tirto.id - Komisi III DPR RI akhirnya sepakat kembali membahas RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan, dua RUU yang tertunda karena penolakan publik ramai-ramai saat demo besar #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Hal tersebut diputuskan dalam rapat internal Komisi III DPR, Senin (17/2/2020).
Namun, Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry mengatakan, semua fraksi sepakat tidak membahas satu per satu pasal dari awal melainkan hanya akan membahas pasal-pasal yang menjadi isu krusial.
"Kami sepakat tidak dari awal lagi, carry over. Beberapa pasal subtansi yang krusial akan coba kami cari jalan untuk dilakukan komunikasi dengan stakeholders. Jadi enggak dibongkar [dari awal]," kata Herman saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).
Herman mengatakan Komisi III DPR akan membahas RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan melalui mekanisme panitia kerja (Panja) seperti periode sebelumnya. Panja RUU KUHP akan kembali dipimpin Mulfachri Harahap dan RUU Pemasyarakatan dipimpin Herman Herry sendiri. Selanjutnya, Komisi III DPR RI akan bersurat dengan pemerintah untuk meminta perwakilan pemerintah membahas bersama DPR.
"Setelah kami menerima surat dari Menkumham tentang penugasan anggotanya mereka baru membentuk panja dan memulai pembahasan tersebut. Jadi dalam satu atau dua hari ini kami kirim surat. Tunggu aja dulu," katanya.
Pembahasan itu paling cepat dilakukan pada masa sidang berikutnya, yaitu sekitar akhir Maret 2020. Herman berjanji akan melibatkan semua pihak untuk membahas RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
"Pasti-pasti mekanismenya demikian. Semua pihak kita akan panggil untuk RDPU," janji Herman.
RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan adalah salah dua RUU yang ditolak oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat saat aksi besar #ReformasiDikorupsi pada sepanjang September 2019 lalu.
Akibatnya, DPR RI pimpinan Bambang Soesatyo pada periode 2014-2019 saat itu memutuskan untuk carry over dua RUU itu ke DPR periode saat ini.
Salah satu yang bermasalah dalam RKUHP adalah dugaan akan memanjakan koruptor. Sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi di RKUHP justru dilengkapi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar. RKUHP juga tidak mengatur mekanisme pengembalian kerugian negara.
RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Mereka mencontohkan pasal yang mengatur soal 'Makar'. Pasal soal makar berisiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi.
Tidak hanya soal makar, pasal-pasal dalam RKUHP juga dinilai mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakuan masyarakat atas nama zina, hukum yang berlaku di masyarakat (living law)—yang berpotensi menjadi pasal karet, bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan pidana denda satu juta rupiah.
Selain itu, dalam RUU Pemasyarakatan juga ditolak banyak pihak. RUU tersebut dianggap tidak menjawab persoalan pembinaan di luar lapas yang selama ini menjadi persoalan yang minim perhatian. Hal-hal seperti pola koordinasi pengawasan dan pembinaan pidana alternatif seperti pidana bersyarat dengan masa percobaan tidak terjawab, kewenangan lapas secara lebih jelas pun tidak diatur dengan lebih luas.
RUU Pemasyarakatan juga belum tersinkronisasi dengan UU lain. Selain kebutuhan dasar pembentukan RUU PAS yang harus berdasar pada KUHP dan KUHAP baru, RUU ini tidak secara komprehensif mengatur materi lain di luar isu Lapas.
Terakhir, RUU Pemasyarakatan masih kurang dalam mengedepankan pertimbangan potensi pelanggaran HAM. Aturan penggunaan senjata dan kekuatan oleh petugas tidak diatur secara rinci mengenai pembatasannya, aturan mengenai penggunaan sel tutupan diatur tanpa syarat dan ketentuan yang jelas.
Selain itu, aspek pemenuhan hak asasi manusia untuk kelompok dengan kebutuhan spesifik seperti anak, perempuan, difabel, terpidana mati sampai kebutuhan akan akses kesehatan seperti untuk ODHA dan pengguna narkotika juga belum dimuat secara komprehensif dalam RUU tersebut.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto