tirto.id - Perasaan terkejut tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia seperti mendengar sebuah kabar buruk dari langit. Wajah ketakutan seolah sedang dihadapkan langsung dengan kerak neraka yang menyodorkan jilatan-jilatan api yang ganas.
“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un,” ucapnya.
Saat itu, hari jumat 10 Shafar tahun 99 Hijriah. Setelah salat Jumat, diumumkan bahwa Umar bin Abdul Aziz “terpilih” sebagai khalifah untuk menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik.
“Demi Allah, ini sama sekali bukan atas permintaan saya, baik secara rahasia maupun terang-terangan,” lanjutnya lagi.
Umar bahkan menawarkan hadirin yang ada di hadapannya untuk mencabut sumpah setia kepadanya jika memang mau. "Saya batalkan sumpah setia kepada saya yang ada di leher kalian semua, supaya kalian bebas untuk memilih siapa saja yang disukai sebagai khalifah."
Karena tidak ada keberatan dari hadirin, Umar kemudian meminta mereka untuk taat kepadanya sebagai pemimpin. Akan tetapi, kata Umar lagi, "Jika saya tidak mematuhi Allah, maka kalian tidak harus mematuhi saya." (Dr. Ali Muhammad As-Sallabi, Umar Bin Abd Al-aziz -- The Rightly Guided Caliph & Great Reviver, hal 40-41)
Diawali sikap gemetar dan gentar, kepemimpinan Umar kelak dicatat dengan harum oleh sejarah Islam. Ia menjadi sosok penting dalam perkembangan peradaban Islam dengan membawa Kekhalifahan Dinasti Umayyah mencapai puncak kejayaannya.
Berabad-abad kemudian, sumpah atas nama Tuhan juga keluar dari mulut Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan beberapa hari lalu.
“Demi Allah,” kata Politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini, “Saya dizalimi.”
Di depan gedung KPK, dalam balutan rompi oranye, Patrialis menampik menerima suap 20.000 dolar Amerika Serikat dan 200.000 dolar Singapura. Sekalipun KPK mengklaim memiliki barang bukti saat OTT, Patrialis masih merasa dirinya dijebak.
Di dalam leksikon hukum Islam, istilah "korupsi" memang tidak ada. Terminologi untuk korupsi memiliki porsi yang lebih spesifik seperti, misalnya, “ghulul”, yang berarti “mengambil sesuatu dan menyembunyikannya di dalam hartanya”. Ini hukum yang awalnya merujuk pada harta rampasan perang.
Dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha, secara kontekstual "ghulul" merupakan “harta yang diterima di luar gajinya”. Di sana ada unsur khianat atas sebuah pekerjaan dan kepercayaan. Ada juga istilah “risywah” yang biasa diterjemahkan secara bebas sebagai “suap” untuk “membenarkan sesuatu yang salah dan menyalahkan sesuatu yang benar”.
Dalam kasus korupsi yang mendera para pejabat publik, dua unsur seperti "ghulul" dan "risywah" yang muncul. Unsur khianatnya kepada publik sebagai pejabat negara dan unsur khianat kepada Tuhan yang disebut secara verbal dalam setiap sumpah jabatan.
Di sisi lain, penangkapan Patrialis dalam dugaan tindak suap segera mengingatkan publik akan reaksinya saat ditunjuk sebagai Menteri Hukum dan HAM oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 silam. Patrialis adalah sedikit dari politisi yang melakukan sujud syukur saat mengetahui dirinya ditunjuk sebagai pejabat publik.
Sujud syukur yang menjadi preseden tidak enak karena menunjukkan Patrialis tidak terbebani dengan tanggung jawab yang besar sebagai pemangku urusan keadilan dalam penegakan hukum. Sujud syukur saat mendapatkan amanat yang begitu besar memperlihatkan bahwa jabatan memang dengan senang hati ia terima, dikehendaki, dan bahkan disyukuri.
Sebagai ungkapan terima kasih yang dalam kepada Tuhan, sujud syukur memang begitu populer. Salah satu yang lekat di ingatan adalah sujud syukur para pemain timnas U-19 yang diasuh oleh Indra Sjafrie. Evan Dimas, dkk., selalu merayakan gol, juga kemenangan, dengan sujud syukur.
Namun sujud syukur juga sering mewarnai perjalanan kasus korupsi di Indonesia. Dua tahun silam, Pengadilan Tindak Pidana (Tipikor) Tanjungpinang, Batam, menghukum salah satu terdakwa dalam kasus korupsi pembangunan Kebun Raya Batam, M. Zaini Yahya. Karena vonis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, terdakwa melakukan sujud syukur.
Pada Februari 2014, sujud syukur juga mewarnai Pengadilan Tindak Korupsi dengan terdakwa Haris Andi Surahman. Politikus yang sempat diajukan Partai Golkar sebagai calon wakil walikota Kendari ini divonis bersalah dan diberi hukuman pidana dua tahun penjara karena terbukti memberi suap kepada anggota DPR Wa Ode Nurhayati. Hukuman itu lebih ringan daripada tuntutan Jaksa yang menginginkan hukuman tiga tahun enam bulan penjara. Andi Haris melakukan sujud syukur begitu hakim mengetuk palu.
Bahkan pekik takbir untuk mengagungkan nama Tuhan pun sempat-sempatnya muncul dalam pengadilan kasus korupsi. Takbir itu dikumandangkan sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap keputusan pengadilan yang dianggap tidak adil dan zalim kepada para terdakwa.
Pada 2015, para pendukung Suryadharma Ali mengumandangkan takbir saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak semua gugatan praperadilan yang diajukan Suryadharma Ali dalam kasus korupsi haji. Sebelumnya, pada 2013, para pendukung Luthfi Hasan mengumandangkan takbir saat mantan presiden PKS itu divonis hukuman pidana penjara selama 16 tahun dalam kasus kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi.
Ekspresi religiusitas juga sering dibicarakan dalam proses hukum yang melanda para pejabat publik perempuan. Angelina Sondakh adalah salah satunya. Angie yang merupakan politikus Partai Demokrat ini ditangkap atas kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang. Angie kemudian dinyatakan terbukti bersalah dan dihukum 10 tahun penjara karena dianggap menerima suap sebesar Rp2,5 miliar dan 1,2 juta dolar AS.
Angie masih beberapa kali muncul di persidangan sebagai saksi dalam rentetan pengadilan kasus korupsi yang melibatkan Nazarudin. Di saat itulah Angie muncul dengan balutan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya yang panjang.
Masih dalam kasus yang terkait dengan Nazarudin, salah seorang yang tersangkut kasus tersebut bahkan menggunakan jilbab dan cadar setiap kali hadir dalam persidangan yaitu Yulianis. Sebelumnya ia tidak mengenakan jilbab dan baru mengenakan setelah mega-skandal korupsi di sekitar politikus Partai Demokrat terkuak.
Ekspresi religuisitas, dari bersumpah atas nama Tuhan hingga melakukan sujud syukur, menjadi pilihan yang patut diambil oleh siapa pun yang ingin menarik simpati publik. Namun bukan tidak mungkin ekspresi religiusitas itu juga muncul karena dorongan dari dalam karena merasa membutuhkan topangan mental untuk menghadapi saat-saat yang sulit. Ketika alternatif-alternatif di dunia sudah demikian sulit ditemukan, maka pilihan untuk “meminta bantuan” kepada sosok yang selama ini tidak pernah disapa dalam setiap kehidupan menjadi satu-satunya pilihan.
Sosok seperti Patrialis atau terdakwa yang sudah divonis bersalah seperti Luthfi Hasan Ishaaq maupun Anas Urbaningrum, adalah sosok yang dikenal lekat dengan ekspresi religiusitas. Sayangnya, perilaku korup yang telah dibuktikan di pengadilan menunjukkan hal yang lain: bahwa di balik keseharian yang tampak religius, ada prilaku tak sedap yang disembunyikan.
Mengekspresikan religiusitas di pengadilan memang tidak dilarang oleh hukum. Namun tindakan demikian, selain boleh jadi menimbulkan simpati, untuk sebagian bisa membuat publik antipati. Agama yang mestinya menjadi tuntunan agar pemeluknya menjauhi perbuatan jahat justru ditonjol-tonjolkan simbolnya saat perbuatan jahat telah terungkap.
“Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu,” kata mendiang Gus Dur. Melanjutkan penalaran Presiden Indonesia ke-4 ini, bisalah dikatakan: "Kalau melakukan sesuatu yang buruk, orang bisa tak peduli pada sumpahmu, sujudmu, dan jilbab model apa yang dikenakan."
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS