Menuju konten utama

Serba-serbi Kuliner Minang dalam Catatan Eksplorer Eropa

Sejak zaman kolonial, kuliner Minang telah menjadi bahasan eksplorer Eropa. Banyak yang bertahan dan mudah dijumpai hingga kini.

Serba-serbi Kuliner Minang dalam Catatan Eksplorer Eropa
Header Mozaik Kuliner Minang. tirto.id/Ecun

tirto.id - Beberapa kuliner Sumatera Barat, di antaranya nasi padang dan nasi kapau, memiliki banyak penggemar di Indonesia dan bahkan mancanegara. Kenikmatan dendeng dan empuknya rendang, lezatnya sambalado dan gulai cancang, gurihnya gulai paku dan tambunsu, enaknya sate dan soto padang, atau legitnya bubur kampiun dan lamang tapai seakan tak putus menggugah selera.

Dan itu semua barulah sebagian kecil dari kelimpahan ragam kuliner Sumatera Barat.

Pun menggali sejarah lampau kuliner Minang bukanlah perkara mudah. Pasalnya, sumber tertulis lokal dari era sebelum Indonesia merdeka tergolong minim. Namun, itu bukan berarti penelusuran menjadi mustahil.

Salah satu cara sederhana adalah menilik literatur tradisional atau folklor Minangkabau, seperti kaba, pantun, tambo dan pepatah-petitih. Bisa pula dengan berserius menguliti isi sumber tertulis dalam bahasa-bahasa Eropa tentang Sumatera Barat semenjak sekira abad ke-17 hingga abad ke-19.

Catatan-catatan tentang Kuliner

Di awal abad ke-19, William Marsden menyusun A Dictionary of the Malayan Language. Naskah yang akhirnya terbit pada 1812 itu memuat sejumlah kata yang berkait dengan kuliner dan istilah-istilah bahasa Minang.

Dalam kamus itu, kata “randang muncul lima kali dengan arti “memanggang (to fry) pada wadah di atas api”. Ia juga bersinonim dengan “goring” (goreng). Ada juga kata “gulei”, “kliyu” (kalio), “dadar”, “apam”, “pulut”, dan “lamang”.

Marsden juga menerangkan bahwa “gulei” (curry) sebagai masakan universal kaum Melayu yang mendapat pengaruh India (indian stew).

Selain kamus bikinan Marsden, ada pula Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra's Westkust, Gedurende de Jaren 1831-1834 (1841) karya J.C. Boelhouwer yang mencatat pengalamannya mengikuti jamuan makan ala Minangkabau.

Ketika bertugas sebagai komandan militer, Boelhouwer diundang ke Pakandangan untuk menghadiri jamuan makan yang diadakan oleh sejumlah penghulu. Acara itu dihadiri sekira 600-an orang.

Dalam jamuan itu, Boelhouwer bercerita, makanan dibentangkan pada tikar-tikar. Salah satu menu yang menarik perhatiannya adalah gulai berbahan daging kerbau. Boelhouwer bercerita betapa kikuknya dia menggunakan jari-jari untuk makan demi menghormati kaum pribumi.

Di kesempatan lain, dia diundang makan pagi di Pariaman dengan menu nasi yang lezat dengan gulai (karrij), sambal goring, ayam, serta telur. Karena itu merupakan pertemuan dengan orang-orang penting, kita bisa berasumsi makanan yang dihidangkan adalah kuliner setempat yang terbaik.

Hidangan-hidangan itu sangat berbeda daripada diet keseharian tentara Hindia Belanda yang dikeluhkan sang komandan ketika di Padang, yakni ikan asin, nasi dan roti keras.

Kata randang juga muncul dalam himpunan cerita dari pedalaman Minangkabau yang dihimpun Johannes Ludovicus van der Toorn pada 1850, Verscheidene Verhalen omtrent het Bijgeloof van de Maleiers in het Land Minangkabau.

Monograf van der Toorn itu memuat kisah seorang pertapa yang meminta ilmu dari jin. Untuk memuluskan niatnya, dia menebar bareh randang (beras rendang) di sekeliling tempat semedinya sebagai makanan jin dan setan.

Lain itu, van der Toorn juga menyusun sebuah kamus Minang yang mencatat beberapa kosakata kuliner, di antaranya ramuan ilmu hitam Minang. Salah satunya adalah tjiri’ barandang (tahi yang direndang) yang digunakan sebagai pekasih.

Kebiasaan Makan

A.W.P. Verkerk Pistorius, Kontrolir Distrik VII Kota Sijunjung dan Puar Datar (1864-1868), menulis kebiasaan makan orang-orang pedalaman Minangkabau. Dalam Studien over de Inlandsche Huishouding in de Padangsche Bovenlanden (1871), Pistorius menyebut kebiasaan lelaki Minangkabau sarapan dengan nasi dan kopi, lanjut merokok daun barang sebentar sebelum ke sawah atau ladang.

Siangnya, dia makan dengan menu nasi, gulai, garam, ikan asin, dan wajib dengan sambal. Makan malam sekitar jam tujuh dengan menu yang sama, diteruskan mengopi dan merokok.

Menurut Pistorius, orang Minang jarang mengonsumsi daging sapi dan ayam selain pada kesempatan pesta. Dalam jamuan adat yang mengundang banyak orang, pahar dan talam digunakan untuk menaruh menu. Pahar adalah nampan besar berkaki dari kuningan, sementara talam adalah baki tembaga bulat tempat meletakkan mangkuk-mangkuk berisi lauk pauk dan sambal.

Selain dua itu, ada juga cawan patambuhan, cerek air, dan kobokan. Mangkuk potongan daging terpisah dengan cawan kuah kari. Hidangan itu diletakkan di hadapan beberapa orang yang mencomotnya langsung bersama-sama dengan tangan masing-masing.

Lain lagi pengalaman Marius Buys, Pendeta Protestan Belanda yang berkelana dua tahun keliling Sumbar pada 1878-1879. Dalam Twee Jaren op Sumatra’s Westkust (1886), Pendeta Buys menceritakan jamuan makan di Bonjol yang dihadiri para pemuka pribumi dan pejabat Belanda. Dia sangat kagum dengan kuantitas dan keragaman menu yang dihidangkan, seperti daging kerbau, sapi, ikan kecil dan besar, masakan ayam dan itik, aneka masakan lidah dan hati, ditambah macam-macam sayuran dan sambal yang menggugah selera.

Setelah makan-makan, hadirin disuguhi dengan pertunjukan pencak silat berjam-jam dari berbagai kampung. Sang pendeta terpesona dengan nuansa Eropa dalam perjamuan: sebagian tamu duduk di kursi dan disediakannya wijn (anggur) dan bahkan saling toast.

Tempat makan para pribumi (eetwinkeltjes) pada masa itu adalah lapau yang ada di mana-mana. Sang pendeta mengatakan bahwa di sana dijual nasi dalam bungkusan daun pisang, ikan asin, pisang goreng yang hanya seharga 3 atau 4 sen.

Sejumlah masakan Minang juga disebut dalam karya kolosal Midden-Sumatra, khususnya bagian yang ditulis Kontrolir A.L. van Hasselt. Dia juga merupakan salah satu anggota ekspedisi di pedalaman Minangkabau selama 1873-1877.

Midden-Sumatra menyuguhkan gambar-gambar lukisan peralatan memasak orang Minang zaman itu, seperti berbagai macam sendok (sanduaq nasi, sanduaq kadang), koeali, kantjah, cerek, kendi, alat minum (laboe karambie), pinggan (piring), tjawan (mangkuk).

Van Hasselt menyebut juga tentang bahan-bahan yang biasa dimasak, seperti buah pitulo (oyong), lado (cabe), buah pario (paria), taruang sirah (terong merah), dan 139 varietas padi yang ditanam di Minangkabau. Ada pula galamai, kawah daoen (kopi daun), nasi lamaq (nasi lemak), telur itik asin tak lupa muncul dalam tulisannya.

Serbaneka Menu

Yang lebih mendetail mengidentifikasi kuliner Minang di abad ke-19 adalah pakar bahasa J.L. van der Toorn. Selain karya yang sudah disebut sebelumnya, van der Toorn juga menyusun Minangkabausch-Maleisch-Nederlandsch Woordenboek (1891). Dalam monografi ini, dia menjelaskan lebih terang tentang kuliner yang sebelumnya hanya disebut samar-samar.

Misalnya, dia menjelaskan samba yang merupakan sebutan orang Minang untuk aneka lauk pauk teman makan nasi. Kemudian, samba randang dia artikan sebagai makanan dari potongan-potongan daging yang dimasak dengan parutan kelapa. Samba lado disebutnya cabe yang digiling dengan bawang dan garam.

Lucunya, ada juga istilah samba palik (sambal pelit), yakni sambal yang hanya bisa diambil dengan ujung-ujung jari.

Kata dendeng juga muncul di sini, yakni dendeng ragi, sayatan-sayatan daging yang dimasak dengan santan kelapa. Kalio disebut sebagai makanan dari potongan-potongan daging yang dimasak dengan garam dan lada.

Goelai (masakan berkuah) berikut bumbu-bumbu dan variasinya dicatat juga, misalnya goelai tjangkoeak, goelai raboeang, goelai pakoe dan goelai laboe. Ada juga pangek dengan jenisnya pangek masin. Semua makanan tersebut dengan mudah akan Anda jumpai dalam hidangan rumah makan Padang masa kini.

Makanan ringan orang Minang (djoeadah atau pangatjok)--yang jika dipesan akan membuat orang Minang masa kini keheranan karena kurang dikenal lagi—juga “diabsen” oleh van der Toorn. Di antaranya oleng, basoeang, doemajang, koee ranggah hayam, sarang bareh, pasoeang, pipang, boeah koebang, tangkoeroeang dan limpieng.

Namun, banyak juga kudapan yang masih gampang ditemukan di masa kini: bika, kipang, ajik, apam, ondeh-ondeh, rakik, sala, paruik-paruik hayam, godok, lapek, kareh-kareh, kue sapik dan lompong sagoe.

Daftar van der Toorn juga mencakup Kerupuk (karoepoea’) yang terbuat dari kulit kerbau dan sapi. Lamang sebagai beras yang dimasak dengan santan dalam potongan bambu, dengan variasinya lamang golek.

Kacang ada katjang goreng dan katjang randang. Kemudian sapek, bada, bada tenggiri di antaranya jenis ikan asin yang ditemui. Taleh (talas) dimakan pula oleh pribumi, seperti juga koedjoea, pario dan patai.

Kemudian, anyang, yakni selada Minang dari aneka putik buah dan dedaunan mentah yang diramu dengan garam dan lada. Ada juga nama hidangan yang kian jarang terdengar, yaitu koeraboe (makanan dari buah-buahan) dan kapareh (masakan ikan dipanggang dengan rempah-rempah).

Yang unik dalam kebudayaan Minangkabau, makanan biasa dijadikan kiasan dalam karya sastra. Van der Toorn tentu juga mendata semuanya dalam karya yang sama. Misalnya, “mambali nak pelo, mamakan nak lamang” yang menjadi kiasan bagi orang yang tidak mampu tapi banyak keinginan.

Atau “kecek bak bunyi marandang kacang” (berkata-kata seperti kacang direndang) yang bermakna banyak bicara. Dan orang yang kehabisan tenaga dikiaskan bagai “batang taleh digulai”. Juga ada kiasan bagi orang yang memikul akibat dari kesalahan orang lain, yaitu “manyandang lamang angek urang”.

Infografik Mozaik Kuliner Minang

Infografik Mozaik Kuliner Minang. tirto.id/Ecun

Selain dalam bahasa Inggris dan Belanda, pembahasan kuliner Minang abad ke-19 juga tersedia dalam bahasa Jerman, di antaranya Aus dem Reich von Insulinde: Sumatra und der malaiische Archipel (1891) karya geolog Dr. Emil Carthaus yang berkunjung ke Pantai Barat Sumatra pada 1888-1889.

Dalam buku ini, sang penulis mengatakan bahwa kaum pribumi di sana sehari-hari makan dengan menu sederhana “yang itu-itu saja”, baik di pagi, siang dan malam. Menu sederhana yang dimaksud di antaranya nasi, sambal (Lombok-Pfeffer), dan ikan asin sebagai teman, berikut sajor berbagai dedaunan.

Masyarakat Minangkabau pun sudah biasa menanam kentang, aneka kol, bawang, selada, kacang-kacang, aneka ubi dan cabe, serta sejumlah tanaman asal Eropa, baik untuk konsumsi orang Eropa di sana maupun pribumi itu sendiri. Carthaus menyebut orang Minangkabau jarang makan daging, meski ayam dan itik sangat mudah diternakkan.

Karena nutrisi yang dianggap simpel dan jauh di bawah standar Eropa ini, katanya, kaum pribumi umumnya kurang energik.

Lebih lanjut, Carthaus mengatakan bahwa aneka ikan paling banyak dikonsumsi di kawasan pantai, termasuk beragam kepiting, kerang, dan cumi. Namun, teripang yang oleh orang Cina sangat digemari dan melimpah di antara koral-koral, sama sekali tidak disukai masyarakat pribumi.

Kalau minuman, kopilah yang paling favorit, meski sebagian kalangan mulai menyukai ajer-Blanda—jus dari tebu dan lemon yang foamy. Es yang kian digemari bangsa Eropa serta disebut ajer-batoe masih kurang dikenal luas dan bahkan menjadi objek kesalahpahaman.

Memasuki awal abad ke-20, kuliner Minangkabau makin populer melalui media massa Soenting Melajoe. Informasi lain tentang berbagai aspek masyarakat dan budaya Minang dalam bahasa-bahasa Eropa di mula abad tersebut pun lebih beragam dibanding abad sebelumnya. Hal itu membantu ekspos Sumatera Barat ke dunia luar.

Kemasyhuran kuliner Minang kemudian bertalian dengan ketenaran alamnya, keistimewaan arsitektur tradisional, keunikan adat matrilineal, dan produk-produk kerajinan tenun, emas dan peraknya. Sejalan pula dengan perantauan kaum cendekia maupun para pencari peruntungan Minang ke seluruh Nusantara.

Maka popularitas kuliner Minang sejatinya tidak berdiri sendiri, tapi ditopang oleh berbagai faktor dan diusahakan oleh berbagai pihak.

Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Fadrik Aziz Firdausi