tirto.id - Pernyataan Eggi Sudjana soal sila pertama Pancasila yang hanya sesuai untuk ajaran Islam dinilai tidak sesuai dengan sejarah. Ditilik dari proses pembentukannya, sila pertama itu justru merupakan kompromi para pendiri bangsa agar bisa mengakomodir semua kepentingan.
"Pemikiran atau sikap Eggi Sudjana itu ahistoris dan tidak konstitusional," kata Muhammad Iqbal, Sejarawan cum Pengajar di IAIN Palangka Raya, kepada Tirto, Jumat (6/10/2017).
Sejarah Pancasila dapat dirunut dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada 1 Maret 1945, tapi baru menggelar rapat untuk kali pertama pada 28 Mei 1945. Rapat perdana mereka membahas soal dasar negara.
"Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?" kata dr. Radjiman Wediodiningrat dalam pidato pembukaan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Radjiman ketika itu menjabat sebagai ketua BPUPKI.
Dalam sidang itu akhirnya dirumuskan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Dokumen ini memuat tujuh kata yang berbunyi "ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya," ditambah dengan empat sila lain akan dijadikan sebagai pembukaan konstitusi negara. Tujuh kata ini kemudian jadi sumber perdebatan.
"Kemudian Sam Ratulangi dan delegasi Indonesia Timur mengancam akan memisahkan diri jika kalimat kewajiban umat Muslim menjalankan syariat dan persyaratan Muslim yang jadi presiden tidak dihapus," kata Iqbal.
Menanggapi keberatan itu, pada 18 Agustus 1945, di pagi hari sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta dan Sukarno, beserta sejumlah tokoh Islam menggelar rapat nonformal. Tokoh Islam yang hadir itu di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Teuku Mohammad Hasan.
Kalangan Islam tentu sulit menerima itu. Namun berkat "kejelian" Sukarno yang menggandeng Kasman Singodimedjo menjadi anggota tambahan PPKI bersama Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo, penolakan kalangan Islam tersebut akhirnya melunak. Termasuk Ketua Umum Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Islam yang paling keras menolak perubahan sila pertama. (Baca: Sukarno dalam Polemik Piagam Jakarta)
"Ini karena alasan keutuhan negara Indonesia. Akhirnya PPKI menghilangkan kata-kata itu. Selain itu, dalam naskah UUD, lema "Allah" diganti "Tuhan" yang lebih umum," kata Iqbal. s
Baca juga
- Ketua PBNU: Tafsir Eggi Sudjana Soal Pancasila Mengada-ada
- Eggi Sudjana Dilaporkan ke Bareskrim Soal Isu SARA
- Piagam Jakarta dan Keutuhan NKRI
Pemimpin Redaksi Jurnal Sejarah, Andi Achdian, juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, perubahan pasal pertama dari Piagam Jakarta ke Pancasila semata untuk mengakomodir golongan agama. Andi juga menyoroti pengertian "esa" yang menurutnya tidak dimaknai dengan benar.
"Esa itu penggunaan yang umum dalam bahasa Sanskrit. Esa artinya bukan tunggal, satu. Itu (tunggal, merujuk pada) Eka. Kalau esa artinya maha kuasa. Keesaannya merujuk pada kekuasaannya," kata Andi kepada Tirto.
Dengan demikian, kata "esa" dalam sila pertama Pancasila tidak merujuk kepada konsep ketuhanan tertentu, apakah monoteisme atau politeisme. Dalam hal ini, lagi-lagi Eggi salah.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Eggi menyatakan hanya Islam yang paling sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menurutnya, agama selain Islam yang tidak mengakui konsep monoteisme tidak sesuai dengan Pancasila, dan dengan begitu bisa dibubarkan dengan Perppu Ormas.
Eggi sendiri adalah salah satu pihak penggugat agar Perppu Ormas dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena Kristen Trinitas, Hindu Trimurti, Buddha setahu saya tidak punya konsep Tuhan, kecuali apa yang diajarkan Siddhartha Gautama. Maka saya sudah ingatkan tadi, konsekuensi hukum jika Perppu diterima dan berkekuatan hukum tetap dan mengikat, maka konsekuensi hukumnya ajaran selain Islam harus dibubarkan," kata Eggi.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti