tirto.id - Penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), salah satu program pemerintah untuk meminimalisasi dampak COVID-19, masih jauh dari 100 persen ketika tahun 2020 tinggal satu bulan lebih beberapa hari saja. Per 11 November lalu, realisasinya mandek di angka 55,5 persen.
Pemerintah pun berjibaku membongkar pasang anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam rapat dengar pendapat Komisi XI DPR RI, Kamis (12/11/2020) lalu, telah meminta tiap kementerian/lembaga merealokasi anggaran yang masih tak terpakai. Alasannya sederhana: belanja pemerintah masih jadi penentu tren positif pertumbuhan ekonomi terutama pada Q4 2020.
Di pos kesehatan, pemerintah membuat alokasi bagi cadangan penanganan COVID-19 dan vaksin senilai Rp5 triliun. Lalu muncul cadangan program vaksinasi dan perlindungan sosial senilai Rp29,23 triliun. Di pos ini ada sejumlah belanja yang dipangkas, yaitu penanganan COVID-19 senilai Rp20,57 triliun, santunan nakes Rp240 miliar, dan insentif perpajakan bidang kesehatan Rp5,56 triliun.
Di luar vaksin, pemerintah juga memasukkan kebutuhan anggaran terkait program lainnya ke dalam alokasi PEN. Salah satu yang paling kentara adalah munculnya anggaran pembiayaan Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang diberi nama Nusantara Authorithy Investment (NAI) senilai Rp15 triliun.
Di pos insentif usaha, pemerintah membentuk alokasi baru bernama 'Insentif Usaha Lainnya'. Deskripsinya mencantumkan pembagian Pajak Ditanggung Pemerintah (P-DTP) senilai Rp34,88 triliun dan SF Pajak dengan alokasi Rp12,40 triliun. Pos ini merupakan bantalan untuk menutup penerimaan pajak 2020 yang anjlok.
Di pos sektoral/pemda, pemerintah menambahkan proyek food estate untuk mendapat alokasi Rp4,54 triliun dari PEN. Lalu ada juga alokasi 'Komunikasi Publik PEN Kominfo' senilai Rp320 miliar yang belum diketahui peruntukannya.
Selain itu, ada sejumlah tambahan yang sudah lebih dulu diteken dan dieksekusi. Antara lain subsidi gaji pekerja dan tenaga pendidikan Rp34,87 triliun, Bantuan Presiden Produktif UMKM Rp28,81 triliun, sampai bantuan subsidi kuota pendidik-tenaga kependidikan di Kemendikbud dan Kemenag Rp6,66 triliun.
Menurut data Kemenkeu, per 11 November, pemerintah sudah memangkas anggaran PEN di pos bantuan UMKM senilai Rp8,66 triliun sehingga jumlahnya turun dari Rp123,47 menjadi Rp114,81 triliun. Sektoral/pemda juga dipangkas Rp40,08 triliun sehingga jumlahnya turun dari Rp106,05 ke Rp65,97 triliun.
Sisa anggaran ini dialihkan. Perlindungan sosial dapat alokasi paling banyak, Rp30,42 triliun, sehingga totalnya naik dari Rp203,91 menjadi Rp234,33 triliun. Kemudian pos kesehatan mendapat Rp9,71 triliun sehingga bertambah dari Rp87,55 menjadi Rp97,26 triliun. Pembiayaan korporasi juga ditambah Rp8,65 triliun sehingga meningkat dari Rp53,57 menjadi Rp62,22 triliun.
Hingga 11 November, realisasi PEN baru mencapai 35,26% untuk kesehatan, 77,9% perlindungan sosial, 49,9% sektoral/pemda, 83,29% bantuan UMKM, 3,21% pembiayaan korporasi dan 32,04% insentif usaha.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan perombakan hingga pengujung tahun memberi kesan penyusunan dilakukan amburadul. Muncul kesan para pembantu Presiden kurang mampu bahkan bingung menyusun program. Menurut Misbah, mereka wajib dievaluasi.
“Menteri yang tidak perform mustinya harus segera di-reshuffle, diganti yang lebih progresif,” ucap Misbah kepada reporter Tirto, Kamis (19/11/2020) lalu.
Besarnya anggaran yang harus dibongkar pasang di sisa 1,5 bulan ini juga menunjukkan tabiat birokrasi yang belum berubah, katanya. Mereka cenderung menumpuk kegiatan di akhir tahun padahal Indonesia dilanda darurat COVID-19.
Selain itu, menurutnya realokasi dadakan dan besar-besaran ini pantas mendapat perhatian dan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman bilang idealnya di bulan November itu realisasi belanja sudah menyentuh posisi 80 persen. Tanpa itu, sulit berharap percepatan dan realokasi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara maksimal.
Kalaupun sudah dipercepat, pemerintah dituntut untuk memastikan penyalurannya tepat sasaran. Jika sekadar menggenjot penyaluran, maka menurutnya akan percuma. Di Q4 ini, seburuk-buruknya pertumbuhan bisa hanya mentok di kontraksi 3 persen dan tahun 2020 kontraksi 1,3 persen.
“Kalau orientasinya hanya penyerapan anggaran, ya, sulit karena bukan meningkatkan produktivitas sektoral-masyarakat. Jadi bisa sia-sia,” ucap Taufik kepada reporter Tirto, Kamis.
Menkeu Sri Mulyani tahu bakal muncul persepsi seperti itu. Ia pun meminta masyarakat memahami kalau penyusunan anggaran memang tak mudah. Selama perencanaan, ada sejumlah kendala yang dihadapi mulai dari harus bekerja dari rumah, jangka waktu relatif singkat, dan kurangnya data seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk penyaluran bansos yang tak diperbarui sejak 2015
Angka-angka yang dicantumkan juga diakui akan berubah seiring evaluasi dan perkembangan situasi. Sri Mulyani bilang, “tidak mungkin membuat sebuah policy terus tiba-tiba fix sementara tantangannya terus bergerak.”
Untuk menjaga akuntabilitas, pemerintah menurutnya telah melibatkan aparat penegak hukum, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga BPK. Mereka melakukan pengawasan dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.
“Tidak ada ‘mumpung lagi krisis, emergency, semua kemudian dihalalkan’. Kami undang semua supaya diawasi dan mendapat feedback cepat,” ucap Sri Mulyani dalam kuliah umum bertajuk Kebijakan Keuangan dan Pengawasannya dalam Mengatasi Pandemi COVID-19, Rabu (18/11/2020) lalu.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino