tirto.id - “Undang-Undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.”
Itulah catatan Slamet Sutrisno, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, sebagai penjelasan atas pentingnya memahami historisitas konstitusi. Penjelasan itu terdapat dalam buku Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah (2003: 113).
Sebagaimana pemaparan Sutrisno, sejarah lahirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak kalah penting dipelajari bersanding dengan makna yang terkandung di dalamnya. Bagi siapa saja yang ingin mempelajari dua fondasi penting kenegaraan tersebut, salah satu buku pertama yang mesti dibaca adalah Risalah Sidang BPUPKI terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Mengenai buku itu, beberapa hari lalu warganet Indonesia sempat ramai membicarakannya. Ini bermula ketika Tsamara Amany, politikus muda Partai Solidaritas Indonesia, menerima seserahan lamaran berupa buku Risalah Sidang BPUPKI. Orang yang meminangnya adalah Ismail Fajrie Alatas, asisten profesor Kajian Islam dan Timur Tengah di New York University.
Terbitan Risalah Sidang BPUPKI
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memiliki nama lain yaitu Dokuritsu Junbi Cosakai. Seperti dipaparkan George Sanford Kanahele dalam disertasinya, The Japanese Occupation of Indonesia, Prelude to Independence (1967: 184), institusi ini dibentuk Jenderal Kumakichi Harada dari Angkatan Darat Jepang pada 1 Maret 1945 sebagi bagian janji Kekaisaran Jepang untuk memerdekakan Indonesia.
Tiga bulan setelah dibentuk, tepatnya pada 28 Mei 1945, BPUPKI baru melantik para pengurusnya yang berjumlah sekitar 60 orang. Pelantikan pengurus ini disusul oleh dua rangkaian sidang. Sidang pertama diselenggarakan pada 29 Mei dan berakhir pada 1 Juni 1945. Menyusul sidang kedua yang digelar pada 10 sampai 17 Juli 1945.
Secara garis besar, rapat BPUPKI ditujukan untuk menyelidiki dan merencanakan hal-hal yang berhubungan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat ini tercetus asas-asas negara yang kemudian berkembang menjadi butir-butir Pancasila dan Preambule UUD 1945 yang dikenal hingga kini.
Dalam pelaksanaannya, sidang BPUPKI menghasilkan laporan rapat yang sudah berulang kali disunting dan diterbitkan pada periode berbeda. Berdasarkan pengantar edisi revisi Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2009: vii), setidaknya terdapat beberapa terbitan yang menggambarkan suasana sidang BPUPKI dan perdebatannya, antara lain: Naskah Persiapan UUD 1945 (1959, 1960), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1992, 1995, 1998), dan Lahirnya UUD 1945 (2004, 2009).
Dijadikan Sumber Resmi Historiografi Versi Orba
Di balik fungsinya yang vital sebagai sumber untuk menelusuri ideologi negara, penerbitan risalah sidang BPUPKI-PPKI diwarnai berbagai macam kontroversi. Ada dugaan yang menyebut terbitan pertama risalah sidang tidaklah otentik, dengan banyak kesalahan cetak. Malah ada yang menyebutnya sebagai penuh rekayasa.
Peneliti senior Pusat Studi Hukum Tata Negara, Ananda B. Kusuma, dalam bagian pengantar bukunya, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2009: 1), memaparkan bahwa memang telah terjadi penyimpangan berantai dalam terbitan-terbitan risalah sidang BPUPKI. Kusuma secara khusus menunjuk kesalahan ini bermula dari Naskah Persiapan UUD 1945 yang pertama terbit pada 1959.
Naskah tersebut disunting seorang diri oleh Mohammad Yamin berdasarkan notulen pinjaman yang berasal dari Kantor Tata Usaha BPUPK, disertai beberapa tambahan dari Yamin. Disebutkan pula, Yamin meminjam salinan asli notulen sidang dari Abdul Gaffar Pringgodigdo selaku Wakil Ketua Kantor Tata Usaha BPUPK.
Naskah suntingan Yamin kemudian diterbitkan sebanyak tiga jilid. Jilid pertama terbit pada 1959. Menyusul terbitan kedua dan ketiga pada 1960. Di antara ketiga terbitan tersebut, jilid pertama merupakan terbitan yang paling banyak memuat risalah sidang BPUPKI-PPKI.
Di dalam naskahnya itu, Yamin mengemukakan rancangan lima sila dasar negara dari hasil pemikirannya sendiri. Selain itu Yamin juga mengimbuhkan rancangan Pembukaan UUD 1945 miliknya yang sempat ditolak Panitia Sembilan karena terlalu panjang.
Kembali merujuk tulisan Slamet Sutrisno, jilid pertama Naskah Persiapan UUD 1945 kemudian dijadikan sumber primer oleh sejarawan ABRI Nugroho Notosusanto saat menulis sejarah BPUPKI-PPKI. Tanpa mengindahkan potensi sumber lain, naskah Yamin juga menjadi pedoman penulisan buku babon sejarah Indonesia versi Orde Baru yang bertajuk Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Berdasarkan catatan Sutrisno, kesimpulan ilmiah Nugroho menyebut Yamin adalah pencetus pertama Dasar Negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebelum Sukarno. Pendapat ini nyatanya tidak begitu populer. Sejumlah sejarawan terkemuka seperti Kuntowijoyo, Abdurrachman Surjomihardjo, Ong Hok Ham, G. Moedjanto, dan R. Nalenan mengkritik keras metode penelitian Nugroho yang dianggap tidak memperhatikan kritik sumber.
Nugroho mungkin bukanya tidak ingin mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber sejarah, tetapi naskah Yamin memang tinggal satu-satunya yang dapat dijangkau. Nasib salinan asli notulen yang dipinjam Yamin dari Pringgodigdo sendiri tidak pernah kembali hingga Nugroho tutup usia pada 1985.
Belakangan diketahui salinan asli tersebut tersimpan di Algemen Rijksarchief (ARA) di Den Haag dan Pura Mangkunegaran di Surakarta. Keduanya baru dikembalikan ke Arsip Nasional RI secara berurutan pada 1989 dan 1990.
Kendati telah ditemukan, salinan asli notulen sidang tersebut tidak pernah dibuka kepada publik dan tetap dinyatakan hilang oleh pemerintah Orde Baru. Akibatnya, tidak ada naskah lain yang bisa dijadikan referensi resmi perihal sidang BPUPKI dan PPKI.
Monopoli Pengetahuan Cara Orba
Sebagaimana kesalahan kritik yang dilakukan Nugroho Notosusanto, Ananda B. Kusuma sempat menyinggung bahwa selama periode Orde Baru penulisan buku sejarah konstitusi dan sejarah ketatanegaraan tidak mengikuti metodologi yang benar. Kesalahan ini seolah-olah sudah terlembaga, bahkan hidup di kalangan mahasiswa.
Kejadian tersebut sempat ditemukan oleh Bung Hatta. Dalam ceramah di hadapan mahasiswa di sebuah universitas di Makassar, Hatta menyebut bahwa Pancasila lahir dari Sukarno. Para mahasiswa serta merta menyanggah Hatta dengan menyebut Mohammad Yamin sebagai penggali Pancasila sebelum Sukarno.
Cerita yang disarikan Slamet Sutrisno dalam bukunya tersebut kemudian tiba pada sikap terheran-heran Hatta. Bapak Koperasi Indonesia itu lantas bertanya dari mana mahasiswa tahu? Serentak mereka pun menjawab, “Dari buku Yamin.”
Sebagai orang yang hadir dalam setiap sidang BPUPKI, Hatta tentu tahu banyak kebenaran di balik naskah suntingan Yamin. Hatta kemudian menjelaskan bahwa pidato-pidato Yamin yang dimuat dalam bukunya tidak pernah dikemukakan dalam sidang resmi BPUPKI, melainkan hanya diutarakan di sebuah rapat Panitia Kecil pada masa reses seusai sidang pertama tanggal 1 Juni 1945.
Kesalahan serupa tetap terulang tatkala Naskah Persiapan UUD 1945 milik Yamin terus dijadikan sumber resmi sepanjang masa Orde Baru. Pada 1992, atas prakarsa Sekretariat Negara Republik Indonesia, naskah Yamin dicetak ulang dengan judul Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Tidak ada perubahan yang berarti selain imbuhan biodata para pengurus yang sebelumnya tidak ada.
Rantai kesalahan risalah sidang BPUPKI baru diungkapkan pada 1993 dalam sebuah pemberitaan surat kabar. Menyusul pertemuan yang dilakukan Yayasan Pembela Tanah Air satu tahun setelahnya. Bahan-bahan yang berhasil diketemukan akhirnya dipakai untuk menyempurnakan buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI edisi ke-3 dan ke-4 yang terbit berurutan pada 1995 dan 1998.
Menurut Kusuma, ada kecenderungan yang mengarah ke arah anti-Sukarnoisme dalam setiap kebijakan Pemerintah Orde Baru. Kebijakan ini terakumulasi menjadi praktik monopoli pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan arsip-arsip resmi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan