tirto.id - Status Portugal pada Piala Dunia 2018 bukan lagi kuda hitam. Mereka tampil di Rusia dengan status sebagai juara Eropa.
Di gelaran Piala Eropa 2016 lalu, Portugal memang juaranya. Meski begitu, status ini tetap membuat sang pelatih Fernando Santos bersikap inferior. Tak peduli ada pemain terbaik dunia Cristiano Ronaldo sekalipun, Santos tetap mengakui timnya bukanlah favorit pemenang Piala Dunia.
"Bagi saya, favorit adalah Brasil, Jerman, Spanyol, Argentina, dan Prancis," ucap Santos dikutip dari situs resmi FIFA. “Saya mengatakan ini karena kekuatan luar biasa yang mereka miliki dan kualitas luar biasa dari tim mereka, di samping pengalaman dan kesuksesan mereka di event besar," ucapnya. “Kami tahu bahwa kami bukan favorit dan kami menerima favoritisme dari tim lain, tetapi itu tidak berarti kami tidak memiliki ambisi dan tujuan yang jelas untuk menang dalam setiap pertandingan."
Pada babak kualifikasi, Portugal berada di grup ringan bersama Hungaria, Latvia, Kepulauan Faroe dan Andorra. Kompetitor terberat mereka hanya Swiss. Namun tim berjuluk Selecção das Quinas hampir saja tak lolos secara langsung saat mereka ditekuk Swiss 1-0 pada September 2016.
Untungnya di akhir klasemen, Portugal unggul selisih gol. Meski sama-sama mendulang poin sama, 27 poin, mereka langsung lolos ke Rusia tanpa harus melalui fase play-off. Dengan lawan begitu enteng, Portugal rupanya masih cukup keteteran, walau secara umum mereka mampu mencetak 32 gol dan hanya kebobolan 4 gol.
Hasil di kualifikasi tak bisa jadi patokan seberapa besar kekuatan Portugal saat ini. Pasalnya, sejak 2017 lalu, Portugal amat jarang melakukan ujicoba dengan tim-tim kuat. Sejak juara Piala Eropa 2016 lalu hingga sekarang Portugal tercatat baru melakoni enam laga persahabatan. Itu pun hanya Swedia dan Belgia yang relatif sepadan kemampuannya. Sisanya menghadapi lawan yang secara kualitas di bawah mereka, seperti Mesir, Siprus, Arab Saudi dan Tunisia.
Dan hasilnya pun tidak maksimal. Ronaldo cs., memang mampu membantai Arab Saudi dan Siprus dengan skor lebih dari tiga gol. Namun saat bejumpa Mesir dan Tunisia, mereka kepayahan dan hanya bisa meraih hasil imbang.
Nuno Travassos, kolumnis sepakbola di Maisfutebol, menyebut dua tahun setelah kemenangan di Prancis, Portugal memiliki masalah dalam sektor pertahanan. Mereka punya masalah di bek tengah yang gagal memberikan jaminan keamanan yang sama seperti saat mereka tampil di Euro 2016.
Santos kesulitan mencari alternatif bek yang sepadan untuk menemani Pepe. Pensiunnya Ricardo Carvalho dari timnas, ditambah buruknya penampilan Jose Fonte di klub West Ham serta Bruno Alves di Glasgow Rangers, membuat Santos bereksperimen dengan pemain-pemain baru, salah satunya bek Benfica Rúben Dias yang dipanggil akhir Mei lalu.
Meski begitu, Santos tampaknya tetap akan menduetkan Pepe dan Alves di lini belakang. Masalahnya adalah kedua pemain ini sudah kelewat uzur dengan kondisi fisik tidak ideal. Pepe berusia 35 tahun dan Bruno Alves, berusia 36 tahun. Namun, di kompetisi berbentuk turnamen seperti Piala Dunia, usia bukanlah penentu utama sebab pengalaman dan mental jadi hal terpenting.
Pepe dan Alves tak akan terlalu kepayahan jika mereka terlindungi dengan baik oleh para gelandang yang mau bersusah payah. Itulah kenapa Santos lebih cenderung memakai formasi 4-4-2 dengan menyimpan empat gelandang di depan dua bek tengah.
Dua gelandang yang biasa dipakai Santos di depan bek tengah adalah William Carvalho dan Joao Moutinho. Gaya Carvalho adalah seorang gelandang bertahan. Sedangkan Moutinho meski sering diplot sebagai gelandang serang, ia pun mampu tampil baik saat diplot jadi gelandang bertahan. Di klubnya yaitu Sporting Lisbon dan AS Monaco, Carvalho dan Moutinho diplot sebagai gelandang box-to-box. Rapuhnya bek akan disiasati Santos dengan formasi 4-4-2, lebih tepatnya lagi: memasang dua gelandang bertipe box-to-box untuk menjaga kedalaman.
Dalam konteks menyerang, preferensi Santos terhadap formasi 4-4-2 sebetulnya akan dipraktikkan menjadi formasi berlian 4-1-3-2, dengan Moutinho yang naik sejajar dengan Bernardo Silva atau Joao Mario. Bintang baru mesti disorot di lini tengah ini adalah Bernardo Silva.
Di Manchester City, pemain berumur 23 tahun ini sering diposisikan oleh Guardiola untuk bermain melebar dalam skema front-three lewat formasi 4-3-3. Namun di timnas ia akan bermain lebih mundur berkutat di lini tengah yang lebih sempit. Bagi Silva ini tak ada masalah, sebab dalam babak kualifikasi lalu, dengan peran yang lebih ke belakang, ia mampu mencetak tiga assisst dalam lima laga terakhir.
Santos mengakui bahwa untuk lolos ke fase knock-out ia membutuhkan 11 pemain yang bermain optimal. Meski begitu, ia tak menyangkal dari 11 pemain itu, Ronaldo akan menjadi pusat taktiknya.
"Cristiano sangat penting di tim mana pun," ucap Santos yang pernah membawa Yunani ke babak 16 Besar Piala Dunia 2014. "Ini terjadi di Manchester United dan Real Madrid. Dan kedua klub ini adalah dua tim terbaik dunia."
“Jelas pemain terbaik di dunia adalah elemen yang sangat fundamental dalam strategi tim mana pun, tetapi semua orang tahu bahwa untuk menang kita harus memiliki tim dan bermain sebagai tim. Dia telah menunjukkan komitmen ini, semangat pengorbanan dan dedikasi, dan rekan satu timnya merasa lebih termotivasi oleh teladannya," tukasnya.
Kolumnis J.J Bull dalam artikelnya di Telegraph menyebut pakem Portugal dalam dua tahun terakhir mirip seperti Leicester City saat memenangkan Liga Inggris pada 2016 lalu. Dan Ronaldo akan menjadi penting saat Portugal menyerang.
Kata dia, Portugal hampir selalu berbaris 4-4-2. Dalam konteks bertahan, portugal selalu memainkan garis pertahanan yang mendalam dan hanya benar-benar menekan jika lawan sudah menggiring bola masuk ke setengah lapang area mereka. Empat gelandang dan empat bek akan memblok lawan dan memaksa lawan bermain ke sayap hingga paling mentok lawan hanya akan melancarkan crossing. Jika lawan berhasil dipaksa melakukan crossing, Pepe dan Alves dengan senang hati berduel dengan para striker lawan.
Bek-bek ini pula yang yang menjadi kunci untuk memulai serangan dengan membuang bola lewat umpan-umpan lambung yang kemudian disambut gelandang yang bermain melebar serta dua striker yang selalu bermain tinggi. Dengan cara itulah serangan balik Portugal dilakukan. Di sinilah, kecepatan yang dimiliki oleh Andrea Silva dan Ronaldo sebagai duet di lini depan sangat strategis.
Dalam beberapa turnamen, misal seperti Euro 2016 lalu, tim yang paling defensif cenderung mendapat kemenangan. Misalnya seperti Islandia, Irlandia Utara dan Portugal.
Bull menulis, masih dalam kolomnya di Telegraph, dengan tak terlalu aktif menyerang maka Portugal mencoba memastikan mereka tidak terlalu rentan saat menghadapi serangan balik. Sebab serangan balik yang mereka lakukan sering dilakukan oleh pemain tunggal. Itu artinya seluruh tim dapat dengan nyaman bergeser ke depan tanpa harus repot-repot melakukan transisi dari bentuk pertahanan jadi bermain terbuka.
Pakem ini memang sangat sederhana, tidak menarik bagi penonton, namun sering menyulitkan lawan. Untuk juara, Portugal membutuhkan konsistensi dan konsentrasi di setiap menit dan detik dan pertandingan. Namun setidaknya dengan sistem ini mereka akan sangat sulit dikalahkan. Termasuk saat nanti melawan Spanyol di laga perdana Grup B.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan