tirto.id - “Raffi Ahmad akan segera disuntik vaksin COVID-19. Raffi ini mewakili anak muda semua.”
Pernyataan itu keluar dari juru bicara vaksinasi COVID-19 Reisa Broto Asmoro saat memandu vaksinasi perdana di Istana Negara, Rabu (13/1/2021). Raffi merupakan penerima vaksin yang terdaftar sebagai “perwakilan anak muda” di samping perwakilan golongan lain seperti buruh, pedagang, tokoh agama, dan perawat.
Raffi dikenal sebagai artis yang juga pemilik usaha Rans Entertainment. Latar belakang tersebut membuatnya berbeda dengan anak muda pada umumnya.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 menyebut sebagian besar pemuda Indonesia didominasi oleh kelompok pekerja kasar dan berupah rendah. Maksud pemuda di sini mengacu ke UU 40/2009, yaitu WNI yang berusia 16-30 tahun.
Jenis pekerjaan utama pemuda Indonesia paling banyak adalah Tenaga Produksi Operator Alat Angkutan dan Pekerja Kasar, jumlahnya sebanyak 34,69%. Lalu diikuti oleh Tenaga Usaha Tani, Kebun, Ternak, Ikan, Hutan dan Perburuan sebanyak 17,68%. Jadi total pemuda yang melakoni pekerjaan kasar mencapai 52,37%.
Dilihat dari status pekerjaan pada jenis jabatan, sekitar 79,86% pemuda masuk dalam golongan blue collar (kerah biru). Maksudnya, pekerjaan didominasi pekerjaan manual, perlu kemampuan fisik, dan skill yang rendah. Sebaliknya, hanya 20,14% pemuda masuk golongan pekerjaan white collar (kerah putih).
Dari sisi upah, pemuda Indonesia juga kurang beruntung. Sekitar 74,39% berupah kurang dari Rp3 juta. BPS bahkan menyatakan separuh pemuda yang bekerja memperoleh pendapatan di bawah Rp2 juta per bulan. Hanya 25,61% pemuda yang memiliki upah di atas Rp3 juta per bulan.
Sebagai perbandingan, situs Social Blade yang mengamati statistik pengguna media sosial dan tren memperkirakan penghasilan Raffi dari Rans Entertainment berkisar 27.000-431.500 dolar AS per bulan. Dengan asumsi Rp14.000/dolar AS, maka rentang penghasilan per bulannya Rp378 juta sampai Rp6,04 miliar.
BPS juga mencatat sekitar 44,47% pemuda masih tinggal di rumah tidak layak huni dari sisi ketahanan bangunan, luas lantai perkapita, air minum, dan sanitasi. Kondisi ini tentu menambah masalah lantaran sudah menjadi rahasia umum kalau milenial di Indonesia susah memiliki rumah.
Wakil Kepala Lembaga Demografi FEB UI I Dewa Gede Karma Wisana mengatakan sosok Raffi masih termasuk pemuda meski usianya sudah 33 tahun alias tak lagi memenuhi kriteria UU. Meski demikian, berdasarkan data BPS di atas, Raffi jelas belum dapat mewakili keseluruhan anak muda dengan segala kompleksitas masalahnya.
“Ada hal-hal lain di mana pemuda dari berbagai kalangan dan latar belakang perlu dirangkul agar bisa mendekati beragam isu yang dihadapi pemuda. Satu orang artis jelas tidak cukup mewakili hal tersebut,” ucap Dewa kepada reporter Tirto, Kamis (14/1/2021).
Pria yang pernah terlibat dalam penyusunan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Indonesia tahun 2017 menyatakan pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada persoalan akses lapangan kerja. Pada laporan IPP tahun 2017, indikator lapangan dan kesempatan kerja berada dalam posisi paling buruk, yaitu 40 dari 100 poin per 2016. Capaian itu paling rendah dari empat indikator lainnya. Penyebabnya, suplai tenaga kerja muda melimpah seiring tren bonus demografi tapi permintaan tidak tumbuh secepat itu.
Kondisi diperburuk dengan semakin tingginya tuntutan tenaga kerja terampil, terdidik, dan menguasai teknologi. Karakteristik pendidikan pekerja muda cenderung tidak cocok dengan kebutuhan itu padahal pendidikan mereka terus meningkat. “Alhasil, mereka menerima pekerjaan apa saja dan beberapa di antara mereka akan menerima upah yang rendah,” ucap Dewa.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menambahkan Raffi lebih cocok disebut mewakili kelas menengah atas atau orang kaya. Kalaupun pemerintah beralasan Raffi dapat menjangkau audiens luas berkat pengikutnya di media sosial, maka lebih cocok disebut mewakili influencer.
Terlepas dari tidak cocoknya label Raffi saat menerima vaksin, Rusli menilai pemerintah telah lama mengabaikan anak muda. Menurut Rusli, pemerintah semestinya menggencarkan upaya pembekalan ulang (reskilling) maupun meningkatkan kemampuan yang sudah ada (upskilling). Di samping itu, Rusli juga menekankan perlunya pembenahan kualitas pendidikan yang masih berpihak pada keluarga mampu padahal pendidikan penting untuk memperbaiki kualitas hidup.
Tanpa itu semua, angan-angan pemerintah untuk mencapai target negara maju per 2045 atau bebas dari jebakan negara kelas menengah akan sulit dilakukan.
“Ini menunjukkan ada ancaman di masa depan bonus demografi Indonesia,” ucap Rusli kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino