tirto.id - Kewarganegaraan ganda bagi seorang pejabat negara, tidak bisa ditolerir, hal ini merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam UU tersebut dijelaskan jika WNI secara otomatis kehilangan kewarganegaraan jika yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri.
"Tindakan investigasi harus dijalankan untuk memastikan bahwa Arcandra Tahar memang tidak pernah memiliki kewarganegaraan asing," ujar Hasto dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Minggu malam (14/8/2016).
Hasto berpendapat, sekiranya hal tersebut benar, negara tidak boleh kalah dalam menjamin pelaksanaan perintah konstitusi dan undang-undang yang mengatur monoloyalitas kewarganegaraan.
Dalam hal ini, PDI-P mengingatkan bahwa dalam waktu dekat akan dilakukan negosiasi atas penguasaan blok-blok minyak, gas, batubara, dan mineral lainnya. Persoalan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dipastikan mengundang berbagai kepentingan asing untuk masuk.
Karena itu, menurut Hasto, para pembantu Presiden Joko Widodo harus bisa melindungi presiden dari berbagai kepentingan asing yang mengancam kepentingan nasional dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
"Di sinilah pentingnya nasionalisme bagi seluruh pembantu presiden. Mengutamakan kepentingan nasional harus menjadi kredo [dasar tuntutan hidup] bagi seluruh pembantu presiden, sedangkan memiliki dua kewarganegaraan akan merancukan dedikasi WNI terhadap bangsa dan negara," tuturnya.
PDI-P juga mencermati pihak-pihak tertentu yang sengaja menempatkan Presiden Jokowi dalam posisi sulit sehingga tidak melakukan pengecekan dengan teliti saat calon-calon menteri dibahas dalam perombakan kabinet jilid II.
Sebagai partai koalisi pemerintah, PDI-P yakin bahwa Presiden Jokowi selalu konsisten menjalankan perintah konstitusi dan melaksanakan undang-undang yang mengatur monoloyalitas kewarganegaraan.
Penulis: Rima Suliastini
Editor: Rima Suliastini