucky kepada VOAindonesia.

Tren Obesitas

Apa yang terjadi pada Bintang dan Atar adalah fenomena jamak anak-anak Indonesia saat ini. Bintang mewakili generasi balita dan Atar mewakil anak-anak dengan usia yang lebih tua.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada 2013, persentase obesitas anak di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Hampir 12 persen anak Indonesia mengalami obesitas. Jika dirinci lagi, dari 17 juta anak yang mengalami obesitas di ASEAN, hampir 7 jutanya berasal dari Indonesia. Angka ini hanya mencakup balita. Jika ditambah lagi dengan kisaran anak-anak berumur 5-10 tahun, angkanya mungkin semakin bertambah.

Angka 12 persen ini cukup mengejutkan karena naik berkali-kali lipat pada dekade 2000-an saja. Pada survei yang dilakukan tahun 2001, persentase obesitas pada anak Indonesia hanya 2 persen saja, kemudian naik 5 persen pada 2004 dan melonjak tajam jadi 11 persen pada 2007.

Kenaikan obesitas anak ini tak lepas dari kemudahan akses makanan oleh berbagai kelas masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik jadi sebabnya. Konklusi ini akan didapat jika kita membandingkan data pertumbuhan ekonomi dan akses terhadap makanan milik Organisasi Buruh International (ILO) dan angka obesitas anak milik WHO.

Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2013 memaparkan, tren kenaikan obesitas anak ini terjadi hampir di semua kelas sosial. Selisih persentase obesitas anak di antara keluarga kaya dan miskin hanya berselisih 3 persen saja, 15 persen berbanding 12 persen. Ini adalah penegas bahwa obesitas itu tak hanya terjadi di keluarga menengah ke atas saja.

Selain UNICEF dan Riskesdas, Departemen Gizi Universitas Gajah Mada sempat melakukan penelitian yang sama. Namun, untuk membaca tren dan pola obesitas anak di Indonesia secara lebih detail kita bisa merujuk penelitian yang baru-baru ini dilakukan Cut Novianti Rachmi.

Penyebab Obesitas

Dalam penelitiannya untuk mendapatkan gelar PhD di Univesitas Sidney, Novianti menganalisa obesitas anak dari sudut padang statistik. Komponen angka yang dpakai tak semata dari data si anak, melainkan juga data, umur, antropometri, ekonomi, pendidikan, dan lokasi tempat tinggal si orang tua.

Analisa ini muncul setelah dia mengolah data sekunder dari Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI). Survei ini adalah survei longitudinal rumah tangga yang paling komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia.

Survei ini adalah sebuah studi panel rumah tangga, individu, dan survei masyarakat terintegrasi yang berlangsung selama lima gelombang sejak 1993. Data yang dipakai analisa oleh Novianti terbagi jadi empat gelombang: tahun 1993, 1997, 2000, dan 2007.

Dari hasil pengolahan angka-angka itu didapat kesimpulan, obesitas anak di Indonesia berhubungan erat dengan kegemukan dan pendidikan orang tua. Jika orang tuanya gemuk, kans anaknya untuk gemuk semakin besar. “Penelitian saya membuktikan bahwa berat badan orang tua akan berpengaruh terhadap anak. Untuk kans persentasenya saya enggak ada. Namun, data di lapangan membuktikan hal itu,” jelasnya kepada Tirto.id.

“Coba saja perhatikan setiap anak gemuk, satu di antara ayah atau ibunya pasti gemuk,” tambahnya.

Memang betul ada faktor gen gemuk yang akan ditularkan dari orang tua ke anak, dan banyak penelitian biometrik dengan analisa sampel darah yang membuktikan itu. Namun, faktor pola hiduplah yang jadi penular cepat itu.

Dalam penelitian itu juga ditemukan bahwa faktor berat badan orang tua berpengaruh terhadap pola makan yang diajarkan kepada anak. Pola hidup dan makan orang tua gemuk selalu ditularkan kepada anak-anaknya.

Lantas ada satu sesat pikir yang melanda para orang tua di Indonesia saat ini : bayi gemuk adalah bayi sehat, makin dia gemuk makin dia sehat. “Paper saya bilang, anak gemuk punya konsekuensi di masa yang akan datang."

"Anak yang gemuk di usia 2-5 tahun, kemungkinannya akan lebih besar gemuk di usia remaja. Dan remaja yang gemuk, kemungkinannya tetap gemuk ketika dia dewasa. Dan kalau gemuk dewasa, kemungkinannya akan melahirkan anak yang gemuk lagi. Terus saja berentetan."

Probabilitas kegemukan sama muncul terkait dengan tinggi tingkat pendidikan orang tua. Semakin tinggi jenjang pendidikan formal yang ditempuh otomatis, semakin besar pula kesempatan mendapat hidup yang layak. Otomatis semakin besar pula akses terhadap makanan.

Bagaimana dengan angka obesitas kelas ekonomi bawah yang juga sama banyaknya dengan kelas menengah atas? Terkait hal ini, Novianti memaparkan bahwa penyebab tingginya angka itu disebabkan asupan makanan tak sehat yang dikonsumsi.

“Orang miskin memang tak mampu membeli daging, ayam atau ikan. Namun, berarti mereka berhenti makan bukan? Mereka akan mencari makanan apapun agar bisa menghilangkan rasa lapar termasuk mengkonsumsi makanan tidak sehat seperti gorengan atau snack. Yang penting bikin kenyang aja,” jelasnya.

“Mereka memberikan makanan banyak konsumsi tinggi energi tapi kurang zat mikronutrien. Akhirnya jadi tertimbun dan mampet di tubuh sang anak,” imbuh Novianti.

Obesitas yang melanda anak-anak otomatis membuat angka harapan hidup menipis. Wajar jika seorang ahli kesehatan dari Meksiko, Dr. Francisco Gallegos mengatakan: “Generasi anak-anak saat ini banyak yang akan mati sebelum orang tua mereka akibat komplikasi obesitas.”

“Penelitian saya ini jadi penting, karena kemungkinan besar 12 persen anak di Indonesia berisiko untuk terkena penyakit jantung, hipertensi, stroke dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kardiovaskular di masa depan,” ucap Novianti lagi.

Masalah obesitas ini harusnya jadi perhatian khusus sama seperti kekurangan gizi yang menimpa anak-anak lainnya. Pemerintah dinilai belum peka akan hal ini. Informasi bahaya obesitas pada anak belum tersebar secara luas pada para orang tua.

Untungnya, penanganan obesitas ini tak terkait dengan faktor ekonomi seperti kekurangan gizi yang berkaitan langsung dengan kemiskinan. Penanganan obesitas harus dimulai dari pengawasan asupan makanan di lingkungan keluarga. “Harus disampaikan kepada orang tua, bagaimana caranya agar beri makan supaya gak kurang gizi tapi jangan terlalu banyak beri makan agar tak jadi gemuk,” kata Novianti.

Satu langkah termudah mencegah anak mengalami obesitas adalah memaksanya untuk bermain di luar, ketimbang aktivitas pasif menonton TV atau bermain game di dalam rumah.

Baca juga artikel terkait OBESITAS atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti