Menuju konten utama

Sentuhan Photoshop di Karya Foto Luar Angkasa NASA

Foto luar angkasa yang dipublikasikan NASA telah melalui proses pasca-produksi terlebih dahulu sebelum dipublikasikan ke publik, termasuk menggunakan Photoshop.

Sentuhan Photoshop di Karya Foto Luar Angkasa NASA
Teleskop Hubble mengorbit di atas Bumi. FOTO/NASA

tirto.id - Pada 26 April 2017, Google, melalui Doodle yang dipajang di halaman depan situsweb mereka, merayakan keberhasilan pesawat luar angkasa Cassini yang telah berhasil masuk menjelajah area baru di sekitar cincin Saturnus yang belum pernah digapai sebelumnya.

Proyek pesawat luar angkasa tersebut, merupakan proyek yang dikerjakan secara keroyokan antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan European Space Agency (ESA), dan badan luar angkasa lainnya yang menghabiskan uang sekitar US$3,27 miliar.

Cassini, pesawat luar angkasa tanpa awak yang diluncurkan pada 15 Oktober 1997 tersebut merupakan pesawat luar angkasa yang memiliki misi khusus untuk memasuki orbit Saturnus guna kepentingan penelitian. Dalam menjalankan misinya, Cassini dilengkapi beragam modul seperti imaging system, ultraviolet imaging spectrograph, visual and infrared mapping spectrometer, imaging radar, hingga modul-modul canggih lainnya.

Dengan berbagai modul yang terpasang pada Cassini, jelas bahwa salah satu misi pesawat tanpa awak tersebut adalah mengambil foto-foto selama misi berlangsung. Foto yang dihasilkan, diharapkan akan membawa perspektif dan pengetahuan baru bagi manusia di Bumi yang haus akan informasi yang sumir tentang angkasa luar.

Saat berbicara mengenai foto luang angkasa secara lebih khusus. NASA memiliki sebuah mesin menakjubkan untuk menghasilkan foto-foto luar angkasa. Hubble, adalah mesin menakjubkan tersebut. Hubble merupakan teleskop luar angkasa yang diluncurkan pada 24 April 1990 dari Kennedy Space Center di Florida, Amerika Serikat. Hubble, setiap 97 menit, berputar sempurna mengitari Bumi dengan kecepatan 8 km per detik. Hubble, dibuat dan diluncurkan sebagai solusi untuk permasalahan klasik bagi tiap teleskop yang ada di Bumi yang memiliki keterbatasan antara lain halangan.

Atmosfer bisa mendistorsi teleskop untuk mengambil gambar sempurna. Sejak 1990, Hubble telah menyelesaikan 1,3 juta misi observasi, menghasilkan lebih dari 14.000 karya ilmiah dari para ilmuan luar angkasa, dan menghasilkan lebih dari 140 TB arsip data.

Hubble, merupakan salah satu kesuksesan terbesar NASA selain kesuksesan Neil Amstrong menginjakkan kaki di Bulan. Hubble, mengisi imajinasi manusia-manusia di Bumi tentang keindahan menakjubkan di luar angkasa. Sampai hari ini, banyak masyarakat di seluruh dunia, skeptis terhadap publikasi-publikasi yang dihasilkan oleh NASA.

Misalnya kesuksesan Neil Amstrong yang menginjakkan kaki di Bulan beberapa dekade. Banyak yang meyakini, pendaratan di Bulan hanyalah kisah fiktif belaka. Tapi tak bisa dipungkiri, pendaratan Bulan dan foto-foto Hubble yang dipublikasikan NASA, telah membentuk imajinasi tentang di mana posisi manusia di alam semesta ini.

Tapi, satu pertanyaan tersisa khususnya tentang Hubble. Bagaimana wahana teleskop luar angkasa tersebut memotret luar angkasa yang maha luas tersebut dan menyuguhkan foto yang dihasilkan pada publik?

Hubble jelas bukan DSLR atau kamera ponsel pintar. Cara kerja Hubble dalam memotret luar angkasa, tidak sama dengan seorang gadis yang sedang melakukan selfie. Hubble tidak langsung menghasilkan suatu foto, sebagaimana DSRL atau ponsel pintar langsung menyuguhkan suatu foto kala tombol shutter ditekan.

Infografik Menampilkan Foto Angkasa

Hubble, tidak menggunakan film berwarna sebagaimana Kodak menghasilkan foto. Hubble menggunakan teknologi CCD atau Charge-Couple Device untuk memotret cahaya. Foto yang dihasilkan Hubble, merupakan foto grayscale atau foto dengan rentang warna putih ke hitam. Namun, foto yang dipotret, menghasilkan gelombang atau spektrum yang berbeda. Gabungan dari beberapa foto yang memiliki spektrum yang berbeda, kemudian diterjemahkan menjadi foto berwarna.

“Membuat foto berwarna dari (foto) asli berwarna hitam dan putih adalah bagian dari seni dan sains,” jelas NASA.

Terkadang, untuk menghasilkan sebuah foto luar angkasa, NASA tidak hanya mengandalkan teleskop Hubble sendirian, melainkan juga memanfaatkan foto-foto dari teleskop lainnya, seperti teleskop di luar angkasa maupun teleskop di Bumi. Teleskop luar angkasa selain Hubble antara lain Spitzer dan Fermi Gamma-ray.

Sebagaimana diwartakan Gizmodo, foto Galaksi NGC 3982, sebuah galaksi yang berjarak 68 juta tahun cahaya dari Bumi yang fotonya dipublikasikan NASA, merupakan salah satu foto yang dihasilkan oleh 3 kamera Hubble. Foto tersebut, dibuat berdasarkan 7 foto grayscale yang dipotret oleh Hubble pada galaksi tersebut.

Selanjutnya, ilmuan NASA melakukan proses pasca-produksi selama 10 jam yang bertujuan untuk melakukan pengukuran, tata-letak, pewarnaan, dan proses lainnya hingga membuat foto tersebut jadi. Gambar grayscale yang dipotret Hubble, mengandung spektrum elektromagnetik yang tidak bisa dilihat oleh mata kasat manusia. Rentang spektrum elektromagnetik yang mampu dilihat mata manusia, berada di kisaran 390 hingga 750 nanometer.

Dalam proses pasca-produksi tersebut, NASA memanfaatkan aplikasi foto paling populer di dunia yakni Photoshop. Proses pasca-produksi, tujuannya adalah menerjemahkan hasil pengambilan gambar oleh Hubble tersebut agar bisa dilihat oleh mata manusia. Termasuk tentu saja memberikan warna di dalam fotonya. Photoshop ini merupakan aplikasi yang memiliki kemampuan untuk membantu NASA menerjemahkan apa yang terlihat abstrak oleh mata manusia.

Ilmuan NASA, dengan menggunakan Photoshop dan data-data yang diperoleh, menentukan bagaimana suatu foto luar angkasa, termasuk objek-objek di dalamnya, ditampilkan dalam suatu foto utuh. Ilmuan NASA, menggunakan tiga pendekatan dalam penentuan tersebut, yakni natural representation, representative color, enhanced color.

Pendekatan pertama digunakan manakala suatu foto luar angkasa yang berhasil dipotret, berada di rentang spektrum yang bisa dilihat oleh mata manusia. Artinya, tidak ada perbedaan yang jauh antara keadaan asli dengan foto yang dihasilkan.

Sementara pendekatan kedua dilakukan manakala foto yang dipotret, mengandung spektrum yang tidak terlihat oleh mata manusia. Pendekatan ini dilakukan agar manusia dapat melihat objek yang tidak terlihat. Sedangkan pendekatan terakhir, merupakan pendekatan hiperlealis. Jauh lebih mendekati karya seni, tapi didukung oleh data-data akurat dari NASA.

“Kami sering menggunakan warna sebagai sebuah alat, untuk meningkatkan rincian suatu objek maupun untuk menvisualisasikan apa yang tidak bisa dilihat mata manusia,” jelas NASA.

Photoshop, digunakan untuk melakukan proses-proses teknik seperti Stitching, Filling, Mapping, dan Blending. Penggunaan Photoshop, mirip sebagaimana fotografer profesional memproses file RAW yang mereka hasilkan melalui kamera DSLR.

NASA memang tidak sembarang dalam memberi warna suatu foto. Warna, merepresentasikan sesuatu pada objek yang terdapat dalam foto. Misalnya warna merah, merepresentasikan cahaya berenergi rendah yang dikandung objek tersebut.

Biru artinya energi sangat tinggi, mewakili objek yang memencarkan cahaya dengan intensitas tinggi. Robert Hurt, ilmuan yang bekerja untuk teleskop Spitzer mengungkapkan, “kami mencoba untuk merepresentasikan objek luar angkasa sebenar-benarnya yang kami bisa.”

Tentu, proses pasca-produksi yang dilakukan NASA dalam membentuk suatu foto, akan menghasilkan pertanyaan tentang keaslian foto tersebut. Namun perlu diingat, NASA tidak semena-mena dalam proses pasca-produksi tersebut.

NASA menggunakan serangkaian data-data untuk mendukung bagaimana mereka membentuk suatu foto. Termasuk tentang bagaimana foto dengan spektrum yang tidak bisa dilihat mata manusia, diubah untuk bisa dilihat.

Sampai saat ini NASA memang menjadi otoritas satu-satunya dalam klaim tentang luar angkasa. Namun, akibat publikasi foto luar angkasa yang dilakukan NASA, rasa haus umat manusia tentang luar angkasa sedikit terobati.

Baca juga artikel terkait NASA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra