tirto.id - Raut wajah Wakil Presiden Jusuf Kalla tampak sumringah. Senyum tersimpul di sudut bibirnya kala ia bertemu dengan Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS), Jumat (30/11) lalu, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Buenos Aires, Argentina.
Antara melaporkan, di antara topik yang dibahas keduanya adalah perkembangan investasi Saudi untuk membangun sebuah kilang minyak di Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia.
“Kita kan sudah ada perjanjian untuk membangun kilang minyak di Cilacap, investasinya cukup besar sekitar 6 miliar dolar (sekitar Rp85,5 trililun). Mereka minta dipercepat untuk dimulainya,” jelas Kalla dalam keterangan resminya.
Selain percepatan, Pangeran Salman juga meminta penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja dan pertukaran teknologi terkait proyek kilang tersebut. Masih dalam pertemuan yang sama, MBS memberikan penjelasan terkait kasus kematian jurnalis asal Saudi, Jamal Khashoggi. Kalla mengatakan, saat ini proses hukum masih berjalan dan sejauh ini sudah ada 11 orang yang ditangkap kepolisian.
Saudi memang menjadi salah satu negara yang masuk dalam agenda pertemuan bilateral Indonesia di KTT tersebut selain Turki, sebuah indikasi bahwa Indonesia tengah berusaha mempererat hubungan diplomatik kedua negara sekaligus menempatkan kerajaan tersebut sebagai salah satu rekan penting dalam kebijakan luar negeri.
Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel bahkan menyebut bahwa hubungan diplomatik antara kedua negara adalah sebuah takdir.
Tidak bisa dipungkiri, kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud pada awal tahun 2017 lalu ke Indonesia menjadi salah satu pemicunya. Kunjungan tersebut memang membuahkan sejumlah poin kerjasama melalui penandatanganan 10 nota kesepahaman di berbagai sektor. Beberapa di antaranya adalah pembiayaan proyek pembangunan, pendidikan, hingga kelautan dan perikanan.
Kerjasama kedua negara terus diperluas. Pada Kamis (29/11) lalu, misalnya, Indonesia dan Saudi baru saja menandatangani nota kerjasama tentang investigasi kecelakaan penerbangan yang mencakup penawaran bantuan dan penggunaan tenaga investasi keselamatan angkutan udara, serta fasilitas dan peralatan yang dinilai tepat.
Hubungan yang Timpang?
Kendati demikian, jika ditilik secara menyeluruh, hubungan Saudi dengan Indonesia timpang sejak lama. Salah satunya bisa dilihat dari neraca perdagangan antara kedua negara.
Sejak 2013 hingga tahun 2017 neraca perdagangan Indonesia-Saudi selalu defisit. Menurut data dari Kementerian Perdagangan, pada 2013, Indonesia mengalami defisit sebesar 4,8 miliar dolar AS. Defisit itu sempat membaik ke angka 1,36 miliar dolar AS pada 2015. Namun, pada 2017, defisit neraca perdagangan Indonesia kembali melebar mencapai angka 1,78 miliar dolar AS.
Jika dilihat sekilas, kondisi neraca perdagangan tersebut seolah membaik. Namun, perlu dicatat, secara keseluruhan nilai perdagangan kedua negara pada periode tersebut memang menurun. Jika pada 2013 nilai perdagangan Indonesia dengan Saudi mencapai 8,26 miliar dolar AS, maka pada 2017 nilai perdagangan kedua negara hanya sekitar separuhnya, yakni 4,5 miliar dolar AS.
Jika merujuk pada data dari Kementerian Perdagangan tersebut, tampak bahwa defisit tercipta karena Arab Saudi menikmati surplus luar biasa dari ekspor komoditas minyak dan gas ke Indonesia. Surplus tersebut mencapai angka 2,75 miliar dolar AS pada 2015, 2 miliar pada 2016 dan 2,36 miliar pada 2017. Sementara itu, Indonesia hanya menikmati surplus dari ekspor non-migas sebesar 1,38 miliar dolar AS pada 2015, 627,5 juta pada 2016, dan 569,6 juta pada 2017.
Dilansir dari Saudi Gazette, Abegebriel mengatakan komoditas ekspor utama Indonesia ke Arab Saudi adalah mobil dan kendaraan bermotor serta bagian-bagiannya; kayu dan barang dari kayu; arang kayu, kertas dan kertas karton; minyak sawit dan ikan yang sudah dimasak atau diawetkan.
Menurut data dari Center for International Development (CID) yang berbasis di Harvard University, pada 2016, ekspor bersih mobil Indonesia ke Saudi mencapai angka 463 juta dolar AS dengan persentase mencapai 34,98 persen. Ekspor minyak sawit ada di peringkat dua dengan dengan angka 116 juta dolar AS dan persentase 8,76 persen.
Komoditas utama ekspor Saudi ke Indonesia selain migas, lanjut Abegebriel, meliputi bahan kimia organik, plastik, aluminium, besi serta baja. Pada 2016. ekspor migas, masih menurut CID, mengambil porsi 74 persen dari total ekspor Saudi ke Indonesia, dengan nilai mencapai 1,9 juta dolar AS.
Jika ditelisik lebih jauh, hubungan perdagangan Indonesia dengan Saudi sesungguhnya juga tidak terlalu intensif. Masih menurut CID, pasar utama ekspor kedua negara pada 2016 adalah Cina, disusul oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan India.
Benci tapi Rindu
Secara historis, Saudi punya posisi penting bagi Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Saudi merupakan salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945, meski hanya ada dua raja Saudi pernah mengunjungi Indonesia, yakni Raja Faisal pada 1970 dan Raja Salman pada 2017.
Sementara itu, Sumanto Al Qurtuby dan Shafi Aldamer dalam sebuah makalah di jurnal Asian Perspective menulis bahwa agama Islam menjadi faktor krusial dalam hubungan bilateral kedua negara. “[Islam] membentuk banyak aspek dari hubungan bilateral keduanya, termasuk pendidikan, perdagangan, pekerjaan, bisnis serta peziarahan (haji dan umrah). [Hal itu] juga memiliki peranan penting dalam perubahan- perubahan tidak menyenangkan dari ikatan Saudi-Indonesia,” tulis keduanya.
Pada tingkat perspektif masyarakat, sebagian masyarakat Indonesia melihat Saudi sebagai sumber utama dari perselisihan antar grup di Indonesia karena perannya dalam pendidikan elite politik Indonesia yang intoleran terhadap perbedaan di Indonesia. Sebagian yang lainnya menempatkan Saudi tidak hanya sebagai kiblat utama pendidikan Islam, namun juga sebagai model masyarakat yang dicitrakan saleh sekaligus kaya, terang Qurtuby dan Aldamer dalam studi berjudul “Saudi-Indonesian Relations: History, Dynamics, and Contemporary Development” (2018) tersebut.
Qurtuby dan Adamer juga menyoroti migrasi tenaga kerja sebagai penghubung Saudi dan Indonesia. Namun, hal yang sama juga menjadi sumber ketegangan hubungan bilateral kedua negara tersebut.
Baru-baru ini, misalnya, seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Tuti Tursilwati telah dieksekusi mati pada 29 Oktober lalu tanpa notifikasi resmi kekonsuleran dari otoritas Arab Saudi kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh atau Jeddah.
Prosedur eksekusi itu membuat Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melayangkan protes kepada Menteri Luar Negeri Arab Saudi melalui sambungan telepon pada hari yang sama. Sehari setelahnya, Duta Besar Arab Saudi Osamah bin Muhammad dipanggil ke Bali agar Menlu Retno dapat menyampaikan protes secara langsung.
Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir kedua negara telah berusaha mencapai titik kompromi guna menyelesaikan masalah seputar kondisi kerja dan berbagai isu lain terkait Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Saudi.
Seperti dilansir BBC, TKI yang bekerja di Timur Tengah khususnya Arab Saudi memang menjadi salah satu sumber devisa yang krusial bagi Indonesia dengan perkiraan devisa mencapai 8 miliar dolar AS pada 2014.
Terkait keamanan, Indonesia pernah menolak bergabung dalam Aliansi Militer Islam pada 2015 karena melihat penciptaan kerjasama tersebut dipandang sebagai langkah tersembunyi Saudi dalam rangka menopang aktivitas perang mereka terhadap Irak, Suriah, dan Yaman.
Pengajar politik Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ali Munhanif, memandang bahwa kedua negara rupanya saling bergantung terkait isu terorisme.
Selain kerjasama di bidang komersial dan keamanan, Qurtubi dan Aldamer menyebut pula bahwa Saudi kini juga tengah berusaha menarik perhatian mahasiswa tingkat lanjut dan profesional terdidik dari Indonesia melalui sejumlah beasiswa dan kesempatan kerja.
Editor: Windu Jusuf