Menuju konten utama

Sejarah Susu Pertumbuhan SGM & Pemenuhan Gizi Anak Indonesia

Sarihusada maupun SGM memiliki sejarah panjang di Indonesia dan hingga kini tetap diproduksi secara penuh di dalam negeri.

Sejarah Susu Pertumbuhan SGM & Pemenuhan Gizi Anak Indonesia
Pabrik Sarihusada di kawasan Muja-Muju, Kota Yogyakarta. FOTO/Istimewa

tirto.id - Susu pertumbuhan SGM merupakan produk PT Sarihusada Generasi Mahardhika (Sarihusada), perusahaan yang tercatat memiliki empat pabrik yakni di Yogyakarta, Klaten, Ciracas, dan Sentul. Sebagai salah satu merek susu lokal asli Indonesia, SGM telah lama dikenal oleh konsumen di tanah air.

Meskipun demikian, sering kali masih ada yang bertanya, “apakah SGM buatan Indonesia” atau “SGM produk mana?” Faktanya, Sarihusada dan SGM memiliki sejarah panjang di Indonesia.

Pabrik Sarihusada di kawasan Muja-Muju, Kota Yogyakarta, bahkan termasuk produsen susu yang tertua di Indonesia. Berdiri sejak tahun 1954, pabrik susu ini telah melalui lika-liku panjang hingga menjadi Sarihusada seperti sekarang.

Sejarah Susu SGM di Indonesia

Sejarah susu SGM bermula dari proyek kerja sama dua Badan PBB untuk urusan anak-anak dan pangan, yakni UNICEF dan FAO, bersama pemerintah Republik Indonesia. Kerja sama untuk menunjang kecukupan protein nasional ini kemudian melahirkan perusahaan bernama NV Saridele. NV singkatan dari Naamloze Vennootschap, status yang kini setara PT (Perseroan Terbatas).

Dalam catatan arsip pemerintah RI, NV Saridele resmi berdiri pada 14 Agustus 1954 berdasarkan akta notaris R. Mr. Soewandi. Secara formal, kala itu perusahaan Saridele bergerak di bidang pembuatan dan pengawetan makanan. Adapun produksi utama NV Saridele berupa susu berbahan kacang kedelai.

Untuk menyokong pendirian NV Saridele, UNICEF memberikan bantuan pinjaman berupa mesin pengolah susu, sementara FAO melatih sejumlah tenaga ahli pangan asal Indonesia. Pinjaman UNICEF itu harus dikembalikan dalam bentuk 150 ribu kaleng susu yang akan didistribusikan kepada masyarakat Indonesia selama lima tahun pertama produksi Saridele.

Pemerintah RI semula memasrahkan urusan pembiayaan dan pengelolaan perusahaan NV Saridele kepada Bank Industri Negara, bank pelat merah yang di kemudian hari bermutasi menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Berkat kolaborasi tiga pihak ini, produksi NV Saridele untuk mengatasi masalah kekurangan gizi di Indonesia mulai berjalan.

Sejumlah sumber, termasuk keterangan resmi dari Sarihusada, menyatakan kerja sama tersebut menjadi upaya peningkatan gizi dan nutrisi masyarakat Indonesia yang terdampak akibat Perang Dunia 2 dan pendudukan Jepang. Yogyakarta dipilih sebagai lokasi produksi karena wilayah ini kala itu menjadi penghasil banyak kacang kedelai dan kacang tanah, dua bahan utama Saridele. Ada juga sumber yang menyebut, pemilihan Yogya sebagai lokasi produksi NV Saridele karena dekat dengan sentra-sentra masalah kekurangan gizi, seperti Gunungkidul.

Pabrik NV Saridele berlokasi di tengah kota Yogya, kini tak jauh dari kantor Pemkot Yogyakarta dan Jalan Kusumanegara. Tanah seluas 2 hektar di kawasan Muja-Muju yang menjadi lokasi pabrik NV Saridele (pabrik pertama perusahaan yang di kemudian hari jadi Sarihusada) adalah hibah dari Sri Sultan Hamengkubowo IX.

Uniknya, pimpinan pertama pabrik susu ini adalah seorang tentara, yakni Letnan Dua Angkatan Udara Suwadi. Sang letnan sebenarnya merupakan insinyur yang bertugas di Bandung, tetapi kemudian ditarik ke Yogya untuk memimpin produksi pabrik susu.

Pemilihan susu nabati sebagai produksi utama NV Saridele juga bukan didasari strategi bisnis. Indonesia pada warsa 1950-an merupakan republik baru dengan sumber daya ahli yang minim. Bukan hanya ahli nutrisi dan produksi susu yang langka, populasi sapi perah penghasil susu pun amat sedikit. Maka itu, produksi Saridele sebagai pengganti susu menjadi pilihan yang strategis untuk mengatasi masalah kekurangan gizi pada 1950-an mengingat bahan bakunya melimpah.

Di sisi lain, pada dekade 1950-an, Saridele yang terbuat dari kacang tanah dan kedelai diyakini efektif menjadi pengganti susu sapi yang kala itu mahal. Buku Almanak Pertanian 1954 (1954) menjelaskan, Kementerian Kesehatan RI masa itu merekomendasikan konsumsi Saridele untuk anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Kementerian Kesehatan RI menaksir, harga Saridele bisa ditekan di kisaran Rp2,25 hingga Rp1 per liter jika diproduksi secara massal. Tidak heran, pemerintah RI kemudian menyokong pendirian NV Saridele.

Bantuan ahli PBB dibutuhkan untuk menemukan formula Saridele yang enak atau setidaknya sesuai dengan selera anak-anak. William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Soy Flour, Flakes and Grits 510 CE to 2019 (2019) mencatat, FAO dan pemerintah RI merintis proyek riset Saridele sejak 1952.

Tahun itu, FAO mengirimkan Dr S.S. De, seorang ahli nutrisi yang pernah bekerja di India untuk membuat formula susu kedelai dengan rasa sesuai selera anak-anak setempat. Selepas menguji sampel kepada 240 anak di Indonesia, Dr S.S. De merekomendasikan formula Saridele dengan komposisi 60 persen kedelai, 20 persen kacang tanah, dan 20 persen gandum (malt). FAO juga mengirim beberapa ahli lainnya yang melanjutkan studi untuk menemukan metode terbaik dalam memproduksi bubuk Saridele.

Memproduksi susu cair dari kedelai dan kacang tanah memang bukan perkara sulit, tetapi tidak untuk produk bubuk saridele yang tahan lama. Alhasil, butuh waktu beberapa tahun sampai NV Saridele bisa memproduksi bubuk saridele pada 1958. Bubuk saridele, sekalipun sederhana untuk ukuran sekarang, menjadi salah satu instrumen penting dalam penanganan masalah kurang gizi di Indonesia. Dengan berbentuk bubuk, produk Saridele bisa didistribusikan ke banyak tempat yang jauh dari lokasi pabrik.

Pada 1958, menukil dari buku Kabinet Karya: Mendjelang Dua Tahun Kabinet Karya, 9 April 1957-9 April 1958 (1958) terbitan Kementerian Penerangan RI, Inspeksi Kesehatan Djawa Timur menerima sebagian besar produksi bubuk Saridele untuk dibagikan kepada anak-anak sekolah. Bubuk Saridele juga dikirim ke sejumlah daerah di Jawa Tengah yang kala itu sedang terancam bencana kelaparan.

Hingga 1960, Sari Husada belum dikenal. Nama Sari Husada baru menggantikan Saridele setelah Pemerintah RI memutuskan mengubah status pabrik susu itu dari NV jadi Perusahaan Negara (PN).

Perubahan NV Saridele jadi PN Sari Husada ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 Tahun 1961 tentang Pendirian Perusahaan Negara "SARI HUSADA" yang diundangkan pada 17 April 1961. Modal awal perusahaan negara ini sebesar Rp35 juta.

Namun, pada dekade 1960-an, PN Sari Husada belum berdiri mandiri. Pengelolaannya berada di bawah Badan Pimpinan Umum Farmasi Negara. Di penghujung era Orde Lama inilah produk susu SGM lahir.

Kemunculan susu SGM berangkat dari mandat Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. Satrio (Menkes periode 1959-1966) kepada PN Sari Husada. Atas saran sejumlah dokter senior dari Fakultas Kedokteran UI, Prof. Dr. Satrio pada 1965 menugaskan PN Sari Husada untuk memproduksi susu untuk anak dengan nama SGM. Kala itu, susu SGM berupa bubuk skim yang dilengkapi dengan gula, vitamin, lemak nabati, dan sejumlah jenis mineral.

Sebelum dilepas ke pasar, produk susu SGM awalnya diujikan kepada para pasien di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM). Susu SGM yang diujikan pada 1965 merupakan formula yang diteliti oleh Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak, Prof. Dr. Te Bek Siang bersama sejumlah dokter dan ahli gizi dari RSCM. PN Sari Husada tahun itu mengumumkan susu SGM sempat diujikan selama 10 bulan kepada 1025 anak sebelum dipasarkan.

Karena produk susu SGM dengan cepat dapat menarik minat konsumen dalam negeri, PN Sari Husada lantas menambah varian produknya yang juga lekas populer, yakni bubur SNM. Keberhasilan dua produk tadi menarik minat konsumen di Indonesia menjadi milestone bagi PN Sari Husada. Pada 1966, perusahaan ini memutuskan tidak lagi memakai bahan kedelai mengingat hasil rendemennya rendah.

Periode setelah 1965 menjadi masa metamorfosis berliku bagi Sari Husada. Pada 1968, kepemilikan dan pengelolaan PN Sari Husada beralih ke PT Kimia Farma, sebuah BUMN baru penerus Badan Pimpinan Umum Farmasi Negara. Di fase ini, nama resmi Sari Husada sempat beralih menjadi PT. Kimia Farma unit IV dan kemudian berubah lagi jadi PT. Kimia Farma Unit Produksi Yogyakarta.

Memasuki warsa 1970-an, sejumlah produk susu impor mulai memasuki Indonesia. Persaingan ketat pasar susu dalam negeri mendorong PT Kimia Farma untuk memperbarui fasilitas produksi dan manajemen Sari Husada. Langkah ini berujung pada keputusan PT Kimia Farma meneken kerja sama dengan PT Tigaraksa Satria untuk mengubah unit produksi susunya di Yogyakarta menjadi perusahaan baru.

Alhasil, perusahaan patungan antara BUMN dan swasta bernama PT Sari Husada resmi berdiri pada 1 Oktober 1972. Di susunan kepemilikan perusahaan tersebut, tercatat 55 persen saham masih dipegang oleh PT Kimia Farma.

Sejak saat itu, PT Sari Husada terus berkembang menjadi salah satu produsen utama susu asal Indonesia. Pada 1983, perusahaan ini mulai melantai di Bursa Efek Indonesia untuk menggalang modal dari masyarakat.

Maka, mulai tahun 1983, sekitar 29,96 persen saham Sari Husada menjadi milik masyarakat Indonesia. Namun, pada 1992, Kimia Farma menjual kepemilikan sahamnya kepada PT. Tiga Raksa sehingga perusahaan terakhir menjadi pemilik saham mayoritas PT Sari Husada.

Tak berhenti di sana, sebagian saham PT Sari Husada pada tahun 1998 beralih menjadi milik perusahaan nutrisi anak asal Belanda, Nutricia International, BV (Royal Numico). Baru pada 2012, Sari Husada mengubah namanya menjadi PT Sarihusada Generasi Mahardhika.

Saat ini, PT Sarihusada Generasi Mahardhika memproduksi berbagai produk susu SGM untuk anak-anak, ibu hamil dan menyusui, hingga keluarga. Sarihusada kini tercatat mempekerjakan karyawan dari Indonesia serta mengoperasikan fasilitas produksi di empat pabriknya di Yogyakarta, Klaten, Ciracas, dan Sentul.

Jadi, masih seperti puluhan tahun silam, susu SGM kini diproduksi secara penuh di dalam negeri dengan melibatkan ribuan karyawan orang Indonesia. Konsentrasi utama distribusi Susu SGM pun tetap di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan tambahan nutrisi bagi anak-anak, ibu hamil-menyusui, dan keluarga-keluarga di tanah air.

Baca juga artikel terkait SUSU atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Iswara N Raditya